top of page

Suara Masyarakat untuk Tata Guna Lahan Berkelanjutan di Indonesia: Studi Kasus Keberhasilan Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif (PLUP) di Aceh & Riau

Pink Flowers_edited.jpg

Penulis

Girl with Backpack

Rahmad Supriyanto

Girl with Backpack

Maria Dominika

Terlepas dari adanya aturan yang memandatkan partisipasi masyarakat, perencanaan tata guna lahan di Indonesia masih diatur secara sentralistis. Meski peraturan seperti PP No. 21/2021 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang telah menekankan pelibatan masyarakat, pelaksanaannya di tingkat lokal terbilang lemah. Inisiatif seperti penilaian desa secara partisipatif (participatory rural appraisal atau PRA) menjadi titik tengah untuk menghadirkan pendekatan perencanaan berbasis akar rumput (bottom-up). Namun, dibutuhkan pendekatan yang lebih formal dan konsisten agar aspirasi lokal benar-benar tecermin dalam kerangka tata ruang yang lebih luas.
Pelembagaan paradigma partisipatif melalui participatory land use planning (PLUP) yang dimulai dari tingkat desa menjadi kebutuhan mendesak dalam perencanaan tata ruang dan pembangunan. PLUP perlu diintegrasikan secara resmi ke dalam tata kelola desa agar perencanaan tata ruang selaras dengan potensi sumber daya, isu strategis, dan prioritas pembangunan lokal. Hal ini menuntut agar PLUP terwadahi dalam proses perencanaan tata ruang tingkat desa serta disinkronkan dengan perencanaan tata ruang dan pembangunan tingkat kabupaten dan nasional.
PLUP yang efektif memerlukan kolaborasi multipihak lintas tingkat pemerintahan. Kuncinya ada pada mempererat hubungan antara inisiatif akar rumput dengan mandat tingkat pemerintahan yang lebih tinggi—dari pemerintah desa dan kabupaten hingga provinsi dan kementerian. Pendekatan kolaboratif ini dapat mengurangi sengketa tata guna lahan di kawasan hutan maupun nonhutan, meningkatkan koordinasi, dan mendukung tata kelola lahan yang berkelanjutan.
Pengakuan hukum atas hasil perencanaan partisipatif menjadi syarat penting bagi keberlanjutan dampaknya. Karena itu, pendekatan berbasis masyarakat perlu dilegitimasi melalui instrumen hukum formal, seperti peraturan wali kota (perwali), peraturan bupati (perbup), atau peraturan daerah (perda). Instrumen-instrumen hukum ini akan menjamin terintegrasinya pendekatan partisipatif tingkat desa ke dalam sistem perencanaan tata ruang dan pembangunan di seluruh tingkatan.

Girl with Backpack

Publikasi Lainnya

  • Youtube CIPS
  • Twitter CIPS
  • Instagram CIPS
  • LinkedIn CIPS
  • Email CIPS
bottom of page