Bayang-Bayang Penyensoran: Perkembangan Kebijakan Moderasi Konten Indonesia

Authors

Muhammad Nidhal

Rasya Athalla Aaron
Kerangka moderasi konten di Indonesia, yang diatur melalui Permenkominfo No. 5/2020, banyak dinilai bermasalah karena kurang transparan, penegakannya tidak konsisten, dan memuat definisi-definisi hukum yang terlalu longgar. Hal-hal tersebut membuka ruang penyalahgunaan dan risiko penyensoran berlebihan apabila diterapkan secara sewenang-wenang.
Meski telah dilakukan upaya untuk memperjelas implementasi moderasi konten, ketentuan-ketentuan dalam Kepmenkominfo No. 522/2024 masih menyisakan banyak ruang perbaikan, terutama terkait aspek keamanan, transparansi, akuntabilitas, dan dualisme kewenangan dalam moderasi konten.
Peluncuran sistem SAMAN menambah instrumen moderasi konten di saat yang kurang ideal, yakni ketika ekosistem startup di Indonesia mengalami penurunan pendanaan yang signifikan—dari US$10,9 miliar atau Rp174 triliun pada 2021 menjadi hanya US$800 juta atau Rp13 triliun pada 2024.
Di Indonesia, intervensi negara terhadap internet dilakukan melalui berbagai bentuk, seperti pemadaman internet total, perlambatan jaringan (throttling), hingga pemblokiran layanan. Dampaknya terhadap perekonomian pun tidak kecil: pemadaman total selama satu hari diperkirakan menyebabkan kerugian produk domestik bruto (PDB) sebesar US$53 juta atau Rp 848 miliar, sementara pemblokiran layanan daring (online) selama satu hari menimbulkan kerugian sekitar US$7 juta atau Rp 112 miliar.
Agar upaya mengatasi konten berbahaya dapat tetap berjalan tanpa mengorbankan hak-hak fundamental dan tetap relevan dengan konteks lokal, pembuat kebijakan di Indonesia perlu mengadopsi pendekatan yang lebih seimbang, transparan, dan menyeluruh. Langkah-langkah yang dapat diambil mencakup, antara lain, (i) peralihan dari pendekatan yang menitikberatkan penyensoran ke pendekatan berbasis pelindungan hak; (ii) penetapan definisi konten yang jelas, disertai proses hukum yang adil (due process); (iii) penyempurnaan SAMAN agar penegakannya lebih konsisten; (iv) penguatan tata kelola bersama yang bermakna (meaningful co-governance) dengan para pemangku kepentingan; serta (v) komitmen terhadap transparansi dan pengawasan publik yang lebih kuat.

Aldrich Alfarisi