Kebijakan pangan yang bias perlu dihindari untuk mendorong keragaman pangan di Indonesia. Kebijakan pangan selama ini seringkali fokus pada beberapa komoditas tertentu. Padahal Indonesia memiliki pangan yang beragam.
“Kebijakan pangan yang bias turut mempengaruhi akses dan konsumsi pangan produksi domestik untuk komoditas tertentu. Kebijakan pertanian sangat dipengaruhi prioritas menyangkut ketersediaan (availability) pangan, terutama beras, dari produksi domestik,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Azizah Fauzi.
Pembentukan lumbung pangan atau food estate dilakukan dengan alasan ketahanan pangan. Program ini digarap oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian dan kini tersebar di Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Lumbung pangan berambisi meningkatkan produksi domestik, namun terbatas beberapa komoditas tertentu saja, diantaranya adalah beras, bawang merah dan bawang putih.
Tidak bisa dipungkiri kebijakan swasembada yang sudah dimulai sejak Indonesia merdeka memberikan dampak pada munculnya ketergantungan terhadap komoditas pangan tertentu. Secara hukum ekonomi, konsumen akan cenderung mengkonsumsi pangan yang tersedia dalam jumlah besar / massal di pasar. Di luar faktor lain, seperti preferensi dan pemahaman soal gizi seimbang, konsumen dengan sendirinya akan memilih komoditas yang mudah ditemukan, dalam hal ini beras.
Harus diakui, kebijakan pangan cenderung fokus pada produksi dan stok, dan cenderung tidak mengedepankan aspek keragaman atau diversifikasi.
Tidak dapat dipungkiri, beras memang sudah menjadi satu komoditas pokok yang dikonsumsi di hampir semua wilayah Indonesia. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2021 konsumsi beras mencapai 13-46x lipat konsumsi makanan pokok kaya karbohidrat lainnya. Memaksakan preferensi pangan masyarakat tidak boleh dilakukan, tetapi kebijakan pangan bisa diarahkan untuk mendorong keragaman konsumsi.
Ketergantungan terhadap beras tentu memiliki implikasi terhadap gizi karena menghambat konsumsi pangan beragam dan bergizi seimbang. Padahal menurut WHO, asupan gizi seimbang, beragam dan cukup kalori sangat penting untuk mencegah datangnya penyakit.
Sementara, untuk komoditas apapun, produksi yang tidak memperhatikan praktek pertanian cerdas iklim (smart climate agriculture) tentu berbahaya bagi keberlanjutan dan ekosistem lingkungan.
(Tonton implikasi dari kebijakan perdagangan pangan terhadap konsumsi pangan di Indonesia di seri video MAPAN)
Diversifikasi pangan juga perlu didukung oleh pemanfaatan perdagangan pangan yang lebih terbuka dan transparan, sehingga harganya bisa lebih terjangkau. Pengembangan produksi dalam negeri juga perlu dilakukan melalui intensifikasi dan modernisasi untuk meningkatkan produktivitas secara efisien tanpa memperparah kerusakan lingkungan.
コメント