top of page

Menyeimbangkan Pertanian, Perut dan Planet

Diperbarui: 12 Jun 2022

Bulan Maret lalu, petani di Purworejo gagal panen akibat banjir yang merendam hingga 1.945 hektar sawah padi dan palawija. Kisah serupa akan semakin sering terjadi akibat krisis iklim. Laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan, pemanasan global akibat kegiatan manusia meningkatkan risiko cuaca ekstrim yang mengganggu aktivitas sektor pertanian, meningkatkan frekuensi gagal panen, mengurangi produksi pangan dan meningkatkan harga pangan.


Populasi Indonesia diperkirakan meningkat 22 persen menjadi 330 juta jiwa di tahun 2050, sementara produksi pangan Indonesia justru diperkirakan akan berkurang hingga 10 persen (Hecht, 2016). Studi dari Institut Pertanian Bogor memperkirakan krisis iklim akan menurunkan produksi padi Indonesia hingga 10 juta ton di tahun 2050. Padahal, saat ini sektor pertanian kita masih belum bisa secara optimal memenuhi ketahanan pangan, terutama bagi 20 juta orang Indonesia yang masih mengalami kelaparan.


Pertanian bukan hanya sektor yang terdampak, tapi juga salah satu sektor yang mempercepat krisis iklim.

Namun, pertanian bukan hanya sektor yang terdampak, tapi juga salah satu sektor yang mempercepat krisis iklim. Penggunaan lahan, alih guna lahan dan kehutanan menyumbang setengah dari total emisi gas rumah kaca Indonesia selama 20 tahun terakhir. Termasuk emisi dari kebakaran akibat praktik tebang-dan-bakar dan alih guna lahan untuk pertanian seperti yang didorong oleh kebijakan food estate.


Selain itu, penggunaan pupuk dan pestisida yang tidak efisien juga menimbulkan pencemaran lingkungan dan mengakibatkan erosi tanah atau menurunkan kualitas tanah. Aktivitas pertanian ini menambah lagi delapan persen dari total emisi gas rumah kaca Indonesia.


Sistem pertanian dituntut untuk memenuhi kebutuhan pangan yang meningkat dengan meminimalisir dampak lingkungan dan harus lebih tahan terhadap krisis iklim.

Resiliensi sektor pertanian, keberlangsungan lingkungan, dan ketahanan pangan adalah tujuan yang saling terkait. Sistem pertanian dituntut untuk memenuhi kebutuhan pangan yang meningkat dengan meminimalisir dampak lingkungan dan harus lebih tahan terhadap krisis iklim. Transformasi mendesak dilakukan demi mengurangi risiko krisis pangan di masa depan. Sistem pertanian perlu secara aktif mengambil strategi mitigasi dan adaptasi perubahan lingkungan.


Kebijakan dan Praktik Pertanian Berkelanjutan


Ada beberapa kebijakan yang mendukung pertanian berkelanjutan, seperti Undang-Undang No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim, dan Updated Nationally Determined Contribution yang memuat strategi menuju komitmen Paris Agreement. Strategi nasional dan kerangka hukum ini menjadi dasar upaya transformasi sektor pertanian. Sayangnya, pelaksanaannya di lapangan masih jauh dari harapan, bahkan berlawanan dengan strategi nasional.


Updated Nationally Determined Contribution memuat strategi mitigasi di sektor Forestry and Other Land Uses (FOLU) antara lain melalui restorasi hingga dua juta hektar lahan gambut tahun 2030, reforestasi dan rehabilitasi hutan. Alih-alih merestorasi lahan gambut, proyek food estate yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional malah mengambil 900.000 hektar di kawasan eks-pengembangan lahan gambut di Kalimantan Tengah untuk diolah (dengan jumlah hektar yang simpang siur).


Padahal sejarah mencatat ekstensifikasi masif food estate berkali-kali gagal mencapai tujuan ketahanan pangan yang diinginkan, dan malah berdampak negatif bagi masyarakat sekitarnya

Proyek food estate ini juga direncanakan akan diperluas ke Merauke, termasuk di kawasan hutan. Padahal sejarah mencatat ekstensifikasi masif food estate berkali-kali gagal mencapai tujuan ketahanan pangan yang diinginkan, dan malah berdampak negatif bagi masyarakat sekitarnya. Alih guna lahan juga jelas merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca Indonesia.


UU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan juga mengatur pemanfaatan lahan untuk pertanian perlu menggunakan pendekatan pengelolaan agroekosistem berdasarkan prinsip pertanian konservasi (Pasal 13), seperti pendekatan agroekologi yang mengedepankan keseimbangan antara lingkungan, biodiversitas, dan kesejahteraan petani dalam konteks dan komunitas lokal.


Kenyataannya, banyak praktik pertanian yang sudah terbukti kurang efisien dan memiliki jejak lingkungan yang negatif malah dilanggengkan, bahkan dipromosikan. Contohnya, penggunaan pupuk di Indonesia yang didominasi pupuk kimia, yang rata-rata sebesar 236 kg/hektar, lebih tinggi dari rerata penggunaan dunia di 137 kg/hektar.


Di saat yang sama, penelitian CIPS menunjukkan ada ketimpangan penggunaan pupuk antar daerah di Indonesia, terutama di luar Jawa, akibat akses ke pupuk yang tidak merata. Petani di beberapa daerah menggunakan pupuk secara berlebihan dan mencemari lingkungan sementara di daerah lain penggunaan pupuk tidak mencukupi hingga panen tidak optimal. Ini konsekuensi buruk dari program subsidi pupuk yang memberi insentif bagi jenis pupuk tertentu, mendistorsi pasar pupuk serta memiliki banyak tantangan di penyalurannya.


Selain itu, ketiga kerangka regulasi dan strategi di atas juga menunjukkan pentingnya riset dan pengembangan benih dan varietas unggul serta teknologi pertanian yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Riset bersama International Food Policy Research Institute, Bappenas, dan Asian Development Bank menemukan bahwa investasi di riset pertanian masih sangat minim, dan investasi swasta jauh lebih terbatas. Adopsi hasil pengembangan yang berpotensi, oleh petani juga masih rendah. Adopsi varietas padi unggul memakan sampai 10-15 tahun.


Riset menunjukkan adopsi varietas dengan hasil yang lebih tinggi dan praktik pertanian yang baik seperti pemakaian pupuk dan nutrien yang tepat bisa meningkatkan produksi padi hingga 37 persen (Erythrina, 2021). Strategi ini jelas lebih unggul dibanding ekstensifikasi food estate.


Urgensi Transformasi Sektor Pertanian yang Berkelanjutan


Krisis iklim dan krisis pangan saling terkait, dengan implikasi besar pada krisis kemanusiaan. Sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang pendekatannya terhadap pangan dan pertanian dan mengambil tindakan untuk mentransformasi ke arah yang lebih resilien dan berkelanjutan.


Transformasi perlu dimulai dengan mengubah paradigma, meninggalkan strategi ekstensifikasi dan pembukaan lahan baru untuk pertanian, menuju ke pengelolaan sumber daya yang ada secara optimal dan berkelanjutan.

Transformasi perlu dimulai dengan mengubah paradigma, meninggalkan strategi ekstensifikasi dan pembukaan lahan baru untuk pertanian, menuju ke pengelolaan sumber daya yang ada secara optimal dan berkelanjutan. Selain itu, ada beberapa langkah konkret yang bisa mendorong transformasi ini.


Pertama, pemerintah perlu meningkatkan investasi bagi riset dan pengembangan pertanian terutama melalui peran petani, swasta, dan akademis dalam kreasi bersama. Hasilnya kemudian perlu dipromosikan secara aktif untuk mempercepat adopsi, terutama melalui program-program penyuluhan pertanian.


Kedua, praktik pertanian dan agroekologi yang baik, seperti pengelolaan sumber daya yang terintegrasi antara pertanian dan peternakan atau antara beberapa jenis tanaman yang membawa sinergi, perlu ditingkatkan. Kearifan lokal memiliki banyak contoh-contoh baik yang bisa didukung, daripada mendorong program food estate yang bersifat top-down.


Ketiga, pemerintah perlu mengkaji ulang program subsidi pupuk yang memakan Rp 25,3 triliun dari APBN 2022. Peraturan serta mekanisme penyalurannya belum efektif dalam mendukung sektor pertanian saat ini. Anggaran bisa direalokasi untuk mendukung riset dan pengembangan dengan pengembalian investasi yang lebih tinggi.


Keempat, dengan meningkatnya bencana alam akibat krisis iklim, perlu ada sistem informasi, pemantauan, dan peringatan dini untuk membantu petani mengantisipasinya. Kementerian Pertanian perlu bekerja sama dengan LAPAN, BNPB, dan BMKG untuk mengoperasionalkan sistem peringatan dini dan meningkatkan kapasitas respons petani.


Kita sudah diberi peringatan dini baik tentang krisis iklim maupun krisis pangan. Langkah yang kita ambil saat ini akan menentukan sebaik apa kita bisa menavigasi tantangan tersebut, demi planet, perut, dan petani kita.


276 tampilan

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page