top of page

Riset CIPS: Bias 'Tak Kasat Mata' di Kelas Hambat Siswi Tekuni Sains dan Teknologi

Keterlibatan siswa perempuan dalam bidang Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika (STEM) di Indonesia terhambat tantangan yang ā€˜tak kasat mata’, demikian penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan.


Penelitian terbaru dari CIPS menemukan situasi ini, antara lain, disebabkan oleh masih terbatasnya pemahaman tentang hambatan gender di lingkungan sekolah. Prinsip kesetaraan belum selalu diterapkan secara konsisten dalam proses belajar-mengajar, dan stereotip gender seringkali tidak disadari baik oleh guru maupun siswa.


ā€œKeterlibatan siswa perempuan terhambat, salah satunya, oleh stereotip gender yang masih menganggap STEM sebagai ā€˜bidang laki-laki’, kurangnya panutan perempuan di bidang ini, serta kendala sosial dan budaya seperti tuntutan peran ganda (karier dan tanggung jawab rumah tangga) yang belum didukung oleh kebijakan tempat kerja yang inklusif,ā€ jelas Analis dan Peneliti Kebijakan Publik CIPS Jimmy Daniel Berlianto.


Data UNESCO (2020) menunjukkan, proporsi lulusan perempuan di bidang STEM di Indonesia hanya sekitar 40% pada periode 2015–2018. Padahal, mereka mendominasi jumlah mahasiswa secara keseluruhan.Ā 


Penelitian CIPS pada 2025 memperlihatkan, penurunan partisipasi ini bukan terjadi di perguruan tinggi, melainkan dimulai sejak tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), ketika aspirasi karir dan rasa percaya diri terhadap kemampuan sains mulai terbentuk dan seringkali terpatahkan.


Dengan bias yang berlangsung di ruang kelas, banyak siswi kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka di bidang STEM, meskipun memiliki minat yang tinggi. Tanpa perubahan di tingkat pendidikan dasar dan menengah, Indonesia berisiko kehilangan separuh talenta terbaiknya di tengah dorongan menuju transformasi digital yang membutuhkan jutaan tenaga ahli teknologi.


CIPS menilai, kesetaraan gender di bidang STEM ditentukan oleh sinergi antara rumah dan sekolah. Kepala sekolah perlu memastikan prinsip kesetaraan terintegrasi dalam manajemen dan pembelajaran, guru berperan mendorong inovasi dan kolaborasi agar pembelajaran lebih inklusif, sementara orang tua hadir mendukung anak agar dapat mengeksplorasi bidang STEM tanpa terhalang norma.


ā€œMendorong kesetaraan gender di bidang STEM membutuhkan peran bersama. Sekolah perlu menciptakan ruang belajar yang inklusif, sementara orang tua membantu menumbuhkan kepercayaan diri anak dan menantang norma gender yang masih membatasi peran siswi di bidang ini,ā€ ujar Jimmy.


Dukungan pemerintah daerah tak kalah penting dan bisa diwujudkan lewat pengembangan kompetensi guru yang responsif terhadap konteks lokal. Di tingkat nasional, instrumen pemantauan perlu memasukkan indikator inklusivitas yang jelas dan praktis, sehingga kesetaraan gender dapat tercapai lewat praktik belajar hingga dialog yang terjadi di ruang kelas.


CIPS mengajak Kemendikdasmen, pemerintah daerah, dan para pimpinan sekolah untuk berkolaborasi serta menjalankan praktik pengajaran responsif gender sebagai standar baru dalam pendidikan STEM di Indonesia. Hal tersebut dimulai dari pelatihan guru dan integrasi ke dalam Rapor Pendidikan.


"Kita tidak bisa lagi beralasan bahwa siswi 'memang tidak minat' pada bidang STEM. Studi kami jelas menunjukkan bahwa sistem di sekolah, seperti dari cara guru berinteraksi hingga ekspektasi orang tua, secara aktif menjauhkan mereka dari bidang ini. Untuk mencapai potensi ekonomi digital Indonesia, kita harus secara serius berinvestasi pada guru dan menciptakan ruang kelas yang setara bagi setiap anak,ā€ tegas Jimmy.

Komentar


Mengomentari postingan ini tidak tersedia lagi. Hubungi pemilik situs untuk info selengkapnya.
  • Youtube CIPS
  • Twitter CIPS
  • Instagram CIPS
  • LinkedIn CIPS
  • Email CIPS
bottom of page