top of page

Represi Digital dan Masa Depan Demokrasi Tanah Air

Demokrasi digital Indonesia berada di persimpangan. Kebebasan ruang publik daring kian menyempit dan diatur berlebihan. Represi hingga kriminalisasi yang terulang oleh pemerintah menodai marwah hak asasi manusia (HAM) dan membatasi hak-hak digital warga di tengah situasi ekonomi dan politik yang kian terhimpit.


Gelombang protes publik yang melanda sejumlah kota di Indonesia sejak 25 Agustus 2025 telah menimbulkan pertanyaan mendesak tentang legitimasi negara melakukan intervensi berlebih atas ruang digital. Protes serentak ini lahir dari ketidakpuasan publik yang meluas terhadap iklim politik negara, kebijakan-kebijakan yang inkonsisten serta ketidakadilan sosial dan ekonomi yang terus berlanjut.


Mengacu pada catatan insiden baru-baru ini, tulisan ini menyoroti upaya pemerintah mengontrol narasi dan membatasi hak-hak digital warga melalui kebijakan moderasi konten yang kurang tepat.



Indikasi pembatasan informasi yang berlebihan


Dalam setiap situasi genting seperti demonstrasi massal, pemerintah kerap mengambil langkah reaktif dan prematur dengan memblokir atau membatasi akses terhadap konten bahkan layanan digital. Alasan klisenya, demi “menjaga” keamanan dan stabilitas nasional serta penanggulangan ujaran kebencian.


Pola-pola ini mencerminkan insiden gangguan internet sebelumnya selama protes dalam beberapa tahun terakhir. Contohnya saat Pem-ilihan Umum 2019 dan 2024 dan juga demonstrasi anti rasisme Papua pada 2019 dan 2021. Laporan-laporan SAFEnet tentang situasi hak digital Indonesia sejak 2019 secara konsisten mendokumentasikan tren ini.


Hal yang sama juga terjadi saat demonstrasi mengkritisi tunjangan DPR baru-baru ini. Rabu lalu (26/08), Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) memanggil Meta dan Tiktok serta menyurati X, dikarenakan tidak memiliki kantor di Indonesia, untuk memperkuat moderasi kontennya. Menurut Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria, target moderasinya adalah “konten disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK),” yang juga tidak jelas batasannya.


Ketika platform user-generated content (UGC) menjadi medan utama interaksi publik sekaligus pusat informasi cepat dan alternatif, negara punya banyak kepentingan untuk mengawasinya.


Salah satu caranya lewat regulatory capture yang didesain agar beban tanggung jawab konten pengguna ada di pundak platform. Segala bentuk ketidakpatuhan pun diancam dengan sanksi yang sangat berat.


Contohnya pada Sabtu lalu (30/08), fitur siaran langsung pada Tiktok dinonaktifkan konon secara “sukarela” oleh Tiktok seiring dengan meningkatnya tensi di beberapa kota di Indonesia. Di hari yang sama pada malam hari, beredar rumor bahwa Instagram Live melambat serta terjadi pembatasan akses internet oleh sejumlah operator telekomunikasi seluler. Namun belum ada keterangan resmi dari pihak-pihak terkait saat artikel ini ditulis.


Padahal, fitur live streaming di platform dapat berfungsi sebagai sarana langsung bagi publik sekaligus alat untuk mengawasi potensi disinformasi dari sumber tak jelas. Pemerintah belum pernah menjelaskan secara transparan situasi seperti apa yang dapat menjadi dasar pembatasan layanan internet.


Padahal, putusan pengadilan menegaskan pembatasan internet hanya sah jika negara mendeklarasikan keadaan darurat, sehingga klaim keamanan atau menghindari keresahan publik sebagai justifikasi pembatasan digital terasa inkonsisten dan subjektif.



Moderasi yang berujung sensor


Politik moderasi konten lewat kolusi pemerintah-platform semacam itu telah menjadi benteng represi yang terus menguat di Indonesia. Risikonya adalah berkurangnya keragaman informasi dan penguatan sensor mandiri oleh platform sebagai langkah preemptif agar terhindar dari sanksi pemblokiran atas regulasi represif.


Hal ini merupakan dampak dari adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

(yang dikenal sebagai UU ITE) beserta aturan turunannya.


Sebagai aturan turunan UU ITE, Peraturan Menkominfo No. 5/2020 menjadi peraturan utama

yang menguraikan aturan main moderasi konten. Permen ini diperkuat dengan Keputusan Menkominfo No. 522/2024 yang menjelaskan tahapan sanksi setiap pelanggaran serta memperkenalkan sistem kepatuhan moderasi konten (SAMAN) bagi platform.


Studi Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) tahun 2021 dan 2025 telah banyak mengkritisi rezim moderasi konten saat ini yang mengarah pada penyensoran sistematis, mulai dari ambiguitas definisi konten ilegal dan terbatasnya mekanisme moderasi konten hingga pemusatan kekuasaan pemerintah.


Belum lagi masih minimnya proses hukum yang adil. Imbasnya adalah kebebasan berekspresi daring yang terancam serta berpotensi mengganggu ambisi ekonomi digital Indonesia yang dapat mencapai 5.8 kuadriliun rupiah pada 2030 mendatang.


NetLoss Calculator dan The Cost of Shutdown Tool memperkirakan telah terjadi kerugian ekonomi yang mencapai milyaran rupiah, sebagai dampak dari kebijakan moderasi konten yang berlebihan. Pemadaman internet di Indonesia pada 2025, misalnya, diperkirakan dapat

merugikan PDB Indonesia sebesar 848 miliar rupiah per harinya (sekitar 0,0038% dari PDB 2024 Indonesia).


Sementara pemblokiran layanan daring diperkirakan merugikan sekitar 112 miliar rupiah per

harinya (atau 0,000506% dari PDB).



Urgensi perbaikan tata kelola moderasi konten


Gangguan akses internet dan aliran informasi di wilayah protes utama seperti Jakarta dan Bandung, termasuk moderasi konten berlebihan, pembatasan fitur live, serta pemadaman listrik, membatasi hak akses publik terhadap informasi dan meningkatkan risiko kekerasan bagi peserta demonstrasi. Respons represif negara maupun platform terhadap dinamika demokrasi daring yang tumbuh secara organik baru-baru ini mengindikasikan upaya penyensoran yang meluas.


Komdigi perlu serius melakukan reformasi tata kelola moderasi konten yang terdapat dalam

Peraturan Menkominfo No. 5/2020 dan Keputusan Menkominfo No. 522/2024. Mulai dari memperjelas definisi pasal-pasal karet dan sensitif, memprioritaskan penanganan konten yang paling mendesak saja, memastikan transparansi dan akuntabilitas alasan penurunan konten, dan lakukan fleksibilitas analisis konten per konten untuk mekanisme banding SAMAN.


Dalam perbaikan regulasinya, Prinsip Santa Clara tentang Transparansi dan Akuntabilitas Moderasi Konten perlu dijadikan landasan guna menciptakan kerangka kerja praktik moderasi konten terbaik. Pelibatan partisipatoris multipemangku kepentingan melalui pendekatan koregulasi juga penting guna memastikan tata kelola moderasi konten berjalan secara adil, seimbang, dan inklusif.


Di saat situasi genting, platform juga harus bekerja lebih keras untuk memastikan konten dan informasi yang beredar kredibel dan faktual, bukan hoaks atau palsu. Mekanisme penyortiran dan penurunan konten palsu inilah yang mestinya diperkuat tanpa harus menutup keseluruhan layanan. Apalagi, penutupan ini berisiko merugikan mata pencaharian, terutama bagi pelaku bisnis kecil yang mengandalkan siaran langsung untuk penjualan.


Sama pentingnya, Indonesia perlu memprioritaskan pengesahan RUU Anti-SLAPP (Anti- Strategic Lawsuit Against Public Participation) yang dapat melindungi kebebasan berekspresi


dan partisipasi publik di ruang digital. Payung hukum semacam ini dapat berfungsi sebagai

penyeimbang terhadap penyalahgunaan UU ITE dengan melindungi aktivis-aktivis hak digital dari tuntutan pencemaran nama baik yang tidak adil serta intimidasi hukum lainnya.


Sejatinya, kebebasan berekspresi di Indonesia dilindungi oleh UUD 1945 (Pasal 28), UU No.

39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan segala bentuk represi dan ancaman terhadap hak kebebasan tersebut harus dilawan.

  • Youtube CIPS
  • Twitter CIPS
  • Instagram CIPS
  • LinkedIn CIPS
  • Email CIPS
bottom of page