Unduh versi PDF di sini.
Pesan Utama
Di Indonesia, hubungan orang tua dengan sekolah sebagian besar dijalin melalui keterlibatan dalam pendidikan anaknya. Keterlibatan orang tua ini menjadi semakin besar ketika pembelajaran jarak jauh diberlakukan akibat adanya pandemi COVID-19 karena mereka harus mengawasi proses belajar anak, memantau kemajuan akademisnya, memastikan bahwa tugas-tugas sekolah dikerjakan, dan menjaga komunikasi dengan guru. Namun, keterlibatan orang tua dalam manajemen sekolah dan proses pengambilan keputusan masih terbilang rendah, meski Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah memandatkan pembentukan Komite Sekolah guna mendukung manajemen serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sekolah.
Mayoritas orang tua merasa puas dengan kebijakan pembelajaran tatap muka karena metode ini disebut memberikan lingkungan belajar yang lebih kondusif dibandingkan pembelajaran jarak jauh. Mereka juga merasa puas dengan adanya kebebasan memilih dalam kebijakan ini, karena orang tualah yang memutuskan apakah anaknya dapat kembali ke sekolah atau melanjutkan pembelajaran secara daring dari rumah.
Orang tua yang tidak puas dengan pembelajaran tatap muka mengatakan bahwa kebijakan ini belum sepatutnya diberlakukan mengingat jumlah kasus COVID-19 yang semakin meningkat akibat gelombang Omicron. Naiknya jumlah kasus ini juga membuat sejumlah orang tua mengkhawatirkan peningkatan risiko penularan di rumah dan meragukan kapasitas sekolah dalam mematuhi protokol kesehatan.
Kemendikbudristek perlu menambah peluang bagi para orang tua untuk dapat terlibat dalam manajemen sekolah dengan memperkenalkan kembali Komite Sekolah. Komite Sekolah dapat diperkenalkan kepada pemimpin sekolah sebagai bagian dari pemulihan pascapandemi, dikarenakan anggota komite dapat memberikan dukungan tambahan demi memastikan implementasi pembelajaran tatap muka yang aman dan efektif, khususnya ketika pandemi masih belum berakhir.
Dalam keadaan darurat, sekolah perlu diberikan otonomi yang lebih besar agar mampu memberi respons yang tepat sesuai dengan sumber daya dan kapasitas yang dimiliki. Maka dari itu, dengan kebijakan seperti ini, sekolah tidak akan terlalu terdampak oleh kebijakan yang berubah-ubah dari Kemendikbudristek— yang tentunya tidak dapat dihindari dalam masa krisis. Otonomi yang lebih besar dapat memberdayakan para pemimpin sekolah dalam manajemen sekolah dan proses pengambilan keputusan, misalnya untuk melancarkan peralihan dari pembelajaran jarak jauh ke pembelajaran tatap muka.
Upaya untuk menanggulangi hambatan-hambatan yang ada dalam pembelajaran jarak jauh harus terus dilakukan, bahkan ketika pandemi telah berakhir. Kemendikbudristek, bersama dengan kementerian-kementerian relevan lainnya seperti Kementerian Agama dan Kementerian Komunikasi dan Informatika harus lebih memperhatikan dan mendorong kemitraan pemerintah-swasta dengan para penyedia telekomunikasi dan perangkat keras, serta menyasar program-program literasi digital dengan tepat guna menjembatani kesenjangan digital. Langkah-langkah ini sangatlah penting untuk memastikan bahwa siswa akan memiliki sistem dukungan yang baik ketika pembelajaran jarak jauh harus kembali diberlakukan.
Kembali ke Sekolah
Karena guru tidak dapat memantau perkembangan akademik dan sosio-emosional siswa secara seksama dalam pembelajaran jarak jauh, orang tua semakin dituntut untuk memainkan peran yang lebih besar dalam pendidikan anak-anaknya. Sejumlah studi yang dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia menemukan bahwa hampir 8095% orang tua terlibat dalam proses pembelajaran jarak jauh anaknya, meski kapasitasnya bervariasi (Novanti dan Garzia, 2020; Simanjuntak dan Kismartini, 2020). Beberapa tanggung jawab orang tua meliputi koordinasi dengan guru terkait rencana pembelajaran dan tugas, mengumpulkan atau mengunggah pekerjaan rumah anak ke platform daring, dan dalam sejumlah kasus, mengajar sendiri materi sekolah kepada anak.
Dalam dua tahun terakhir, pihak sekolah tidak memiliki pilihan lain kecuali terus menyesuaikan operasionalnya berdasarkan rekomendasi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) akibat naik turunnya jumlah kasus COVID-19 yang terkonfirmasi. Keadaan tersebut membuat kebijakan pembelajaran terus berubah-ubah antara pembelajaran jarak jauh dan pembelajaran tatap muka.
Pada bulan Desember 2021, Kemendikbudristek bersama dengan Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan Keputusan Bersama No. 03/KB/2021, No. 384/2021, No. HK.01.08/MENKES/424/2021, dan No. 440-717/2021, yang memperbolehkan penerapan pembelajaran tatap muka untuk satuan pendidikan yang berada dalam wilayah-wilayah tertentu (disebut juga sebagai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat[1] atau wilayah PPKM level 1, 2, dan 3).
Kebijakan ini dikeluarkan dengan beberapa syarat, termasuk kepatuhan terhadap protokol kesehatan COVID-19 (disebut juga sebagai 5M[2]), vaksinasi tenaga pendidik, verifikasi dan evaluasi kesiapan sekolah oleh kepala daerah dan Kemendikbudristek atau Kemenag (untuk Madrasah[3]), dan lain-lain. Apabila sekolah tidak dapat memenuhi syarat-syarat tersebut, mereka harus melanjutkan pembelajaran secara jarak jauh. Kebijakan yang sama juga berlaku untuk sekolah-sekolah yang terletak di wilayah PPKM level 4. Sekolah dapat menerapkan kebijakan pembelajaran tatap muka melalui empat cara:
Selain itu, sekolah-sekolah yang tidak melaksanakan pembelajaran tatap muka dengan kapasitas penuh dapat menawarkan model pembelajaran campuran (hybrid learning). Artinya, ketika siswa tidak masuk sekolah secara tatap muka, mereka dapat belajar secara daring. Dalam kasus-kasus tersebut, siswa akan menjalani pembelajaran daring dan luring secara bergantian.
Namun, dengan meningkatnya jumlah kasus varian Omicron, muncul tanggapan yang berbeda-beda dari masyarakat terkait peraturan yang baru. Hal ini dikarenakan para orang tua mengkhawatirkan kesehatan dan keselamatan anak-anaknya, sekaligus mempertimbangkan dampak jangka panjang pembelajaran jarak jauh. CIPS melakukan sebuah survei pada bulan Maret 2022 untuk menggali persepsi orang tua terhadap pembelajaran tatap muka, khususnya mengenai proses pengambilan keputusan atas pendidikan anak-anak mereka. Data dikumpulkan dari total 326 orang tua siswa dari seluruh jenis kelamin, tingkat sekolah, wilayah, dan pendapatan rumah tangga[4].
Dilema Orang Tua terkait Pembelajaran Tatap Muka
Hasil survei mengungkap bahwa mayoritas responden (60%) merasa “agak puas” dengan kebijakan pembelajaran tatap muka (Gambar 1). Temuan ini konsisten dalam seluruh jenis kelamin, usia, pendapatan rumah tangga, dan jenis sekolah anak.
Sejumlah orang tua mengatakan bahwa mereka “cukup puas” dengan kebijakan pembelajaran karena penerapannya dirasa masih belum sesuai harapan. Sebanyak 9 dari 20 responden yang menyatakan bahwa terdapat kesenjangan dalam kebijakan pembelajaran tatap muka berpendapat bahwa keterbatasan kapasitas dan waktu menjadi kelemahan kebijakan ini. Mereka percaya bahwa kedua faktor ini menghambat kemampuan anak-anaknya dalam menyerap materi secara efektif. Ditambah lagi, ketika siswa beralih ke pembelajaran daring, mereka dapat kehilangan ketertarikan dan motivasi untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran. Serupa dengan temuan tersebut, 36% dari orang tua yang merasa “kurang puas” dan “sangat tidak puas” dengan kebijakan pembelajaran tatap muka mengatakan bahwa penerapannya masih belum efektif. Dari 36% tersebut, lebih dari separuh berpendapat bahwa ketidakefektifan ini diakibatkan oleh terbatasnya waktu. Ini menunjukkan bahwa orang tua mengharapkan pemberlakuan kembali pembelajaran tatap muka seperti pelaksanaan pembelajaran tradisional sebelum pandemi.
Dari para responden yang mengaku “sangat puas” dan “cukup puas” dengan kebijakan pembelajaran tatap muka, alasan yang paling banyak diberikan untuk tingkat kepuasan tersebut adalah peningkatan dalam proses dan hasil belajar (48 responden), kepercayaan terhadap protokol kesehatan sekolah (47 responden), diikuti oleh menambah sosialisasi dengan guru dan teman sekolah (33 responden) terlepas dari jenis skema kebijakan tatap muka yang diterapkan oleh sekolah anak-anaknya. Sebagian besar orang tua (71%) setuju bahwa lingkungan belajar di sekolah jauh lebih kondusif dibandingkan di rumah. Hal ini mencerminkan tingkat kekhawatiran yang dimiliki orang tua akan dampak pembelajaran jarak jauh terhadap kemajuan akademik anaknya. Pasalnya, kaitan antara pembelajaran jarak jauh dengan hilangnya kemampuan akademik (learning loss) semakin menjadi perhatian para orang tua.
Keefektifan pembelajaran jarak jauh dirasakan secara tidak merata oleh keluarga-keluarga dengan pendapatan rendah, khususnya yang tinggal di perdesaan, karena dirugikan oleh keterbatasan akses terhadap konektivitas internet yang stabil dan terjangkau serta gawai yang memadai. Jaringan sinyal masih lebih kuat di Pulau Jawa karena pulau ini menjadi tempat tinggal setengah dari keseluruhan populasi Indonesia. Menurut Boston Consulting Group dan International Telecommunication Union (2021), sekitar 13 juta masyarakat Indonesia yang tersebar di 12.500 desa terpencil tidak memiliki akses internet. Daerah-daerah perkotaan juga terkena dampak konektivitas internet yang kurang merata. Para keluarga yang tinggal di daerah-daerah ini juga terdampak secara negatif dengan diadopsinya pembelajaran dari rumah (home-based learning) karena hanya ada kurang dari 25% anak-anak yang memiliki komputer untuk mendukung kegiatan pembelajaran jarak jauh (UNICEF, 2020a).
Sementara itu, guru dan orang tua juga kesulitan beradaptasi dengan pembelajaran jarak jauh karena mereka belum pernah mengintegrasikan dan menggunakan teknologi untuk pendidikan sebelumnya. Keterbatasan pengalaman dan kompetensi digital inilah yang lantas menghambat kapasitas mereka dalam menunjang dan mendampingi pembelajaran daring siswa. Selama pembelajaran tatap muka dihentikan, siswa tidak memiliki pilihan lain selain belajar di lingkungan yang tidak memfasilitasi pembelajaran berbasis teknologi yang efektif.
Sejak pembelajaran jarak jauh diberlakukan, banyak siswa dilaporkan mengalami penurunan kapasitas dan kemampuan belajar. Dengan ditutupnya sekolah secara sementara hingga melewati Desember 2021, Bank Dunia (2021) memperkirakan bahwa siswa-siswi di Indonesia kehilangan pelajaran selama 1,2 tahun. Menurut Pratiwi (2021), ada empat strategi yang dapat digunakan oleh orang tua untuk memitigasi kehilangan kemampuan akademik dalam pembelajaran jarak jauh: membuat jadwal rutin seperti ketika masih sekolah tatap muka, mengawasi kemajuan akademik anak dengan seksama, menguasai materi pelajaran, dan aktif berkomunikasi dengan guru. Namun demikian, banyak orang tua mengaku merasa stres dengan bertambahnya peran mereka dalam pembelajaran jarak jauh karena kesulitan menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan dan pendidikan anak.
Sekitar 16% orang tua mengatakan bahwa, dengan kebijakan pembelajaran tatap muka, mereka memiliki waktu lebih banyak untuk menyelesaikan tanggung jawab lain karena keharusan mengawasi pembelajaran anak berkurang. Dari 16% orang tua tersebut, mayoritas adalah ibu (65%) yang tinggal di daerah perdesaan (97%), memiliki pendapatan rumah tangga kurang dari IDR 15.000.000 per bulan (47%), dan berasal dari pasangan suami istri yang sama-sama bekerja (39%). Hal ini konsisten dengan temuan-temuan dari UNICEF, UNDP, Prospera, dan SMERU (2021), dimana 71.5% dari rumah tangga dalam sampel mereka menunjukkan bahwa orang tua yang mendampingi anaknya dalam kelas daring adalah ibu.
Para ibu dirugikan secara tidak adil oleh kebijakan pembelajaran jarak jauh. Bahkan ketika kedua orang tua bekerja, ibulah yang diharapkan mengambil tanggung jawab mendampingi pembelajaran anaknya di rumah. Kerr et al. (2021) menemukan bahwa hal tersebut mengakibatkan lebih banyak ibu merasa lelah secara emosional (burnout) di kala pandemi. Mereka harus menghadapi perubahan dalam pekerjaan dan kerugian finansial akibat resesi COVID-19 sembari menyeimbangkan tanggung jawab pekerjaan dengan kehidupan. Kesulitan-kesulitan ini dapat memengaruhi tekanan dan keinginan dari orang tua untuk memberlakukan kembali pembelajaran tatap muka bagi anak-anaknya, yakni untuk meringankan beban yang telah dirasakan selama dua tahun terakhir.
Di sisi lain, dari 26% orang tua yang “kurang puas” dan “sangat tidak puas” dengan kebijakan pembelajaran tatap muka, 53% mengatakan bahwa alasan mereka menjawab demikian adalah karena waktu pemberlakuan kebijakan ini dirasa tidak tepat, melihat situasi COVID-19 saat ini yang belum sepenuhnya terkendali. Sebuah studi yang dilakukan oleh Chen et al. (2022) mengungkap bahwa varian Omicron 10 kali lebih menular dibandingkan varian awal COVID-19. Dengan tingginya tingkat penularan Omicron, kontak langsung secara fisik di sekolah meningkatkan kemungkinan siswa dan guru terkena virus ini. Pada bulan September 2021, Kemendikbudristek mencatat sebanyak total 1.299 sekolah yang menjadi klaster virus COVID-19, dimana 15.655 siswa terinfeksi (Databoks, 2021). Meski anak-anak dan remaja memiliki risiko kematian akibat COVID-19 yang rendah, sejumlah studi menyoroti adanya laporan kasus masalah syaraf pada anak-anak dengan COVID-19, seperti penyakit strok, demielinasi, dan ensefalopati (Bhopal et al., 2021; Lin et al., 2021; LaRouvere, Riggs, dan Poussaint, 2021).
Karena dampak jangka panjang COVID-19 masih belum diketahui, banyak orang tua lebih memilih pembelajaran jarak jauh dibandingkan tatap muka karena mereka mengutamakan kesehatan dan keselamatan anak-anaknya di atas pencapaian akademik, terutama bagi mereka yang mengidap penyakit bawaan seperti asma dan diabetes (Limbers, 2020). Lebih lanjut lagi, pemerintah Indonesia baru memperbolehkan vaksinasi untuk anak-anak usia 12-17 tahun pada bulan Juli 2021 dan usia 6-11 tahun pada bulan Desember 2021. Data dari Kemenkes (2022) menunjukkan bahwa hingga 17 April 2022, sekitar 81% dan 62% anak-anak berusia 12-17 dan 6-11 tahun, secara berturut-turut, telah menerima dosis vaksin kedua. Sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa dua vaksin booster (sebagai tambahan dari dua dosis) mungkin dibutuhkan untuk meningkatkan kekebalan terhadap varian Omicron (Regav-Yochay et al., 2022). Namun, mengingat fakta bahwa program vaksinasi baru dilaksanakan pada akhir tahun 2021, jumlah anak yang telah menerima vaksin booster masih sangat sedikit. Sehingga, para orang tua tetap mewaspadai peningkatan paparan virus dalam pembelajaran tatap muka demi kesehatan dan keselamatan anak-anaknya, meski mereka telah divaksin penuh.
Karena pembelajaran tatap muka meningkatkan mobilitas, 26% dari orang tua yang menyatakan ketidakpuasannya terhadap kebijakan pembelajaran tatap muka juga mengungkapkan kekhawatiran terkait peningkatan risiko penularan virus ke anggota keluarga lain, yang bisa jadi meliputi individu-individu yang paling rentan terhadap COVID-19 (seperti individu dengan penyakit komorbid atau belum divaksin). Ini menunjukkan bahwa kebijakan tatap muka, khususnya di kala pandemi, tidak hanya berdampak pada siswa, guru, dan orang tua, melainkan juga anggota keluarga lainnya dalam rumah tangga.
Sebagai penganut budaya kolektivisme, banyak orang Indonesia tinggal dengan orang tua di rumah, dengan 28% dan 39% lansia tinggal dengan keluarga dan tiga generasi dalam satu atap, secara berturut-turut (Badan Pusat Statistik, 2020). Sejak Maret 2020, penurunan pendapatan rumah tangga serta kekhawatiran akan risiko kematian akibat COVID-19 telah mendorong banyak masyarakat lansia untuk tinggal bersama keluarga (TNP2K, 2020). Dengan demikian, mereka bisa lebih mudah mendapatkan perawatan dan dukungan, khususnya dengan adanya pembatasan mobilitas ketika pandemi. Kementerian Sosial menyatakan bahwa di Indonesia, perawatan berbasis rumah merupakan pendekatan utama dalam merawat lansia (Kemensos, 2021). Maka dari itu, persepsi orang tua terhadap kebijakan pembelajaran tatap muka juga dipengaruhi oleh dinamika rumah tangga karena mereka harus memikirkan kesehatan dan keselamatan keluarga sebagai satu kesatuan, alih-alih secara individu.
Selain kekhawatiran terkait penyebaran COVID-19, 27 orang tua juga meragukan kesiapan dan kapasitas sekolah dalam melaksanakan kelas tatap muka dengan aman. Temuan ini konsisten dengan temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2021), yang melaporkan bahwa setelah mengamati penerapan pembelajaran tatap muka di 42 sekolah di 12 kota, sekitar 80% masih belum siap, terutama dalam hal infrastruktur dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan.
Data survei menunjukkan bahwa tingkat implementasi protokol COVID-19 dipengaruhi oleh jenis sekolah. Sebagian besar sekolah internasional (30%) menerapkan protokol kesehatan dengan jumlah terbanyak (sembilan[5]) sebagai bagian dari kepatuhan terhadap protokol kesehatan sebagaimana dimandatkan oleh pemerintah (Gambar 2). Sebagian besar sekolah negeri nasional (22%), swasta nasional (41%), dan nasional plus (36%) menerapkan delapan protokol kesehatan, dimana rapid test menjadi metode yang paling sedikit dilakukan. Penting untuk dicatat bahwa secara rerata, Madrasah memiliki protokol COVID-19 yang paling bervariasi. Dua Madrasah dalam sampel survei dilaporkan menerapkan kesembilan protokol kesehatan, sedangkan dua Madrasah lainnya hanya menerapkan satu.
Data menunjukkan bahwa kapasitas sekolah dalam menerapkan dan mematuhi protokol kesehatan pada pembelajaran tatap muka bergantung kepada tingkat sumber daya yang dimiliki sekolah. Hal ini memengaruhi persepsi orang tua terhadap pembelajaran tatap muka, terutama terkait kepercayaan (atau keraguan) pada protokol kesehatan yang diterapkan. Semakin banyak jumlah protokol yang diterapkan oleh sekolah, semakin tinggi nilai kepuasan orang tua.
Sebanyak 23 orang tua mengaku puas dengan tersedianya pilihan dalam kebijakan pembelajaran tatap muka, sementara 8 lainnya merasa tidak puas karena tidak memiliki pilihan lain dalam proses pembelajaran anaknya. Yang dimaksud dengan pilihan dalam kebijakan ini adalah kebebasan orang tua untuk memutuskan apakah anaknya akan mengikuti kegiatan sekolah secara tatap muka atau daring. Keputusan Bersama No. 03/KB/2021 menyatakan bahwa “orang tua/wali peserta didik dapat memilih pembelajaran tatap muka terbatas atau pembelajaran jarak jauh bagi anaknya.” Kebebasan memilih ini disambut dengan baik oleh orang tua karena anak diperbolehkan untuk melanjutkan pembelajaran jarak jauh apabila belum siap untuk kembali ke sekolah tatap muka. Dengan demikian, orang tua dapat menggunakan hak dan menjalankan peran mereka untuk mengambil keputusan penting terkait pendidikan anak.
Selain itu, 26 orang tua juga memberikan saran mengenai bagaimana pelaksanaan pembelajaran tatap muka dapat diperbaiki, baik untuk mengoptimalkan pembelajaran siswa maupun memastikan keselamatan siswa dan guru. Contohnya, dengan merebaknya varian Omicron, salah satu orang tua yang sekolah anaknya menerapkan pembelajaran tatap muka dengan kapasitas terbatas mengusulkan, “[siswa] sebaiknya tidak berada di sekolah terlalu lama. Dan mungkin [mereka] sebaiknya tidak makan di jam istirahat, karena mereka akan membuka masker terlalu lama dan itu berbahaya.” Sementara itu, salah satu orang tua lain juga berpendapat bahwa “kebijakan pembelajaran tatap muka tidak seharusnya digeneralisasikan untuk semua siswa dalam satu sekolah. Alihalih, kebijakan ini sebaiknya didasarkan pada kapasitas sekolah dalam menjalankan pembelajaran tatap muka dengan aman, serta kapasitas siswa untuk mengikuti pembelajaran dan mematuhi protokol.” Kedua pendapat ini menunjukkan bahwa orang tua adalah pengambil keputusan yang aktif dalam pendidikan. Sayangnya, bahkan sebelum pandemi COVID-19, keterlibatan orang tua dalam manajemen sekolah dan kebijakan pendidikan pun masih relatif rendah. Wahyuddin (2018) mencatat bahwa upaya para pembuat kebijakan lokal[6] masih minimal dalam menggerakkan dan mendorong orang tua supaya lebih terlibat dalam pendidikan anaknya, dan hanya mengadakan sejumlah diskusi untuk memfasilitasi dialog antara guru dan orang tua.
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa semakin tinggi keterlibatan orang tua dalam sekolah (dimana tingkat tertinggi adalah keterlibatan dalam manajemen sekolah), semakin baik capaian sekolah (Anderson dan Minke, 2007; Blimpo et al., 2016). Akan tetapi, hubungan orang tua dengan sekolah yang diharapkan di Indonesia cenderung hanya sebatas komunikasi secara terbuka dengan guru dan kepala sekolah, menjadi sukarelawan di kegiatan dan fungsi sekolah, mengawasi pembelajaran anak di rumah, serta membimbing pertumbuhan dan perkembangan akademik dan sosio-emosional anak (Anggraini, 2018; Rohmah, 2018; Apriliyanti, Hanurawan, dan Sobri, 2021). Ditambah lagi, dinamika belajar mengajar yang tradisional di Indonesia mendorong ekspektasi orang tua untuk memercayakan anaknya ke sekolah, dan sejumlah guru dan kepala sekolah telah menunjukkan keberatan terhadap meningkatnya keterlibatan orang tua karena dirasa membingungkan dan semrawut (Yulianti et al., 2022). Hal ini menjadi penghalang bagi orang tua yang ingin lebih terlibat dalam sekolah anaknya. Di sisi lain, keterlibatan orang tua yang rendah juga dapat disebabkan oleh kurangnya kesadaran terkait bagaimana mereka dapat bekerja sama dengan sekolah guna meningkatkan kualitas, praktik, dan operasionalnya (Hornby dan Blackwell, 2018).
Permendikbud No. 75/2016 menyatakan bahwa orang tua memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam sekolah anaknya melalui “Komite Sekolah”[7], yang bertugas mengawasi penerapan kebijakan-kebijakan Kemendikbudristek dan memberikan masukan terhadap program dan anggaran sekolah, serta mengawasi mutu layanan pendidikan[8]. Contohnya, Permendikbudristek No. 6/2021 mengatur bahwa penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah membutuhkan persetujuan dari Komite Sekolah. Maka dari itu, Komite Sekolah juga berfungsi untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi sekolah. Dalam konteks situasi pandemi, Komite Sekolah dapat menjadi wadah bagi orang tua untuk menyuarakan kekhawatirannya, berkontribusi untuk membentuk kebijakan pembelajaran tatap muka di tingkat sekolah, dan memastikan bahwa sekolah mematuhi protokol kesehatan.
Namun demikian, masih terdapat kesenjangan dalam pelaksanaan Komite Sekolah di Indonesia. Contohnya, sejumlah anggota komite menunjukkan komitmen yang rendah karena kurangnya alat dan fasilitas organisasi serta miskonsepsi tentang manfaat keanggotaannya, sehingga kepala sekolah tidak memberi dukungan (Triwiyanto, 2018). Kemendikbudristek (2020) melaporkan bahwa saat ini, masih belum banyak Komite Sekolah yang dapat mengawasi dan mendukung manajemen sekolah secara efektif, terutama karena pemahaman regulasi standar manajemen pendidikan tergolong kurang antara anggota-anggotanya (Palettei, Sulfemi, dan Yusfitriadi, 2021). Hubungan antara tenaga pendidik dengan Komite Sekolah pun masih terbilang lemah karena sekolah belum dapat mengomunikasikan informasi-informasi penting yang dapat memfasilitasi kegiatan dan tugas Komite Sekolah. Temuan-temuan ini menyiratkan bahwa sekolah belum sepenuhnya menerima Komite Sekolah dan perannya dalam manajemen, transparansi, dan akuntabilitas sekolah, atau belum mengerti bagaimana untuk melibatkan Komite Sekolah secara efektif.
Tanpa mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada pada Komite Sekolah atau menggali cara-cara lain agar orang tua dapat lebih terlibat dalam manajemen sekolah anak, peran orang tua akan terus terabaikan dan kurang dihargai dalam sistem pendidikan Indonesia. Ini mengindikasikan adanya kebutuhan untuk mendorong kedekatan hubungan antara sekolah dan orang tua. Dengan tuntutan bagi orang tua untuk semakin berperan dalam pendidikan anak pada pembelajaran jarak jauh, keterlibatan mereka perlu senantiasa diperluas dan didukung pascapandemi, yakni agar lebih dari sekadar pengawasan pembelajaran anak dan dalam hal manajemen sekolah.
Rekomendasi Kebijakan
Menambah peluang bagi orang tua untuk berpartisipasi dalam manajemen sekolah
Kemendikbudristek harus mempromosikan Komite Sekolah serta konsep keterlibatan masyarakat dan manfaatnya kepada penyedia layanan pendidikan, kepala sekolah, dan guru (Megiati, 2016). Melihat keterlibatan orang tua yang semakin meningkat di masa pandemi, Kemendikbudristek dapat memperkenalkan kembali kebijakan Komite Sekolah sebagai bagian dari pemulihan pascapandemi di sektor pendidikan, khususnya untuk memberi lebih banyak masukan terkait bagaimana cara melaksanakan pembelajaran tatap muka secara efektif dan aman, serta mengatasi kesenjangan pembelajaran yang ada. Kebijakan ini akan membantu menyuarakan pendapat para orang tua dan memberi sudut pandang dan pertimbangan lain kepada pemimpinpemimpin sekolah untuk memperbaiki manajemen sekolah. Pelatihan tentang keterampilan kerja sama dan penyelesaian konflik juga perlu diberikan kepada guru dan kepala sekolah supaya kolaborasi dengan orang tua dapat terfasilitasi dengan lebih baik.
Sosialisasi mengenai Komite Sekolah di tingkat sekolah juga sangat penting untuk dilakukan, mengingat lemahnya hubungan Komite Sekolah dengan tenaga pendidik. Para pemimpin sekolah, kepala sekolah, dan guru harus menjalin hubungan yang lebih baik dengan Komite Sekolah, sehingga meningkatkan keterlibatan orang tua agar lebih dari sekadar mengawasi kemajuan pendidikan dan akademik anak. Keterlibatan orang tua yang tinggi dikaitkan dengan sikap tenaga pendidik yang positif (Hornby dan Lafaele, 2011). Dengan mengakui peran orang tua di kala pandemi COVID-19 dan mengomunikasikan manfaat-manfaat keterlibatan orang tua terhadap capaian sekolah, mereka dapat lebih terlibat dalam manajemen sekolah secara jangka panjang.
Memberi otonomi yang lebih besar kepada sekolah, khususnya dalam keadaan darurat
Dalam keadaan darurat, adalah hal yang penting untuk memberi otonomi yang lebih besar kepada sekolah dalam mengambil keputusan guna memfasilitasi kelancaran peralihan pembelajaran berdasarkan operasional, kapasitas, dan sumber daya yang dimiliki oleh sekolah. Selama pandemi COVID-19, Kemendikbudristek terpaksa berulang kali mengubah, menyesuaikan, dan mereformasi kebijakan-kebijakan pendidikan berdasarkan angka kasus aktif. Sementara itu, pihak sekolah bergantung kepada Kemendikbudristek karena peraturan-peraturan tersebut menentukan sejauh mana mereka dapat mengelola pembelajaran tatap muka. Namun, ketidakfleksibelan ini dapat membatasi keefektifan pembelajaran tatap muka, sehingga menciptakan kebingungan dan bahkan kekesalan dari para orang tua terhadap operasional sekolah.
Otonomi yang lebih besar untuk sekolah juga dapat mendorong keterlibatan orang tua yang lebih baik. Karena sekolah dapat menyesuaikan praktiknya dengan konteks saat ini, mereka dapat mengomunikasikan tanggapan jangka pendek dan panjang yang diambil dengan lebih cepat. Dengan begitu, orang tua dapat beradaptasi dengan kurikulum dan langkah-langkah darurat yang diambil oleh sekolah serta menunjang proses pembelajaran anaknya tanpa banyak hambatan.
Meningkatkan kemitraan pemerintah-swasta guna memperbaiki infrastruktur dan menutup kesenjangan digital
Dikarenakan Indonesia rentan mengalami bencana alam seperti gempa dan tsunami yang dapat merusak gedung bangunan pendidikan, ada kemungkinan pembelajaran jarak jauh akan diterapkan kembali di masa mendatang. Akan tetapi, masih terdapat kesenjangan digital di Indonesia karena belum meratanya konektivitas internet dan akses terhadap teknologi. Kesenjangan ini tentunya berdampak pada keefektifan sekolah dan keluarga dalam menjalankan pembelajaran jarak jauh. Kemendikbudristek harus mempertimbangkan upaya-upaya untuk menjalin lebih banyak kemitraan pemerintah-swasta dengan perusahaan telekomunikasi dan penyedia perangkat keras guna menyediakan konektivitas internet yang stabil, laptop, dan tablet, khususnya di daerah-daerah perdesaan di Indonesia, agar pembelajaran jarak jauh dapat tersedia bagi seluruh siswa (Azzahra, 2021). Hingga masalah-masalah ini diatasi, pembelajaran jarak jauh tidak akan bisa menjamin pembelajaran yang berkelanjutan.
Menambah intervensi guna memfasilitasi perbaikan literasi digital orang tua demi pembelajaran jarak jauh yang lebih baik
Orang tua juga dihadapkan dengan berbagai tantangan dalam mendampingi pembelajaran daring anak karena mereka belum pernah menggunakan teknologi untuk tujuan ini sebelumnya. Keterbatasan kapasitas ini memaksa mereka untuk tidak memiliki pilihan lain selain mendukung pembelajaran tatap muka, meski mereka khawatir akan kesehatan anak dan rumah tangganya. Bersama dengan Siberkreasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah meluncurkan program Literasi Digital Nasional yang bertujuan untuk memberikan pelatihan literasi digital[9] kepada 50 juta peserta hingga 2024. Namun, program ini perlu lebih ditingkatkan lagi untuk menyasar orang tua, khususnya mereka yang tinggal di daerah perdesaan. Jika orang tua dapat mengatasi hambatan dalam pembelajaran jarak jauh, mereka dapat memiliki opsi pembelajaran berbasis rumah bagi anak-anaknya, terutama dalam situasi yang lebih ideal dan aman. Maka dari itu, membekali mereka dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk memfasilitasi pembelajaran jarak jauh merupakan hal yang penting untuk dilakukan.
Catatan Kaki
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) adalah kebijakan pembatasan sosial pemerintah Indonesia yang diberlakukan dalam menghadapi pandemi COVID-19. PPKM dibagi menjadi empat level berdasarkan tingkat penularan COVID-19 dan jumlah kasus aktif di suatu daerah. Level pertama mengindikasikan risiko terendah (20 kasus positif, 5 kasus rawat inap, dan 1 kasus kematian per 100.000 penduduk), dan level keempat mengindikasikan risiko tertinggi (150 kasus positif, 30 kasus rawat inap, dan lebih dari 5 kasus meninggal per 100.000 penduduk)
Madrasah adalah lembaga pendidikan yang menawarkan pembelajaran agama Islam di samping kurikulum nasional. Jenis sekolah ini tersedia dalam seluruh tingkat pendidikan: dasar (Madrasah Ibtidaiyah/MI), menengah (Madrasah Tsanawiyah/MTs), dan menengah atas (Madrasah Aliyah/MA). Madrasah diawasi dan diatur oleh Kementerian Agama.
M adalah singkatan resmi Indonesia untuk protokol kesehatan demi mencegah penularan COVID-19, yang memiliki kepanjangan Mencuci Tangan, Menggunakan Masker, Menjaga Jarak, Menjauhi Kerumunan, dan Mengurangi Mobilitas.
Lihat Lampiran 1 untuk demografi dan karakteristik responden
Sembilan protokol kesehatan adalah rapid test COVID-19; skrining suhu tubuh; penyediaan cairan pembersih tangan (hand sanitizer); penyediaan fasilitas air, sanitasi, dan kebersihan (WASH); poster dan/atau pengingat dari guru secara terus-menerus untuk menggunakan masker; poster dan/atau pengingat dari guru secara terus menerus untuk menjaga jarak; pemberian jarak antar meja dalam kelas; disinfeksi dan sterilisasi ruang dan perabot kelas; dan penyediaan program vaksinasi untuk siswa, staf, dan orang tua.
Dalam studinya, Wahyuddin merujuk kepada para pembuat kebijakan dalam sebuah daerah di Provinsi Sulawesi Barat
Komite Sekolah adalah lembaga non-pemerintah yang terdiri atas anggota-anggota masyarakat yang bertugas untuk menasihati, mendukung, dan mengawasi sebuah satuan pendidikan. Setiap Komite Sekolah harus memiliki anggota antara 5-15 orang, dimana 50% adalah orang tua, 30% adalah tokoh masyarakat, dan 30% adalah pakar pendidikan.
Selain itu, melalui Komite Sekolah, anggota-anggotanya memiliki tugas menggalang dana untuk membantu sekolah mencapai Standar Nasional Pendidikan.
Program Literasi Digital Nasional adalah program yang menyusun pelatihan dan kurikulum untuk memperbaiki literasi digital masyarakat Indonesia dengan meningkatkan kompetensi digital, budaya digital, keamanan digital, dan etika digital.
Referensi
Afkar, R., & Yarrow, N. (2021). Rewrite the future: How Indonesia’s education system can overcome the losses from the COVID-19 pandemic and raise learning outcomes for all. Commissioned by the World Bank and the Australian Government. Jakarta, Indonesia: Author.
Anderson, K.J., & Minke, K.M. (2010). Parent Involvement in Education: Toward an Understanding of Parents' Decision Making. The Journal of Education Research, 100(5), 311-323. doi: 10.3200/JOER.100.5.311-323
Anggraini, R.Y. (2018). POLA KERJASAMA ORANG TUA DAN SEKOLAH DALAM PEMBINAAN PERILAKU KEAGAMAAN SISWA DI SMA NEGERI 1 KOTA PAGARALAM, Annizom, 3(3).
Apriliyanti, F., Hanurawan, F., & Sobri, A.Y. (2021). Keterlibatan Orang Tua dalam Penerapan Nilai-nilai Luhur Pendidikan Karakter Ki Hadjar Dewantara. Jurnal Obsesi, 6(1). doi: 10.31004/obsesi.v6i1.595.
Azzahra, N.F., & Amanta, F. (2021). Promoting Digital Literacy Skill for Students through Improved School Curriculum. Center for Indonesian Policy Studies. Jakarta, Indonesia: Author.
Bhopal, S.S., Bagaria, J., Olabi, B., & Bhopal, R. (2021). Children and young people remain at low risk of COVID-19 mortality. The Lancet: Child & Adolescent Health, 5(5), 309-384.
Blimpo, M.P., Blimpo, M., Blimpo, M, Evans, D., & Lahire, N. (2015). Parental Human Capital and Effective School Management: Evidence from the Gambia. World Bank Policy Research Working Paper No. 7238.
Boston Consulting Group. (2021). Indonesia case study. Commissioned by Giga - International Telecommunication Union (ITU). Boston, Massachusetts: Author.
Chen, J., Wang, R., Gilby, N.B., & Wei, G-W. (2022). Omicron Variant (B.1.1.529): Infectivity, Vaccine Breakthrough, and Antibody Resistance. Journal of Chemical Information and Modeling, 62(2), 412-422. doi: 10.1021/acs.jcim.1c01451.
Dihni, V.A. (2021, September 9). Imbas PTM, 1.299 Sekolah Jadi Klaster Covid-19. Databoks. Diambil dari https://databoks. katadata.co.id.
Hornby, G., & Blackwell, I. (2018). Barriers to parental involvement in education: an update. Educational Review, 70(1), 109-119.
doi: 10.1080/00131911.2018.1388612
Hornby, G., & Lafaele, R. (2011). Barriers to parental involvement in education: an explanatory model. Educational Review, 63(1), 37-52. doi: 10.1080/00131911.2010.488049
Kerr, M.L., Rasmussen, H.F., Fanning, K.A., & Braaten, S.M. (2021). Parenting During COVID-19: A Study of Parents' Experiences Across Gender and Income Levels. Family Relations, 70(5), 1327-1342. doi: 10.1111/fare.12571
LaRovere, K.L., Riggs, B.J., & Poussaint, T.Y. (2021). Adolescents Hospitalized in the United States for COVID-19 or Multisystem Inflammatory Syndrome. JAMA Neurol, 78(5), 536-547. doi:10.1001/jamaneurol.2021.0504
Limbers, C.A. (2020). Factors Associated with Caregiver Preferences for Children's Return to School during the COVID-19 Pandemic. Journal of School Health, 91(1), 3-8. doi: 10.1111/josh.12971
Lin, J.E., Asfour, A., Sewell, T.B., Hooe, B., Pryce, P., Earley, C., Shen, M.Y., Kerner-Rossi, M., Thakur, K.T., Vargas, W.S., Silver, W.G., & Geneslaw, A.S. (2021). Neurological issues in children with COVID-19. Neuroscience Letters, 743.
Megiati, Y.E. (2016). PEMBERDAYAAN KOMITE SEKOLAH: KAJIAN KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA. Jurnal SAP, 1(2), 125-134.
Kementerian Kesehatan. (2022). Vaksinasi Covid-19 Nasional. Diambil dari https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2020). Panduan Pembentukan Komite Sekolah. Diambil dari http:// siln-riyadh.kemdikbud.go.id/.
Kementerian Sosial. (2021). Family-Based Long-Term Care for the Elderly in Indonesia. Diambil dari https://kemensos.go.id/.
Novianti, R., & Garzia, M. (2020). Parental Engagement in Children's Online Learning During COVID-19 Pandemic. Journal of
Teaching and Learning in Elementary Education, 3(2), 117-131. doi: 10.33578/jtlee.v3i2.7845
Palettei, A.D., Sulfemi, W.B., & Y. (2021). TINGKAT PEMAHAMAN KEPALA SEKOLAH, GURU, DAN KOMITE SEKOLAH TERHADAP IMPLEMENTASI STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH DASAR. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 6(1). doi:
10.24832/jpnk.v6i1.1592
Pratiwi, W.D. (2021). DINAMIKA LEARNING LOSS: GURU DAN ORANG TUA. Jurnal EDUKASI NONFORMAL, 2(1), 147-153.
Regev-Yochay, G., Gonen, T., Gilboa, M., Mandelboim, M., Indenbaum, V., Amit, S., Meltzer, L., Asraf, K., Cohen, C., Fluss, R., Biber, A., Nement, I, Kliker, L.,Joseph, G., Doolman, R., Mendelssohn, E., Freedman, L.S., Harats, D., Kreiss, Y., & Lustig, Y. (2022). Efficacy of a Fourth Dose of Covid-19 mRNA Vaccine against Omicron. The New England Journal of Medicine, 386, 1377-1380.
doi: 10.1056/NEJMc2202542
Rohmah, N. (2018). Membangun Keterlibatan Orang Tua Dalam Pendidikan Anak. Awwaliyah: Jurnal PGMI, 1(2), 71-79.
Simanjuntak, S.Y., & Kismartini, K. (2020). PARENTS' RESPONSE TO DISTANCE LEARNING POLICIES. Jurnal pendidikan Luar Sekolah, 8(2), 125-137. doi: 10.24036/kolokium-pls.v8i2.399
TNP2K. (2020). The Situation of the Elderly in Indonesia and Access to Social Protection Programs: Secondary Data Analysis. Jakarta, Indonesia: Author.
Triwiyanto, T. (2018). HAMBATAN IMPLEMENTASI PROGRAM KERJA KOMITE SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN PERAN SERTA MASYARAKAT. JMS, 2(2).doi: 10.17977/um025v2i22018p129
UNICEF, UNDP, Prospera, & SMERU. (2021). Analysis of the Social and Economic Impacts of COVID-19 on Households and Strategic Policy Recommendations for Indonesia. Jakarta, Indonesia: Author.
UNICEF. (2020a). Strengthening Digital Learning across Indonesia: A Study Brief. New York, United States: Author.
Wahyudddin, W. (2018). Perceptions and Actions of Educational Policy Makers regarding Parental Engagement in Education.
Indonesian Research Journal in Education, 2(2), 55-74. doi: 10.22437/irje.v2i2.5145