top of page

3 Tahun Jokowi-Ma’ruf: Jalan Terjal Pulihkan Ekonomi

Pertama kali diterbitkan di Sindonews (20/10/2022)


Sudah tiga tahun lamanya Pemerintah Indonesia dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Pada kesempatan kali ini, saya bermaksud melihat kembali beberapa kebijakan ekonomi yang diprioritaskan oleh duet Jokowi-Ma’ruf.


Konteks kepemimpinan duet Jokowi-Ma’ruf tentunya tidak dapat dipisahkan dari kepemimpinan Jokowi pada periode pertama beliau sebagai presiden. Presiden Jokowi mengawali periode pertamanya dengan kondisi yang tidak ideal. Pelemahan harga komoditas menekan neraca pembayaran Indonesia yang memasuki teritori negatif sejak 2011.


Pada 2013, Kebijakan pengereman pembelian aset oleh Bank Sentral Amerika Serikat membuat rupiah terjun bebas ke teritori 13.000 per USD dari sekitar 9.000-an.


Meski demikian, Jokowi mampu meningkatkan belanja infrastruktur secara masif. Data dari CEIC menunjukkan besarnya belanja infrastruktur sepanjang periode pertama Jokowi mencapai lebih dari 1,5 kali lipat belanja infrastruktur dari dua periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).


Hal ini dilakukan meskipun tax ratio terus menurun tanpa meninggalkan disiplin defisit fiskal sebesar 3% PDB. Salah satu langkah yang berani adalah memotong subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang memberi ruang untuk pemanfaatan APBN ke arah yang lebih produktif.


Di saat yang sama, kebijakan perekonomian di tahap pertama pemerintahan Jokowi cenderung populis dan proteksionis. Pelemahan harga komoditas membuat industri andalan seperti kelapa sawit meminta bantuan pemerintah.


Sementara industri-industri manufaktur yang diproteksi malah semakin berkurang kontribusi ekonominya. Pertumbuhan ekonomi di era Jokowi “hanya” sekitar 5%, yang meski masih cukup baik dibanding banyak negara lain, tapi masih di bawah target yang diharapkan.


Proyek infrastruktur yang turut didanai corporate bond menghantui balance sheet dari banyak BUMN karya. Reformasi struktural sangat diperlukan.


Seperti kurang masalah, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dimulai dengan pandemi Covid-19. Progres pengentasan kemiskinan yang sudah berjalan baik kembali mundur bersamaan dengan status upper-middle income dari World Bank.


Pandemi ini juga memaksa pemerintah untuk menaikkan defisit APBN menjadi sekitar 6%. Kondisi global pascapandemi menjadi semakin tidak pasti seiring dengan serangan Rusia ke Ukraina.


Ekonomi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai partner dagang utama mengalami perlambatan. Sementara Inflasi di negara-negara maju memaksa berbagai bank sentral, termasuk BI, untuk menaikkan suku bunga. Di tengah keinginan Presiden Jokowi untuk terus meningkatkan investasi, pasar global malah mengalami kesulitan pendanaan.


Beberapa Kebijakan Ekonomi

Namun demikian, pandemi ini justru menjadi momentum melakukan “restart” pada ekonomi Indonesia. Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf berhasil meloloskan Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) yang sangat kontroversial.


UUCK mengganti sekitar 76 Undang-undang (UU) dan ribuan peraturan turunan lainnya, yang dianggap dapat mengurangi obesitas regulasi di pemerintah pusat maupun daerah. Undang-undang ini diharapkan oleh pemerintah untuk mempermudah investasi dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia.


Konsep kedua adalah neraca komoditas (NK) yang diharapkan dapat menyediakan data supply-demand yang akurat dan akan digunakan untuk menentukan kuota ekspor dan impor.


NK juga akan menghilangkan syarat rekomendasi teknis dari Kementerian yang berpotensi mengurangi waktu tunggu perizinan ekspor impor, sesuatu yang sering dikeluhkan industri terutama yang membutuhkan bahan baku impor.


UU CK juga juga mengamanahkan pembentukan lembaga baru untuk mempercepat investasi, yaitu Indonesia Investment Authority (INA). INA merupakan pengelola dana investasi milik negara, Sovereign Wealth Fund (SWF). Modal awalnya bersumber dari APBN dan saham BUMN, namun sudah ada beberapa negara yang tertarik untuk berkontribusi di SWF.


Di sisi lain, Jokowi-Ma’ruf semakin mendorong hilirisasi ekonomi yang cenderung mengandalkan kebijakan proteksionis. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) semakin diperluas dan diperdalam, terutama dalam pengadaan belanja pemerintah. Larangan ekspor nikel diperlakukan dengan lebih agresif untuk menarik minat investor asing untuk membangun industri hilir di dalam negeri. Belum lagi penggunaan Food Estate sebagai solusi ketahanan pangan, alih-alih menggunakan impor


Cukup Berhasil?

Kebijakan hilirisasi maupun kebijakan struktural yang ingin coba dicapai lewat UU CK memerlukan jangka waktu yang lama untuk bisa dituai. Meski demikian, ada beberapa hal yang perlu diwaspadai.


Sistem baru yaitu RBA, OSS maupun NK perlu terus dikawal penerapannya. Penerapan kebijakan satu pintu memerlukan koordinasi yang jauh lebih ketat di tingkat Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah.


Ada satu saja K/L yang tidak bekerja sama dengan baik, maka penerapan izin satu pintu tidak akan berjalan dengan baik. Analisis risiko untuk tiap KBLI juga tidak ideal, karena risiko di KBLI yang sama bisa jadi berbeda untuk lokasi dan level investasi yang berbeda.


NK saat ini telah diujicobakan untuk lima komoditas yaitu beras, gula, garam, daging sapi dan produk perikanan. Sejauh ini sepertinya tidak ada masalah. Namun perluasan implementasinya ke komoditas lain di 2023 perlu diwaspadai. Pengalaman dari karut marut minyak sawit awal tahun ini seharusnya mengajarkan bahwa data yang baik saja tanpa analisis ekonomi yang baik tidak cukup untuk mengatasi masalah perdagangan.


Kebijakan larangan nikel tampak menjanjikan dilihat dari tingginya investasi asing, ekspor turunan dan lapangan kerja. Namun jangan lupa bahwa larangan ini terjadi di tengah naiknya harga nikel dunia, sehingga harga nikel domestik yang murah tentu sangat menarik. Belum lagi ditambah berbagai insentif tambahan seperti libur pajak.


Kita juga masih perlu menanti keberhasilan program-program seperti TKDN dan Food Estate. Beberapa catatan di atas tentunya di luar kritik lain tentang UUCK, seperti kurangnya transparansi, isu buruh dan isu lingkungan.


Ke depan, Jokowi-Ma’ruf perlu mewaspadai resesi yang mulai diramalkan akan terjadi di berbagai belahan dunia. Meski harga batu bara yang masih tinggi akan cukup menolong, namun tingkat suku bunga The Fed dan nilai tukar rupiah masih perlu terus dipantau dan diwaspadai.


Performa negara dalam mengumpulkan pendapatan negara melalui pajak dan memanfaatkan RCEP, sebuah perjanjian dagang yang baru saja diratifikasi, akan menjadi kunci yang sangat penting.


Pengumpulan data dan evaluasi jangka pendek maupun jangka menengah dari program-program ini harus terus diupayakan. Jokowi-Ma’ruf harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa program-program ekonominya akan membawa manfaat di jangka panjang.


Tidak hanya itu, karena sifatnya yang jangka panjang, Jokowi-Ma’ruf juga harus mampu meyakinkan pasangan capres-cawapres berikutnya untuk meneruskan kebijakan-kebijakan ini. Atau alternatifnya, mari berharap pasangan calon berikutnya akan memiliki kritik yang cukup koheren dan memiliki ide-ide kebijakan ekonomi yang lebih baik.



Sumber gambar: Sekertariat Kabinet RI


Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page