Tata Kelola QRIS dan GPN Perlu Berjalan Transparan untuk Cegah Persepsi Proteksionisme
- Center for Indonesian Policy Studies

- 13 Jun
- 2 menit membaca
Tata kelola sistem pembayaran nasional, yaitu Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) perlu berjalan lebih transparan dan inklusif. Hal ini dibutuhkan untukĀ menepis persepsi proteksionisme sebagaimana tercermin dalam laporan dari United States Trade Representative (USTR) yang dijadikan poin diskusi dalam penerapan tarif dagang resiprosikal.
āMeskipun memiliki tujuan mulia untuk menciptakan efisiensi sistem pembayaran dan terbukti berhasil mendorong inklusi keuangan, struktur tata kelola dan kontrol dalam penyelenggaraan QRIS dan GPN dapat menimbulkan persepsi proteksionisme jika tidak dijalankan secara transparan,ā terang Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ajisatria Suleiman dalam DigiWeek 2025 baru-baru ini.
Aji mengapresiasi QRIS dan GPN yang terbukti menjadi āgame changerā dalam perluasan jangkauan layanan keuangan dasar berdasarkan adopsi masif dari masyarakat dan pelaku UKM, berdasarkan data Bank Indonesia. Dengan digitalisasi di sektor pembayaran ini, maka transaksi ritel dapat berjalan lebih aman dan nyaman serta berkontribusi juga terhadap peningkatan volume transaksi.
Ajisatria menambahkan bahwa tata kelola sistem pembayaran yang melibatkan kolaborasi swasta dan pemerintah (baik BUMN atau regulator) merupakan bagian dari tren yang berkembang di berbagai yurisdiksi lain di dunia. Tren ini dikenal dengan konsepādigital public infrastructureā yang diperlukanĀ untuk mendorong inklusi keuangan.Ā
Seperti halnya pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan atau jaringan listrik, kehadiran negara dalam infrastruktur digital diperlukan untuk memastikan pemerataan akses, keandalan sistem dan keamanan nasional.
Tidak hanya Indonesia, banyak negara juga sudah mengembangkan sistem pembayaran dengan model serupa, seperti India (UPI), Brasil (PIX), Thailand (PromptPay) dan Singapura (PayNow). Sistem pembayaran ini memiliki kesamaan, yaitu sistem pembayaran nasional yang berbasis pada kolaborasi antara pemerintah dan swasta. Model Indonesia melalui QRIS dan GPN mencerminkan tren global bahwa negara perlu hadir dalam penyediaan infrastruktur digital dasar.
āMasing-masing negara saat ini sedang bereksperimen dengan model layanan infrastruktur pembayaran. Ada yang berat di keterlibatan pemerintah seperti India, ada pula yang dikelola oleh perusahaan patungan antara pemerintah dan swasta seperti di Thailand. Intinya belum ada satu model tunggal yang dianggap paling berhasil,ā ungkapnya.Ā
Untuk menghindari potensi tuduhan diskriminasi dalam situasi perang dagang yang berkembang saat ini, penting bagi regulator Indonesia untuk menunjukkan proses pengambilan keputusan yang transparan terhadap masukan dari seluruh pemangku kepentingan. Hal ini juga krusial untuk menjaga kepercayaan mitra dagang.
Namun demikian, Aji juga mengakui bahwa pengelolaan dari berbagai pihak yang terlibat di dalam tata kelola QRIS dan GPN tidak mudah karena melibatkan berbagai peran dan kepentingan.Ā
Pertama, ada kepentingan untuk menetapkan standar yang disepakati bersama di kalangan industri dan dikoordinasi oleh asosiasi sistem pembayaran yang resmi ditunjuk oleh otoritas. Kalangan industri ini pun terdiri dari berbagai perusahaan dengan layanan yang berbeda-beda sesuai dengan izinnya.Ā
Kedua, ada kepentingan penyediaan layanan infrastruktur yang menjadi backbone, yang dalam konteks Indonesia dikelola oleh anak usaha BUMN.Ā
Selanjutnya ada kepentingan untuk memastikan perkembangan layanan tambahan atau value added yang diberikan oleh perusahaan teknologi global hingga perusahaan rintisan lokal.Ā
āTentu orkestrasi berbagai kepentingan ini tidak mudah untuk mencapai satu suara, sehingga transparansi dalam tata kelola menjadi kunci keberhasilan,ā tutupnya memberikan rekomendasi.









Komentar