Selama Impor Dibatasi Kuota, UMKM dan Petani Masih Tetap Menanggung Dampaknya
- Center for Indonesian Policy Studies

- 21 Nov
- 2 menit membaca
Pemerintah menghadapi dilema antara meningkatkan akses industri terhadap bahan baku impor yang terjangkau atau melindungi petani dan industri dalam negeri. Untuk menyeimbangkan dua kepentingan ini, pemerintah memperkenalkan sistem kuota di mana impor bisa dilakukan dalam jumlah tertentu. Namun, karena banyak celah terhadap praktik korupsi dan birokrasi berbelit, sistem baru bernama Neraca Komoditas (NK) diterapkan sejak 2022.
Penelitian terbaru Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan sistem NK belum menjawab persoalan yang ditimbulkan oleh sistem kuota lama. Neraca Komoditas yang dirancang untuk memperbaiki tata kelola impor pada dasarnya masih berupa sistem pembatasan kuota, dan dampaknya terhadap kelancaran pasokan serta stabilitas harga belum signifikan.
"Sistem Neraca Komoditas memang telah menutup ruang korupsi dan praktik rente. Namun, dampaknya di lapangan belum signifikan karena industri masih kesulitan mendapat bahan baku murah dan petani tetap tertekan harga pangan yang tinggi," ujar Peneliti dan Analis Kebijakan Hasran.
Sebelum NK diterapkan, sistem kuota lama kerap dikritik karena data tidak terintegrasi, birokrasi berbelit, hingga marak praktik korupsi. NK memperbaiki sebagian masalah ini, tetapi persoalan yang mendasar masih muncul: data pasokan belum akurat, proses revisi kuota tetap lama, alokasi kuota impor sering tidak sesuai kebutuhan, dan transparansi masih terbatas.
Keadaan ini menghambat arus impor hingga berdampak besar bagi pelaku UMKM dan petani kecil. Keterlambatan pasokan membuat harga bahan baku naik dan biaya produksi ikut melonjak.
Penelitian CIPS pada 2023 menunjukkan bahwa ketika impor bahan baku meningkat, UMKM mampu tumbuh lebih cepat. Kenaikan impor sebesar 1% dapat meningkatkan output usaha kecil hingga 2,7% dan usaha mikro hingga 4,5% pada tahun berikutnya. Artinya, kelancaran impor bukan hanya soal industri besar, tetapi juga menjadi penggerak sektor UMKM.
Sementara itu, dua dari tiga petani Indonesia lebih banyak membeli pangan daripada menjual hasil panen mereka. Ketika impor dibatasi, harga pangan menjadi naik dan biaya hidup petani ikut meningkat, sehingga kebijakan yang dimaksudkan untuk melindungi mereka malah menghambat kesejahteraan.
CIPS menilai pemerintah perlu menghapus sistem kuota, termasuk Neraca Komoditas, dan beralih ke mekanisme impor berbasis pasar. Sistem ini memungkinkan industri menyesuaikan pasokan dengan cepat, menghindari kelangkaan bahan baku, dan menjaga harga tetap terjangkau bagi konsumen.
"Selama impor masih dikekang sistem kuota, akan selalu ada hambatan dalam rantai pasokan yang berpotensi pada meningkatnya harga bahan baku," tegas Hasran.
Namun, selagi masih berlaku, penerapan Neraca Komoditas perlu dievaluasi. Kementerian Perdagangan (Kemendag) perlu melakukan otomatisasi proses penerbitan izin impor, proses revisi juga harus disederhanakan secara signifikan agar tidak berbelit dan mampu mengikuti kebutuhan pasar. Selain itu, Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Koordinator Bidang Pangan tidak perlu menambah jenis komoditas baru ke sistem ini, terutama komoditas yang lebih kompleks.
Di sisi lain, fokus pemerintah untuk melindungi petani tidak seharusnya diarahkan kepada pembatasan impor, melainkan penguatan daya saing. Alih-alih menutup akses impor, pemerintah perlu memastikan petani memiliki akses terhadap sarana produksi yang terjangkau dan akses pasar yang lebih mudah agar hasil panen dapat terserap.
Dengan cara ini, biaya produksi dapat turun, harga pangan lokal bisa tetap kompetitif dan masyarakat mendapat pilihan produk yang lebih murah tanpa mengorbankan kesejahteraan petani maupun UMKM.
āPenghapusan NK ini juga mendukung indonesia menjadi negara yang semakin siap untuk untuk meningkatkan keterbukaan, transparansi, dan daya saing dalam perdagangan global,ā pungkas Hasran.









Komentar