top of page

Tekanan Tarif AS Meningkat: Saatnya Indonesia Perkuat Diversifikasi Pasar Ekspor

Indonesia perlu memperkuat diversifikasi pasar ekspornya dalam mengadaptasi kebijakan tarif yang diberlakukan oleh Amerika Serikat. Kebijakan yang memberikan tekanan baru terhadap perdagangan Indonesia ini berdampak pada sejumlah komoditas unggulan yang selama ini menjadi andalan ekspor ke pasar Amerika Serikat melalui tambahan tarif sebesar 19 persen.


Angka ini menurun dari yang sebelumnya sebesar 32 persen. Tidak hanya penurunan, barang-barang Amerika Serikat dapat memasuki pasar Indonesia tanpa tarif. Walaupun demikian, diversifikasi pasar ekspor merupakan strategi jangka panjang yang strategis untuk Indonesia.


ā€œMemperkuat diversifikasi pasar dapat menjadi pilihan yang realistis untuk memperluas pangsa pasar produk Indonesia. Selain itu, kita dapat mengurangi ketergantungan terhadap satu pasar dan membuka peluang baru di pasar berbeda,ā€ jelas Peneliti dan Analis Kebijakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran.


Amerika Serikat merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. Data World Integrated Trade Solutions (WITS) menunjukkan, nilai ekspor Indonesia ke AS masih didominasi oleh produk-produk manufaktur dan bahan baku bernilai tinggi, seperti mesin dan peralatan listrik serta bagiannya (USD 4,63 miliar), lemak dan minyak nabati atau hewani (USD 2,31 miliar), alas kaki (USD 2,23 miliar) dan pakaian rajutan dan bukan rajutan (masing-masing USD 2,18 miliar dan USD 2,16 miliar) serta karet dan barang dari karet (USD 1,99 miliar).


Namun, produk-produk ini kini menghadapi tantangan baru akibat lonjakan tarif impor. Misalnya, tarif untuk pakaian rajutan naik dari 14,73% menjadi 33,73%, alas kaki dari 11,4% menjadi 30,4%, lemak nabati dari 0,12% menjadi 19,12%, dan mesin listrik yang sebelumnya bebas tarif kini dikenakan 19%.


Terlalu mengandalkan pasar Amerika Serikat tentu berisiko tinggi. Oleh karena itu, diversifikasi pasar ekspor menjadi langkah penting. Data dari Trademap menunjukkan produk-produk utama Indonesia, seperti mesin listrik, lemak nabati, alas kaki, dan pakaian jadi, juga memiliki permintaan tinggi di pasar Eropa.


Perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA) Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU–CEPA) yang telah disepakati menjadi peluang strategis untuk memperkuat ekspansi ke Eropa. Walaupun implementasinya baru efektif setelah ratifikasi pada 2027, persiapan dan pembukaan akses pasar harus dimulai dari sekarang.


Selain IEU-CEPA, inisiatif keanggotaan Indonesia dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) kini menjadi semakin penting untuk didorong. Melalui keanggotaan ini, Indonesia dapat mengurangi hambatan non-tarif (NTM) dan meningkatkan kepatuhan terhadap standar lingkungan dan keberlanjutan, yang merupakan kunci utama untuk memperluas akses pasar ke Eropa.


Saat ini, ekspor Indonesia ke pasar OECD menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Selain itu, struktur ekspor masih didominasi oleh sektor-sektor ekstraktif, seperti energi dan mineral. Sementara sektor non-ekstraktif, misalnya manufaktur, dengan produk seperti alas kaki dan tekstil justru stagnan dan belum menunjukkan pertumbuhan yang signifikan.


Beberapa faktor penyebabnya adalah tingginya tingkat persaingan di pasar Eropa, di mana efisiensi produksi menjadi kunci daya saing. Di samping itu, pasar OECD yang sebagian besar terdiri dari negara-negara Uni Eropa sangat menekankan pada aspek keberlanjutan dan lingkungan, yang menjadi tantangan tersendiri bagi produk-produk Indonesia untuk bisa menembus pasar tersebut.


ā€œKeberlanjutan masih menjadi sesuatu yang harus dipenuhi oleh Indonesia sebagai salah satu persyaratan untuk memasuki pasar Eropa. Hal ini bagus untuk memunculkan kepercayaan dan mendorong terjaganya kualitas produk yang dihasilkan dari dalam negeri,ā€ tambah Hasran.


Partisipasi Indonesia dalam keanggotaan OECD mendorong penyesuaian regulasi nasional, termasuk di bidang perdagangan dan keberlanjutan. Dalam aspek perdagangan, regulasi seperti hambatan non-tarif akan ditinjau kembali, sehingga dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar Eropa.Ā 


Selain itu, permintaan tinggi terhadap produk karet dan furniture Indonesia juga datang dari Meksiko dan Kanada. Indonesia sebelumnya juga sudah menjalin kerja sama dagang bilateral dengan Kanada melalui ICA–CEPA. Perjanjian ini harus dimanfaatkan, agar ekspor ke Kanada untuk komoditas seperti karet bisa lebih mudah.


Tak kalah penting, negara-negara mitra dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan sesama negara ASEAN, juga menawarkan pasar yang luas untuk hampir semua produk unggulan Indonesia.


ā€œKawasan RCEP dan ASEAN dapat memfasilitasi berkembangnya sistem perdagangan yang memanfaatkan rantai nilai regional. Kerja sama multilateral seperti ini adalah peluang sekaligus kesempatan yang sangat baik bagi Indonesia untuk mendorong pengembangan industri manufakturnya,ā€ jelas Hasran.


Menurut studi yang dilakukan oleh CIPS di tahun 2023, pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas (FTA) untuk ekspor oleh pelaku usaha di ASEAN masih masih rendah, baru sekitar 25,6–51,5%. Di antara negara-negara ASEAN ini, penggunaan oleh Indonesia merupakan salah satu yang terendah. Banyak pengusaha belum memanfaatkan secara maksimal fasilitas seperti tarif preferensial maupun Surat Keterangan Asal (SKA) untuk menurunkan beban biaya ekspor mereka.


Pemerintah perlu mengintensifkan sosialisasi dan pendampingan teknis, khususnya melalui pusat ekspor dan instansi terkait, agar pengusaha lebih siap memanfaatkan berbagai perjanjian dagang yang telah dimiliki Indonesia bersama negara mitra.


Pemanfaatan FTA, selain membantu dalam diversifikasi pasar, juga akan semakin membuat integrasi Indonesia kedalam rantai nilai global semakin tinggi.Ā 


Walaupun demikian, meski strategi diversifikasi pasar menjanjikan, penerapannya tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Butuh waktu satu hingga dua tahun bagi pelaku usaha untuk membangun relasi dengan pembeli baru, menyesuaikan rantai pasok dan memahami regulasi pasar di negara tujuan.


Selama masa transisi ini, pelaku usaha masih akan mengandalkan pasar Amerika Serikat sebagai salah satu tujuan utama ekspor. Oleh karena itu, pemerintah perlu hadir untuk membantu meringankan beban usaha, agar tekanan tarif tidak menurunkan daya saing secara drastis.


Salah satu bentuk dukungan yang mendesak adalah memastikan agar pelaku usaha dapat beroperasi dalam lingkungan bisnis yang kondusif, bebas dari pungutan liar serta biaya kepatuhan (compliance cost) yang tinggi. Penyederhanaan perizinan ekspor, perbaikan layanan logistik, serta peningkatan transparansi pelayanan publik akan sangat membantu eksportir dalam mempertahankan volume ekspornya.


Komentar


Mengomentari postingan ini tidak tersedia lagi. Hubungi pemilik situs untuk info selengkapnya.
  • Youtube CIPS
  • Twitter CIPS
  • Instagram CIPS
  • LinkedIn CIPS
  • Email CIPS
bottom of page