Ringkasan Utama FPCI Global Town Hall Series #7: Menyeimbangkan Kepentingan Global: Dialog Utara-Selatan Mengenai Proteksionisme Perdagangan
- Center for Indonesian Policy Studies
- 10 Des
- 12 menit membaca
A. TENTANG ACARA INI
Semakin banyak negara kini menerapkan kebijakan proteksionis untuk menjaga industri domestik dari tekanan persaingan luar negeri. Meskipun langkah tersebut dimaksudkan untuk melindungi perekonomian dalam negeri, kebijakan semacam ini kerap memicu konflik perdagangan, menurunkan efisiensi, dan membebani konsumen dengan biaya yang lebih tinggi. Ketika negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok saling menaikkan tarif, dampaknya dapat mengganggu rantai pasok global secara signifikan.
Di dunia yang semakin terhubung saat ini, memahami dampak proteksionisme terhadap kerja sama internasional, pertumbuhan ekonomi, dan aturan perdagangan global menjadi sesuatu hal yang sangat penting. Webinar ini akan membahas isu-isu tersebut secara mendalam, sambil menyoroti perbedaan perspektif antara negara-negara Global Utara dan Global Selatan.
B. PEMBICARA
Tom Lembong – Direktur Consilience Policy Institute; Mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia; dan Mantan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Prof. Simon Evenett – Direktur Akademik Program MBA, University of St. Gallen, Swiss
Dr. Sun Lipeng – Asisten Direktur & Associate Research Professor, Institute of American Studies, China Institutes of Contemporary International Relations
C. RINGKASAN
Dewasa ini semakin terlihat bahwa pemerintah berbagai negara mulai mengambil peran yang lebih dominan dalam perdagangan internasional. Di masa lampau, perdagangan banyak berjalan mengikuti prinsip laissez-faire dengan intervensi pemerintah yang sangat terbatas, serta hanya terjadi dalam kondisi perdagangan yang sudah stabil. Namun kini, pemerintah sering kali ikut campur dalam perdagangan negara lain, seperti yang terlihat dalam perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Alih-alih terlibat dalam konflik perdagangan dan membatasi perusahaan yang sukses, negara-negara sebaiknya mencoba memahami alasan di balik keunggulan suatu negara dalam industri tertentu. Contohnya, pertumbuhan pesat industri kendaraan listrik (EV) di Tiongkok dapat menjadi pelajaran bagi negara lain untuk memahami strategi dan faktor yang mendorong kesuksesan tersebut.
Diskusi kali ini juga menyoroti bahwa kebijakan perdagangan, baik proteksionis maupun liberal, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor ini bisa bersifat praktis, seperti yang terjadi di saat pandemi ketika negara-negara anggota G-20 tidak memberlakukan larangan ekspor alat medis. Di sisi lain, faktor tersebut bisa juga didasarkan pada pertimbangan nilai atau prinsip, misalnya larangan Uni Eropa terhadap produk-produk tertentu dari Indonesia dan Malaysia.
Dalam perselisihan perdagangan, kolaborasi dan kesepakatan bersama dapat menjadi kunci untuk menyelesaikan konflik. Pemanfaatan data bersama dan transparansi dapat mengurangi rasa ketidakpercayaan dan kecurigaan antara pihak-pihak yang berselisih. Solusi yang dicari sebaiknya saling menguntungkan. Misalnya, jika negara-negara Eropa enggan untuk untuk membuka akses pasar seperti sebelumnya, maka mungkin perlu dipertimbangkan apakah ekspor CPO dari Asia Tenggara dapat dialihkan ke pasar lain—di mana dalam hal ini, negara-negara Eropa tersebut berpotensi kehilangan daya tawar secara permanen.
Amerika Serikat menghadapi tantangan tersendiri, di mana faktor geopolitik, seperti konflik Ukraina-Rusia dan strategi ekonomi yang lebih luas, turut membentuk kebijakan perdagangan AS-Tiongkok. Kekhawatiran pun muncul bahwa hal ini dapat menambah tekanan ekonomi dan mempengaruhi aliansi geopolitik. Para pembicara menekankan pentingnya negosiasi dan kerja sama antara Tiongkok dan AS untuk memperkuat hubungan bilateral serta mengelola ketegangan dalam hubungan perdagangan kedua negara secara efektif.
Banyak negara maju kini lebih memprioritaskan diri pada mekanisme perdagangan yang adil ketimbang perdagangan bebas, dikarenakan faktor ketahanan ekonomi, keamanan, dan kepentingan nasional. Pergeseran ini menunjukkan perubahan mendasar dalam hubungan ekonomi global dan dinamika rantai pasok di seluruh dunia.
Tiongkok menyatakan kesiapannya untuk bekerja sama dengan negara-negara di belahan utara dunia dalam meningkatkan investasi infrastruktur, mendorong efisiensi ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja, serta memperluas akses ke pasar global, khususnya ke negara-negara di belahan selatan dunia.
D. POIN UTAMA
I. LIBERALISASI PERDAGANGAN VS. PROTEKSIONISME INDONESIA DAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI ERA PRESIDEN TERPILIH
“Sejak awal masa jabatan pertama Presiden Jokowi, Indonesia menunjukkan sikap yang sangat reformis dan pro-internasional. Namun, pada masa jabatan keduanya, arah kebijakan cenderung lebih intervensionis dan, dalam istilah tradisional, lebih proteksionis.
Secara pribadi, saya menilai reformasi praktik dan kebijakan perdagangan pada masa jabatan pertama sangat mudah untuk dilakukan, karena baik presiden maupun wakil presiden memberikan dukungan penuh yang saya perlukan.
Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa masa jabatan kedua Presiden Jokowi berlangsung di tengah dengan pandemi COVID-19, pecahnya konflik di Ukraina, dan tentu saja situasi yang baru-baru ini terjadi di Palestina. Mereka juga beranggapan bahwa meningkatnya kebijakan proteksionis di Indonesia hanyalah cerminan dari fenomena serupa yang banyak terjadi di negara lain.
Saya ingin mengajak kita semua untuk meninggalkan istilah-istilah lama seperti proteksionisme atau liberalisasi. Sebagai gantinya, mungkin lebih relevan bagi kita untuk menggunakan istilah seperti intervensionis, distortif, progresif, internasionalis, atau reformis. Sebab, istilah “proteksionisme” sebenarnya menggambarkan intervensi negara yang lebih besar terhadap aliran perdagangan dan pengaturan perdagangan.
Jadi, sebelum kita membahas proteksionisme versus liberalisasi, atau kebijakan tertutup versus terbuka, atau pendekatan intervensionis versus non-intervensionis, pertanyaan utamanya adalah: apakah pemerintah ingin benar-benar terlibat secara langsung? Apakah mereka cenderung sangat intervensionis, atau lebih memilih pendekatan yang lebih terbatas dan minim campur tangan?
Saya melihat kecenderungan meningkatnya keterlibatan pemerintah sebagai fenomena yang terjadi secara luas di banyak negara. Salah satu risiko yang ingin saya soroti adalah semakin banyaknya pemerintahan yang mengandalkan kebijakan-kebijakan yang bersifat sensasional, seperti pelarangan impor atau ekspor tertentu—misalnya larangan ekspor bijih dan nikel mentah di Indonesia. Kebijakan semacam ini sering kali membuat pemerintah luput memperhatikan aspek kebijakan lain yang sama pentingnya demi mendukung perdagangan yang sehat, investasi yang kuat, pariwisata yang maju, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.”
Berbicara mengenai pemerintahan yang akan datang, presiden dan wakil presiden terpilih berkampanye dengan janji untuk melanjutkan kebijakan yang sudah berjalan selama ini. Oleh karena itu, kita bisa mengasumsikan bahwa hal ini mencakup kebijakan yang lebih intervensionis, lebih distorsif, dan lebih transaksional, seperti yang terlihat pada masa jabatan kedua Presiden Jokowi. Saya rasa menarik untuk melihat sejauh mana pasar akan memungkinkan pemerintahan baru untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan tersebut. Menurut saya, arah kebijakan yang berlaku saat ini telah menimbulkan terlalu banyak persoalan.
Hal ini pada kenyataannya justru menyebabkan melemahnya ketahanan ekonomi dan meningkatkan kerentanan terhadap gangguan rantai pasokan. Namun, sekali lagi, mereka adalah pemimpin yang terpilih secara konstitusional. Jadi, pertama, mereka bertanggung jawab penuh untuk menunaikan janji-janji mereka. Kedua, mereka harus menghadapi respons pasar terkait konsekuensi dari kebijakan yang ingin mereka lanjutkan.” — Tom Lembong
II. PERKEMBANGAN PERDAGANGAN GLOBAL
“Dulu, pemerintah memang kerap melakukan berbagai distorsi dalam perdagangan, namun intervensi tersebut masih berada dalam batas-batas yang diizinkan oleh aturan perdagangan. Kemudian, kita memasuki fase baru di mana di sejumlah negara muncul suatu tren yang menargetkan perdagangan pihak lain. Contoh paling nyata adalah perang dagang yang dimulai oleh Presiden Trump terhadap Tiongkok. Seiring waktu, semakin banyak kebijakan perdagangan yang diciptakan oleh para politisi dengan tujuan untuk menekan atau menyerang mitra dagang mereka.
Kemudian kita memasuki fase ketiga, yaitu fase respons terhadap pandemi. Pada tahap ini, wajar jika pemerintah melakukan berbagai intervensi kebijakan publik. Namun, pertanyaan pentingnya adalah apakah intervensi tersebut dirancang dengan baik, serta apakah benar negara harus mengganggu arus perdagangan, membatasi ekspor, atau menerapkan larangan ekspor dan kebijakan sejenisnya. Penting untuk diingat bahwa selama pandemi, sejumlah negara anggota G-20 justru tidak memberlakukan larangan ekspor bagi produk medis. Jadi, anggapan bahwa kebijakan seperti itu adalah sesuatu yang wajib dilakukan sebenarnya tidak sepenuhnya benar, jika kita melihat bukti yang ada.
Kita juga dapat melihat bahwa, terlepas dari seberapa pentingnya kebutuhan kebijakan tertentu, ada banyak faktor lain yang memengaruhi arah kebijakan perdagangan pada masa-masa seperti ini, mulai dari dinamika geopolitik, momentum pemilu, hingga pertimbangan politik domestik. Faktor-faktor tersebut kadang justru mendorong kita ke arah yang kontraproduktif, terutama dalam upaya transisi menuju ekonomi energi bersih.
Dalam isu perdagangan, ada kekhawatiran klasik yang sering terlihat pada sektor kendaraan listrik dan produk-produk terkait iklim. Situasi ini menunjukkan kecenderungan pemerintah untuk mengandalkan kebijakan perdagangan sebagai solusi, alih-alih melihat akar masalahnya. Jika suatu negara memiliki industri kendaraan listrik yang tertinggal, pertanyaan yang seharusnya diajukan adalah mengapa hal itu terjadi, bukan malah menghambat perusahaan-perusahaan lainnya yang sebenarnya sudah siap bersaing.
Ketika instrumen kebijakan perdagangan terus dijadikan fokus utama, pemerintah cenderung mengabaikan sisi penawaran dalam perekonomian dan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh para pelaku usaha untuk membangun perusahaan yang sukses dan kompetitif. Padahal, itulah yang seharusnya menjadi tujuan utama dari kebijakan industri, bukan sekadar memenuhi sasaran-sasaran umum seperti yang kita sering temukan saat ini.” — Prof. Simon Evenett
III. SIKAP TIONGKOK TENTANG PERDAGANGAN BEBAS
"Sepanjang yang saya amati, masyarakat Tiongkok pada umumnya masih berpandangan positif terhadap perdagangan bebas dan mendukung upaya reformasi yang lebih mendalam. Seperti yang kita tahu, sejak pandemi, perekonomian Tiongkok memang menghadapi berbagai tantangan. Dalam situasi ini, saya melihat pihak pemerintah tengah berusaha keras untuk mendorong pemulihan ekonomi. Selama ini, ekspor menjadi tumpuan utama kami.
Namun, pada tahun ini kami mulai mengalihkan fokus ke peningkatan investasi dan pembangunan, serta penerapan kebijakan ekonomi baru yang menekankan kualitas dan penguatan kapasitas produksi. Untuk mencapai hal tersebut, kami perlu mencoba untuk memperluas akses pasar, membenahi iklim bisnis domestik, serta menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI) dan memanfaatkan arus investasi tersebut untuk mendorong pemulihan ekonomi kami. Di Tiongkok sendiri, saya melihat bahwa opini publik masih sangat terbuka terhadap negara lain, khususnya terkait perdagangan bebas dan mekanisme pasar.
Bagi saya, kedua hal tersebut harus ditekankan. Sejak pandemi, ketika Amerika Serikat dan negara-negara Barat mulai memberlakukan tarif terhadap Tiongkok, rantai pasokan Tiongkok mengalami perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir. Selama ini, kami mengekspor bahan baku dan mengoordinasikan pengirimannya dari negara-negara Asia dan wilayah sekitarnya, kemudian merakitnya di dalam negeri sebelum mengekspor produk jadi ke Uni Eropa dan Amerika Serikat. Namun kini, Tiongkok telah menyesuaikan diri dengan situasi tersebut: kami berupaya untuk meningkatkan investasi di berbagai negara Asia dan mengembangkan komponen produksi yang dapat dipasok langsung ke pasar AS dan Uni Eropa. Tiongkok juga berusaha semaksimal mungkin untuk mendorong integrasi ekonomi di tingkat regional. [Kesimpulannya] Semua orang tahu bahwa perdagangan bebas sangatlah penting bagi Tiongkok.” — Dr. Sun Lipeng
IV. KONDISI HUBUNGAN PERDAGANGAN TIONGKOK-AS DARI PERSPEKTIF TIONGKOK
Hubungan Tiongkok–Amerika Serikat adalah hubungan bilateral yang paling penting sekaligus paling kompleks di dunia. Menurut pandangan saya, dalam beberapa tahun terakhir, hubungan perdagangan antara kedua negara masih berperan positif dalam menjaga stabilitas hubungan bilateral tersebut.
Jika melihat kembali empat tahun masa pemerintahan Presiden Biden, AS menerapkan tarif yang ketat dan mendorong kebijakan yang mereka sebut sebagai “derisking”. Namun pada tahun 2023, nilai perdagangan barang dan jasa antara Tiongkok dan AS tetap mencapai sekitar 600 miliar dan 30 miliar dolar AS. Ini menunjukkan bahwa hubungan ekonomi keduanya masih sangat erat dan saling terkait. Saya percaya konflik perdagangan tidak hanya akan merugikan AS atau Tiongkok saja, tetapi juga berdampak buruk bagi perdagangan bebas secara keseluruhan. Karena itu, meskipun hubungan dagang Tiongkok–AS dalam empat tahun terakhir tidak bisa dibilang baik, kondisinya juga tidak sepenuhnya buruk. Dari sudut pandang positif, presiden kami dan Presiden Biden sempat bertemu tahun lalu dan membahas sejumlah kekhawatiran, termasuk di San Francisco. Keduanya menyatakan komitmen untuk terus menempatkan kerja sama ekonomi sebagai salah satu prioritas utama bagi kedua negara.
Poin kedua yang perlu dicatat adalah bahwa meskipun hubungan dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat sedang mengalami banyak ketegangan, komunikasi antara tim ekonomi dari kedua pemerintahan tetap berjalan dengan baik. Poin ketiga adalah, data terbaru menunjukkan bahwa sekitar 77% perusahaan Amerika yang beroperasi di Tiongkok tidak berniat untuk hengkang. Mereka tetap melihat Tiongkok sebagai lokasi bisnis yang sangat penting. Ini menandakan bahwa kedua pemerintah masih memiliki komitmen kuat untuk menjaga dan meningkatkan daya saing ekonomi mereka. Poin keempat menyangkut kebijakan tarif. Baru-baru ini, USTR kembali memberlakukan tarif 301 dan mengumumkan putaran tarif baru yang ditujukan kepada Tiongkok.
Ketegangan dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat mungkin saja memanas lagi, namun saya rasa kedua belah pihak tidak menginginkan terulangnya perang dagang seperti sebelumnya. Jika kedua negara mampu mengelola hubungan ekonominya dengan baik, hal itu justru dapat membawa dampak positif bagi hubungan bilateral. Meski begitu, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah terkait tarif. Jika kita mencermati kebijakan tarif terbaru dari AS, langkah tersebut tampak sangat terarah, bersifat strategis, dan secara spesifik menyasar produk-produk Tiongkok seperti kendaraan listrik (EV) dan panel surya.” — Dr. Sun Lipeng
V. MENDORONG KEBIJAKAN BERBASIS NILAI DAN BUKAN TRANSAKSIONAL
“Kami ingin mendorong gagasan yang diusung organisasi kami, yaitu kebijakan yang berlandaskan nilai, bukan kebijakan yang bersifat transaksional. Di tengah meningkatnya intervensi negara, pemerintah sering berargumen bahwa langkah tersebut diperlukan untuk menjaga perekonomian, melindungi industri domestik, menarik investasi, dan mendorong pertumbuhan. Padahal, jika melihat perkembangan bisnis saat ini, faktor yang semakin menentukan justru adalah nilai-nilai yang dijunjung.
Saya juga melihat Eropa menggunakan pendekatan serupa. Contohnya, regulasi anti-deforestasi dirancang untuk melindungi lingkungan dan menanggulangi perubahan iklim. Kebijakan tersebut bukan hanya demi kepentingan manusia saat ini, tetapi juga memiliki dasar moral yang kuat. Kita ingin mengatasi krisis iklim, namun pada saat yang sama kita ingin memastikan bahwa tindakan kita selaras dengan nilai etika yang lebih tinggi.”
Bagi negara-negara yang berada di tengah-tengah seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan lainnya, saya yakin bahwa langkah yang paling tepat untuk diambil adalah untuk terus berpegang pada kebijakan yang berlandaskan prinsip dan nilai. Menurut saya, dalam banyak isu kita kemungkinan akan sejalan dengan posisi Washington sekitar 70%, sementara pada sekitar 30% isu lainnya kita akan memiliki pandangan berbeda. Dengan Beijing pun sama: setuju sekitar 70%, dan tidak setuju sekitar 30%.
Namun, poin pertama tentunya akan lebih konsisten, karena kita berpegang pada nilai dan prinsip yang juga konsisten. Selain itu, pendekatan ini diharapkan dapat meredakan ketegangan dan membantu mendepolitisasi diskusi kebijakan. Baik Washington maupun Beijing dapat melihat bahwa sikap kita tidak didasari preferensi pribadi, tidak pula bersifat pro atau anti pihak tertentu, atau dipengaruhi dinamika bipartisan. Sebaliknya, posisi kita berlandaskan nilai-nilai yang, dalam banyak hal, atau bahkan sebagian besar, sesungguhnya juga kita miliki bersama dengan kedua negara tersebut.
Sebenarnya, seseorang bisa saja mengalami malnutrisi dan obesitas pada saat yang bersamaan. Tubuh dapat kekurangan nutrisi penting, tetapi tetap menerima terlalu banyak kalori, sehingga memicu obesitas dan berbagai masalah kesehatan. Karena itulah kami meyakini pentingnya pendekatan kebijakan yang berlandaskan nilai, baik dalam perdagangan, ekonomi, maupun hubungan luar negeri.” —Tom Lembong
VI. GLOBAL SELATAN SEBAGAI KEKUATAN EKONOMI BARU YANG BERKEMBANG
Saya telah meninjau data statistik global terbaru mengenai investasi asing langsung (FDI) ke Indonesia, dan terlihat bahwa arus modal masuk tetap stabil di kisaran 20–25 miliar dolar per tahun sejak 2017. Tidak ada indikasi terjadinya repatriasi dana atau keluarnya modal dalam jumlah signifikan. Jika pun terjadi, skalanya kecil, sementara tren modal masuk tetap konsisten. Pola yang sama juga tampak di banyak negara besar lain di kelompok Global Selatan. Melihat data seperti ini, saya justru merasa sedikit khawatir. Tahun lalu, kami mewawancarai sejumlah perusahaan multinasional dan menanyakan apakah mereka tengah melakukan reshoring. Hasilnya cukup menarik: perusahaan-perusahaan dari Amerika Utara mengaku mendapat tekanan dari pelanggan mereka untuk memindahkan kembali produksi. Namun, tidak satu pun kelompok perusahaan multinasional lain dari wilayah mana pun yang menyampaikan hal serupa. Kini kita mulai mendengar sejumlah indikasi dari Eropa mengenai rencana memindahkan sebagian produksi dari negara seperti Tiongkok, tetapi hingga saat ini belum ada langkah nyata. Karena itu, menurut saya, narasi mengenai tren reshoring ini cenderung menjadi semacam self-fulfilling prophecy. Bahkan di Amerika Utara, meskipun sejumlah akademisi AS berbicara tentang perpindahan pabrik besar-besaran, data menunjukkan sebaliknya. Data perusahaan Kanada, misalnya, memperlihatkan bahwa mereka tidak mengubah keputusan tentang rantai pasokan mereka sama sekali.
Sekali lagi, bahkan di Amerika Utara sendiri belum tampak pola yang benar-benar konsisten. Menurut saya, ini menunjukkan bahwa narasi publik sering berkembang jauh melampaui fakta di lapangan. Dalam satu atau dua minggu ke depan, Amerika Serikat akan merilis data terbaru mengenai arus investasi asing langsung sepanjang tahun lalu. Data ini sangat menarik karena dapat menjawab apakah benar banyak perusahaan asing mulai beroperasi di AS, khususnya di sektor-sektor yang diuntungkan dari Undang-Undang Pengurangan Inflasi. Laporan terakhir pada bulan Juli lalu menunjukkan bahwa partisipasi perusahaan Eropa masih sangat minim, sementara perusahaan Jepang dan Korea tampak sedikit lebih aktif, meskipun skalanya tetap kecil.
Saat ini, ada satu aspek di mana data menunjukkan gambaran yang sangat tegas. Tidak seperti pada era Perang Dingin—ketika banyak negara non-blok, termasuk Indonesia, memiliki populasi besar namun kekuatan ekonomi yang terbatas— kini kita menyaksikan bangkitnya kelompok negara non-blok dari pasar emerging, atau yang dikenal sebagai “Global Selatan”, dengan kapasitas ekonomi yang jauh lebih kuat. Oleh karena itu, negara-negara ini menarik perhatian jauh lebih besar. Saya percaya bahwa babak baru persaingan geopolitik akan sangat berbeda dari masa lalu, karena Global Selatan kini memiliki pengaruh kolektif yang jauh lebih signifikan. —Prof. Simon Evenett
VII. KESIMPULAN
“Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berbicara hari ini. Sebagai penutup, izinkan saya menegaskan bahwa masa depan sistem perdagangan global sepenuhnya bergantung pada pilihan dan tindakan kita. Ini sangat penting karena kita sesungguhnya memiliki kemampuan nyata untuk menentukan arah perkembangan tersebut. Kita telah melihat bagaimana kecurigaan dan ketakutan dapat memperkeruh retorika dan mengacaukan politik. Saya percaya pendekatan teknokratis akan menawarkan jalan terbaik, yaitu dengan mencari titik temu, nilai-nilai bersama, serta penyelesaian persoalan berdasarkan informasi dan data yang kuat, sambil memberi ruang sebesar mungkin bagi nalar dan logika dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Karena itu, saya mengajak kita semua untuk lebih mempertimbangkan pendekatan teknokratis. Pastikan diskusi dan proses pengambilan keputusan didasarkan pada bukti serta data yang kuat. Kita juga harus meningkatkan mutu informasi yang kita gunakan dan menyaring berbagai keraguan yang disebarkan oleh pihak-pihak yang ingin menciptakan perpecahan. Dengan ini, kita akan membangun sistem perdagangan yang dapat meningkatkan kesejahteraan seperti yang selama ini dirasakan oleh teman-teman kita di Asia Tenggara dan Asia Timur.”—Prof. Simon Evenett
“Saya merasa optimis, meski tetap waspada, terhadap arah perdagangan global dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang. Keyakinan saya muncul dari fakta bahwa aktivitas perdagangan dunia tidak hanya terus berjalan, tetapi juga terus berkembang, meski bentuknya berubah dari apa yang dulu kita kenal. Banyak politisi masih terpaku pada perdagangan barang fisik, padahal peluang terbesar saat ini justru muncul dari dunia yang makin terdigitalisasi. Internet membuka ruang luas bagi perdagangan digital, baik berupa produk digital, layanan digital, maupun bentuk apa pun yang dapat didigitalisasi.
Sebagai seorang pejabat di bidang perdagangan, kami sering kali tidak memasukkan aliran data sebagai bagian dari indikator atau alat ukur kami. Meskipun kami tetap mengukur perdagangan jasa, sektor ini sering terabaikan karena kebijakan lebih banyak terfokus pada isu-isu sensasional seputar perdagangan barang.
Jika kita bisa menemukan titik-titik kesepakatan, baik dengan Beijing, Washington, maupun negara-negara lainnya di seluruh dunia, maka ruang untuk saling mencurigai satu sama lain pun akan semakin mengecil. Dampaknya, perdagangan, pariwisata, investasi, dan berbagai bentuk pertukaran dapat bergerak lebih bebas. Kita juga perlu ingat bahwa dinamika global, politik, dan kebijakan selalu berjalan dalam siklus. Bandulnya akan terus bergerak dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya. Jadi, meski saat ini kita berada dalam periode dengan tingkat intervensi pemerintah yang tinggi, bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan kita memasuki fase di mana pemerintah menarik diri dan memberikan lebih banyak ruang bagi sektor swasta serta pasar.” —Tom Lembong
“Saya ingin menyampaikan satu pandangan dan empat saran. Pertama-tama, perlu ditegaskan bahwa banyak negara maju kini tidak lagi mengutamakan perdagangan bebas, melainkan lebih berfokus pada apa yang disebut sebagai perdagangan adil. Akibatnya, praktik-praktik proteksionis di negara-negara Global Utara menjadi semakin marak seiring pesatnya perkembangan ekonomi di negara-negara Global Selatan.
Hubungan ekonomi antara negara-negara besar saat ini tengah mengalami perubahan besar, dan persaingan di antara mereka menjadi semakin kompleks. Dalam melihat situasi perdagangan global saat ini, saya menilai bahwa era perdagangan bebas seperti sebelumnya tidak akan kembali. Karena itu, saya percaya Tiongkok dan negara-negara Global Selatan lainnya perlu memperkuat kolaborasi guna mendorong kerja sama ekonomi. Hal utama yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa persaingan antar kekuatan ekonomi besar dapat dikelola dengan baik, sambil tetap mencari ruang untuk bekerja sama. Hubungan yang stabil antar negara besar akan memberikan dampak positif bagi perkembangan perdagangan yang lebih sehat.
Saya juga ingin menekankan pentingnya sistem perdagangan global, terutama bagi negara-negara Global Selatan yang sangat mengandalkan pertumbuhan untuk meningkatkan kesejahteraan. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan standar hidup masyarakat, bukan bersaing untuk menggantikan dominasi kekuatan besar lain. Karena itu, negara-negara Global Utara perlu memisahkan isu perdagangan dari kepentingan politik dan keamanan, serta menerapkan kebijakan perdagangan yang lebih inklusif. Ini merupakan kepentingan mendasar bagi seluruh masyarakat dunia.” —Dr. Sun Lipeng
Catatan:
Artikel ini ditulis dan dipublikasikan oleh Foreign Policy Community of Indonesia. CIPS Learning Hub menerjemahkan dan menggunakannya untuk tujuan pendidikan sebagai referensi bacaan tambahan mahasiswa dalam CIPS Learning Hub Teaching Toolkit. Artikel ini tidak mencerminkan pandangan CIPS.





