top of page

Reformasi Subsidi Pupuk: Saatnya Beralih ke Bantuan Langsung Untuk Petani

Terbitnya Peraturan Presiden No. 6 Tahun 2025 tentang tata kelola pupuk bersubsidi pada Januari lalu menandai upaya pemerintah untuk memperbaiki sistem subsidi pupuk yang telah berlangsung sejak 1969. Inovasi ini bukanlah yang pertama, setelah sebelumnya dilakukan digitalisasi melalui Kartu Tani, e-alokasi dan aplikasi i-Pubers pada 2023.


Perpres terbaru ini menghadirkan beberapa perubahan signifikan, yaitu penghapusan kewajiban Surat Keputusan Gubernur dan Bupati/Walikota dalam proses alokasi untuk mempersingkat birokrasi, perluasan cakupan penerima dengan menambahkan nelayan budidaya serta penyederhanaan rantai distribusi dari produsen langsung ke "titik serah".


Prosedur ini tetap memiliki jalur distribusi yang panjang dan masih rawan kebocoran, serta belum memprioritaskan kebutuhan spesifik petani yang beragam di seluruh wilayah Indonesia.

Namun, perubahan-perubahan ini belum menyentuh permasalahan fundamental. Skema yang ada masih merupakan subsidi industri, dengan dana pemerintah dibayarkan kepada produsen, bukan langsung kepada petani sebagai sasaran utama. Prosedur ini tetap memiliki jalur distribusi yang panjang dan masih rawan kebocoran, serta belum memprioritaskan kebutuhan spesifik petani yang beragam di seluruh wilayah Indonesia.


Keterbatasan Pilihan Pupuk Bersubsidi


Kebutuhan petani di berbagai daerah Indonesia sangat beragam tergantung dari jenis tanah, tanaman, dan musim tanam. Subsidi pupuk dari pemerintah hanya memberikan pilihan terbatas dengan menyediakan lima jenis pupuk bersubsidi (Urea, NPK, organik, SP 36, dan ZA). Akibatnya, efisiensi penggunaan pupuk menjadi rendah dan produktivitas pertanian tidak optimal.


Petani di tanah masam seperti di Kalimantan membutuhkan pupuk dengan komposisi berbeda dibandingkan petani di lahan vulkanik di Jawa. Begitu pula dengan petani padi sawah yang memiliki kebutuhan berbeda dengan petani hortikultura. Namun, keterbatasan pilihan pupuk bersubsidi memaksa mereka menggunakan jenis pupuk yang tidak selalu sesuai dengan kebutuhan spesifik tanaman dan lahannya.


Penelitian Center for Indonesia Policy Studies (2021) menunjukkan, mekanisme subsidi yang ada tidak hanya mendorong konsumsi pupuk kimia berlebihan, tetapi juga menyebabkan terciptanya pasar sekunder. Selisih harga yang signifikan antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi membuka celah terjadinya kebocoran pupuk bersubsidi ke pasar umum, merugikan petani kecil yang menjadi target utama program.


Tantangan Harga dan Pasokan Global


Permasalahan subsidi pupuk semakin kompleks dengan adanya gejolak geopolitik global. Konflik Rusia-Ukraina telah menyebabkan lonjakan harga bahan baku pupuk, mengingat Rusia merupakan eksportir utama pupuk nitrogen dan potasium. Sementara Ukraina menjadi produsen penting untuk bahan baku pupuk fosfat.


Indonesia membutuhkan impor bahan baku pupuk untuk memenuhi lebih dari 50% dari kebutuhan nasional. Oleh karena itu, harga pupuk dalam negeri sangat dipengaruhi oleh fluktuasi pasar global. Pada tahun 2023 saja, harga pupuk urea di pasar internasional meningkat hampir 30% akibat gangguan rantai pasok global dan pembatasan ekspor dari negara-negara produsen utama.


Situasi ini menunjukkan urgensi bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pupuk agar menjaga ketahanan pangan, sambil mencari model subsidi yang lebih efektif dan berkelanjutan. Pengembangan industri pupuk organik berbasis limbah pertanian lokal dan pemanfaatan sumber daya fosfat dalam negeri perlu dipercepat untuk mengurangi tekanan terhadap anggaran subsidi yang semakin membengkak.


Bantuan Langsung ke Petani: Solusi yang Lebih Efektif


Pada 2023, Kementerian Koordinator Perekonomian telah menerbitkan pedoman Kebijakan Subsidi Pupuk Melalui Bantuan Langsung ke Petani (BLP)Ā yang mengusulkan skema bantuan uang non-tunai. Sayangnya, naskah lengkap pedoman ini belum dirilis ke publik dan belum ada tindak lanjut resmi sampai saat ini.


Skema bantuan uang non-tunai menawarkan tiga keunggulan utama. Pertama, subsidi diberikan langsung kepada petani, memberikan kebebasan memilih jenis pupuk sesuai kebutuhan spesifik lahan dan komoditas yang mereka tanam. Sistem verifikasi penerima juga menjadi lebih sederhana, meminimalisir penyimpangan distribusi.


Penelitian di berbagai negara berkembang seperti India dan Nigeria menunjukkan, bantuan langsung kepada petani dalam bentuk e-voucherĀ atau transfer uang digital telah berhasil mengurangi kebocoran subsidi hingga 40% dan meningkatkan produktivitas pertanian. Hal ini memungkinkan dikarenakan petani dapat mengakses input yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka.


Kedua, skema ini membuka akses petani terhadap pasar input yang lebih berkualitas dan beragam, tidak lagi terbatas pada lima jenis pupuk bersubsidi yang mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Kebebasan memilih juga akan mendorong produsen pupuk untuk menjadi lebih kompetitif dalam meningkatkan kualitas produk dan layanan, yang pada akhirnya menguntungkan petani.


Ketiga, anggaran subsidi akan tersalurkan lebih efisien dengan beban logistik minimal dan birokrasi yang lebih ringkas, meningkatkan nilai dari setiap rupiah yang dikeluarkan untuk program subsidi.


Reformasi Subsidi Pupuk untuk Implementasi yang Terukur


Untuk menjalankan reformasi subsidi pupuk yang efektif, pemerintah perlu melakukan program percontohan di beberapa wilayah dengan karakteristik berbeda. Evaluasi harus mencakup identifikasi penerima manfaat, mekanisme penyaluran dana, sistem monitoring dan evaluasi serta pengukuran dampak terhadap produktivitas pertanian.


Sebagai contoh, program percontohan dapat dilakukan di tiga wilayah dengan karakteristik pertanian berbeda, seperti di lahan sawah intensif di Jawa, lahan kering di Nusa Tenggara dan lahan perkebunan di Sumatera. Hasilnya akan memberikan gambaran komprehensif tentang efektivitas skema bantuan langsung dalam berbagai konteks pertanian Indonesia.


Data yang telah dikumpulkan melalui berbagai inisiatif digitalisasi sebelumnya dapat menjadi dasar penting untuk merancang skema yang tepat sasaran dan transparan. Infrastruktur digital yang telah terbangun juga dapat dimanfaatkan untuk mengimplementasikan sistem bantuan langsung dengan biaya tambahan yang minimal.


Dinas Pertanian di tingkat kabupaten/kota bersama dengan kelompok tani perlu berperan aktif dalam melakukan pendataan dan verifikasi petani penerima bantuan, serta memberikan pendampingan teknis tentang pemilihan jenis pupuk yang optimal sesuai dengan hasil analisis tanah dan kebutuhan tanaman.


Terbitnya Perpres 6/2025 dan wacana Bantuan Langsung ke Petani (BLP) harus menjadi momentum untuk mereformasi sistem subsidi pupuk secara menyeluruh. Sudah saatnya Indonesia beralih dari subsidi industri menjadi bantuan langsung ke petani yang lebih efektif, efisien dan tepat sasaran.


Langkah ini akan menjawab permasalahan utama yang selama ini menghambat efektivitas program subsidi pupuk: keterbatasan jenis pupuk yang tidak sesuai dengan keragaman kebutuhan petani; panjangnya rantai distribusi yang rawan kebocoran; dan besarnya beban logistik yang harus ditanggung oleh anggaran negara.


Transformasi ini tidak hanya akan meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan. Petani yang memiliki kebebasan dalam menentukan input pertaniannya akan menghasilkan sistem produksi pangan yang lebih tangguh menghadapi berbagai gejolak, baik dari dalam maupun luar negeri.


reformasi subsidi pupuk adalah langkah strategis untuk memastikan keberlanjutan sektor pertanian Indonesia

Di tengah ketidakpastian global dan tantangan perubahan iklim, reformasi subsidi pupuk adalah langkah strategis untuk memastikan keberlanjutan sektor pertanian Indonesia. Pemerintah harus segera menindaklanjuti wacana bantuan langsung ke petani dengan uji coba yang terukur dan terencana sehingga dapat menjadi dasar kebijakan nasional yang lebih baik.


Komentar


Mengomentari postingan ini tidak tersedia lagi. Hubungi pemilik situs untuk info selengkapnya.
  • Youtube CIPS
  • Twitter CIPS
  • Instagram CIPS
  • LinkedIn CIPS
  • Email CIPS
bottom of page