Program Makan Bergizi Gratis: Saatnya Evaluasi Menyeluruh Sebelum Melangkah Lebih Jauh
- Bhimanto Suwastoyo

- 31 Okt
- 2 menit membaca
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas sebagai program unggulan pemerintah, kini berada di persimpangan jalan. Setelah hampir satu tahun berjalan sejak diluncurkan pada Januari 2025, program ini menuai sorotan tajam dan kritik. Berbagai pihak mempertanyakan efektivitas dan arah kebijakan MBG: Apakah program ini benar-benar menjawab kebutuhan gizi anak-anak Indonesia, atau justru menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks?
Sorotan tajam dan desakan untuk evaluasi menyeluruh ini dipicu oleh karut-marut pelaksanaan program. Masalah utama yang mengemuka adalah kelemahan tata kelola, mutu dan keamanan makanan, hingga ambisi pemerintah yang menaikkan target penerima manfaat secara drastis dari 17,8 juta menjadi 82,9 juta orang tanpa didukung fondasi regulasi yang kuat.
Target Ambisius Tanpa Payung Hukum yang Jelas
Ambisi pemerintah untuk menjangkau 82,9 juta penerima manfaat pada akhir tahun ini merupakan lonjakan drastis dari target awal dalam RPJMN 2025-2029 (hanya 17,8 hingga 19,47 juta orang). Namun, ambisi ini berjalan timpang karena permasalahan fundamental yang diidentifikasi: belum adanya kerangka regulasi yang jelas sebagai payung hukum program MBG.
Ketiadaan Undang-Undang atau Peraturan Presiden yang solid sebagai dasar aturan telah berdampak buruk pada pelaksanaan di lapangan.
Tumpang Tindih Peran: Kekosongan regulasi membuat pembagian peran dan tanggung jawab antarlembaga menjadi kabur dan tidak terkoordinasi.
Peningkatan Risiko Sistemik: Tanpa peta jalan yang jelas dan kontrol ketat, risiko dalam pelaksanaannya meningkat. Kasus keracunan massal di berbagai daerah, mutu makanan di bawah standar gizi, hingga keterlambatan distribusi di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T) berpotensi menjadi masalah sistemik yang meluas seiring perluasan jangkauan program.
Ancaman Mutu dan Pengorbanan Anggaran Pendidikan
Dua isu krusial lain turut memperkeruh jalannya program:
Gizi Kontraproduktif: Terdapat risiko peningkatan konsumsi pangan ultraolahan yang justru kontraproduktif terhadap tujuan utama program. Alih-alih meningkatkan status gizi, hal ini berpotensi memperburuk status gizi anak-anak dan menimbulkan masalah kesehatan baru.
Ancaman Anggaran Pendidikan: Rencana peningkatan anggaran MBG di RAPBN 2026 yang sebagian diambil dari anggaran pendidikan menimbulkan kekhawatiran serius. Pengurangan komponen anggaran pendidikan berisiko mengorbankan upaya perbaikan kualitas pendidikan lainnya yang sangat penting bagi pembentukan SDM unggul Indonesia.
Rekomendasi Kunci: Membangun Fondasi yang Kokoh
Guna mengatasi permasalahan tata kelola ini dan memastikan tujuan mulia MBG tercapai, diperlukan reformasi mendasar. CIPS merekomendasikan tiga hal utama sebagai acuan evaluasi dan pengembangan program:
Kerangka Regulasi yang Jelas: Pemerintah harus segera mengesahkan regulasi formal (UU/Perpres) untuk menjamin pembagian peran antarlembaga yang terstruktur, efektif, dan akuntabel.
Pelibatan Aktor Daerah: Pelaksanaan MBG wajib melibatkan pemangku kepentingan daerah sebagai aktor inti, bukan sekadar pelaksana instruksi. Pelibatan ini krusial untuk mengoptimalkan penyediaan makanan bergizi, efisiensi penganggaran, dan mendorong inovasi lokal.
Sekolah sebagai Pemimpin Pelaksana Program: Sekolah perlu diarahkan menjadi aktor utama dalam merancang dan melaksanakan program. Manajemen dan komunitas sekolah lebih mampu mengelola program secara keseluruhan, melakukan pengawasan, dan menyelaraskan dengan kebutuhan serta konteks lokal.
Penundaan Perluasan dan Evaluasi Menyeluruh
Program MBG memiliki niat baik, namun niat saja tidak cukup. Tanpa tata kelola yang kuat yang diatur dalam kerangka regulasi yang jelas, MBG berisiko menjadi proyek ambisius yang gagal mencapai tujuannya.
Oleh karena itu, sebelum anggaran besar dikucurkan untuk perluasan program, pemerintah perlu menunda perluasan dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan MBG. Risiko jangka panjang terhadap proses pendidikan anak-anak serta ketidakefektifan program tanpa tata kelola yang kuat terlalu besar untuk diabaikan. Jika MBG ingin menjadi solusi yang berkelanjutan, ia harus dibangun di atas fondasi regulasi, pelibatan daerah, dan kepemimpinan sekolah yang kokoh.









Komentar