Pertumbuhan Fintech Yang Berkelanjutan Perlu Pertimbangkan Dampak Sosial ke Masyarakat
- Center for Indonesian Policy Studies
- 13 Jun
- 3 menit membaca
Diperbarui: 10 Jul
Penerapan prinsip Environmental, Social and Governance (ESG) dalam layanan keuangan digital di Indonesia mendesak untuk memastikan berjalannya layanan keuangan digital yang berkelanjutan (sustainable digital finance).
Penerapan prinsip ESG juga dibutuhkan untuk mencegah terjadi penyalahgunaan yang berdampak besar bagi kesejahteraan sosial masyarakat, terutama kepada mereka yang tergolong minim literasi keuangan, demikian hasil penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengenai sustainable digital finance.
“Dalam konteks industri layanan keuangan digital, Indonesia merupakan salah satu pasar yang paling dinamis di Asia Tenggara. Berkembangnya layanan seperti dompet digital, fasilitas pembayaran digital untuk pedagang UKM, peer-to-peer lending, dan buy-now-pay-later telah meningkatkan inklusivitas bagi penduduk yang sebelumnya tidak terlayani oleh bank,” jelas Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ajisatria Suleiman dalam DigiWeek 2025 yang berlangsung di Jakarta, baru-baru ini.
Namun demikian, lanjutnya, meningkatnya adopsi keuangan digital juga memberikan dampak sosial bagi masyarakat. Mulai dari maraknya penipuan atau scam, berkembangnya layanan-layanan ilegal, juga penggunaan layanan secara tidak bertanggung jawab seperti meminjam terlalu banyak (overborrowing) sehingga justru dapat mendorong masyarakat ke jurang kemiskinan. Situasi ini dapat membuat layanan keuangan digital tidak sustainable apabila tidak dikelola dengan baik.
Oleh karena itu dalam konteks ESG di Indonesia, penelitian CIPS melihat adanya urgensi yang jauh lebih besar untuk menerapkan prinsip-prinsip tata kelola sosial atau fokus pada prinsip “Social” di antara tiga fokus ESG yang berlaku umum di dunia.
Penerapan social governance dalam digital sustainable finance membutuhkan dukungan dari para pemangku kepentingan yang ada. Untuk P2P lending misalnya, dibutuhkan adanya pengaturan agar bunga yang ditetapkan agar tidak terlalu tinggi, dan perlu juga adanya kerja sama industri untuk mencegah overborrowing dan pemblokiran fintech ilegal.
Sementara dalam pembayaran digital yang meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir semenjak kebijakan QRIS, diperlukan upaya untuk meningkatkan literasi keuangan dibutuhkan karena karakteristik masyarakat di setiap daerah berbeda. Adanya sistem keuangan digital juga diikuti maraknya praktek penipuan seperti scam, judi online dan praktik ilegal seperti menukar QRIS. Platform, contohnya Google, melakukan langkah-langkah mitigasi dengan menyediakan fitur-fitur untuk mencegah adanya penipuan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Ronald Tauviek Andi Kasim mengatakan, kehadiran P2P lending memiliki dampak sosial yang signifikan. Kehadirannya mampu mengisi kesenjangan antara mereka yang memiliki persyaratan dalam mengakses layanan keuangan konvensional dan yang tidak.
Berdasarkan data AFPI di Mei 2025, P2P lending sudah mendistribusikan Rp 77 triliun kepada konsumen, lalu untuk kredit macetnya hanya sekitar 2,6 persen. Lalu, 2,2 juta peminjam adalah yang tidak bisa mendapatkan akses terhadap kredit bank.
“Jadi, siapa yang menggunakan layanan ini? Tentunya warung-warung yang dulunya memang bergantung dengan plecit atau rentenir, berpindah karena risiko yang lebih besar kalau bergantung pada rentenir. Untuk bunga, ini juga tidak seberat dengan plecit tersebut. Lalu, kehadiran P2P lending juga mampu berfungsi memberikan dana darurat, seperti saat ada anggota keluarga yang masuk rumah sakit dan memakan biaya yang cukup tinggi. Namun, bank tidak bisa memberikan dana tersebut secara cepat,” ujarnya pada kesempatan yang sama.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung Junanto Herdiawan mengakui pentingnya literasi dalam mengakses layanan keuangan. Salah satu alasan utama adalah keragaman demografi nasabah layanan keuangan, yang tidak bisa diatasi dengan kebijakan seragam.
"Perbedaan demografi sangat penting karena Indonesia begitu besar. Kita tidak bisa menerapkan kebijakan one size fits all. Sebanyak 70% pekerja di Lampung hanya tamatan SD, ini menjadi tantangan besar. Literasi dan edukasi sangat krusial. Kami mendorong percepatan digitalisasi di seluruh Indonesia, tidak hanya Lampung, namun perlu keseimbangan antara integritas, stabilitas, dan daya saing usaha," ujarnya.
APAC Engagement Lead, Trust and Safety Global Engagements, Google Play Andri Kusumo menyoroti perlunya pendekatan komprehensif dalam menyikapi perkembangan sistem keuangan digital dan penguasaan literasi keuangan masyarakat. Ia menekankan bahwa peningkatan literasi sangat penting di tengah pesatnya perkembangan layanan keuangan.
“Harus ada pendekatan komprehensif untuk ini: fitur kita harus aman dan ramah. Peningkatan literasi diperlukan untuk kesiapan penggunaan, dan mungkin juga ada ukuran yang menjelaskan penggunaan ini sudah berlebihan atau tidak,” tutupnya.