Perkembangan ekonomi digital Indonesia membutuhkan dukungan kerja sama kawasan lewat penguatan free trade agreement atau FTA dengan negara-negara ASEAN dan Asia.
“Kerjasama kawasan perlu didorong untuk memaksimalkan potensi ekonomi digital Indonesia. Sambil menunggu momentum general review untuk FTA atau perjanjian perdagangan yang sudah ada serta dirundingkannya ASEAN Digital Economy Framework (DEFA), Indonesia perlu menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah yang belum selesai, seperti menjaga kestabilan ekonomi makro dan penguatan fondasi ekonomi digitalnya,” ungkap Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran.
Sembari menunggu general review pada FTA yang ada serta dirundingkannya ASEAN DEFA, Indonesia perlu menyelesaikan dua pekerjaan rumah utama, yaitu memastikan iklim bisnis dan makro ekonomi sudah cukup kondusif agar digital ekonomi dapat tumbuh, serta memperkuat fondasi digital ekonominya.
Saat ini, klausul ekonomi digital dimuat di dalam dua jenis perjanjian, yaitu perjanjian dagang konvensional atau biasanya disebut FTA dan perjanjian ekonomi digital atau Digital Economy Agreement (DEA).
Di lingkup ASEAN, Indonesia telah mengikuti beberapa FTA tentang ekonomi digital seperti ASEAN Single Window agreement, ASEAN Single Window Protocol, ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement, Regional Comprehensive Economic Partnership, dan ASEAN Agreement on E-commerce.
Sayangnya, klausul yang mengatur digital ekonomi dalam beberapa FTA tersebut belum maksimal dalam memfasilitasi transaksi ekonomi digital lintas batas. Hal ini tidak terlepas dari kondisi dari masing-masing negara anggota.
Klausul tersebut tidak mewajibkan negara anggota untuk mempersiapkan rencana aksi dan timeline untuk mewujudkan komitmennya terhadap perkembangan ekonomi digital.
Misalnya saja, klausul terkait transaksi e-commerce lintas batas dalam sengaja dibuat kurang ambisius. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan Indonesia dari segi regulasi dan infrastruktur yang belum memadai dibanding negara anggota lainnya untuk dilakukan transaksi e-commerce lintas batas. Selain itu, FTA tersebut kurang komprehensif karena belum mencakup banyak aspek di luar digital ekonomi.
Walaupun demikian, amandemen terhadap klausul-klausul tersebut masih mungkin untuk dilakukan.Dalam kasus RCEP, proses general review masih dapat dilakukan dalam lima tahun pasca RCEP disetujui.
Selain pekerjaan rumah di atas, pemerintah juga perlu melakukan inisiatif-inisiatif lainnya, seperti mengupayakan pembangunan infrastruktur digital secara merata.
Pembangunan infrastruktur digital memang sudah dimulai. Sayangnya hal ini masih terfokus di Pulau Jawa. Untuk wilayah timur Indonesia, infrastruktur digitalnya belum mampu memfasilitasi internet cepat dan hal ini menciptakan kesenjangan antar wilayah Indonesia.
Kedua, mempersiapkan regulasi pabean ekspor untuk transaksi e-commerce. Indonesia memang telah memiliki fasilitas pabean untuk produk e-commerce impor de minimis (batas maksimal nilai barang dimana pajak, dan bea masuk tidak dikenakan) dan Pusat Logistik Berikat e-commerce.
Sayangnya regulasi terkait fasilitasi ekspor masih ambigu dan belum memiliki kejelasan. Dalam hal ini pemerintah perlu menyiapkan regulasinya agar memberikan kepastian kepada pelaku UMKM yang ingin mengekspor produknya.
Indonesia memiliki transaksi ekonomi digital yang paling tinggi di ASEAN dibanding ASEAN member states (AMS) lainnya. DI tahun 2021 transaksi ekonomi digital Indonesia mencakup 42% pangsa pasar ASEAN.
Indonesia juga menjadi destinasi terpopuler kedua bagi investasi di bidang ekonomi digital setelah Singapura. Per tahun 2021, Google, Temasek and Bain & Company mencatat total investasi yang masuk di sektor digital Indonesia mencapai USD 9,1 miliar, naik dua kali lipat dari tahun 2020.
Comments