top of page

Perjanjian RCEP: Peluangnya bagi Indonesia dan Langkah Pemanfaatannya, Sebuah Perspektif Internal

Diperbarui: 14 Agu 2023


Unduh versi PDF di sini.

Baca versi Bahasa Inggris di sini.


Pesan Utama

  • Penandatanganan RCEP telah memberikan sinyal ke dunia bahwa 15 negara anggotanya berkomitmen tinggi untuk segera bekerja sama mengupayakan pemulihan ekonomi dunia dan bahwa perdagangan dan hubungan ekonomi global masih akan tetap berkembang.

  • Manfaat RCEP bagi Indonesia adalah munculnya potensi pembukaan akses pasar dan mendorong masuknya PMA.

  • Apabila Indonesia ingin mendapatkan manfaat ekonomi yang nyata dari RCEP, maka penting bagi Indonesia untuk melakukan penyesuaian struktural dan kebijakan guna meningkatkan daya saing ekonomi nasional dan memastikan masuknya investor, baik dari dalam (PMDN) maupun luar negeri (PMA), di sektor riil industri manufaktur, khususnya di industri berorientasi digital dan berorientasi Revolusi Industri 4.0.



Kekuatan Ekonomi RCEP

Pakta perdagangan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) telah ditandatangani oleh Menteri Ekonomi/Perdagangan negara anggota RCEP (15 negara) pada tanggal 15 November 2020 lalu dengan disaksikan oleh masing-masing Kepala Negara/Pemerintahan. Kelima belas negara anggota RCEP tersebut adalah 10 negara anggota ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, Myanmar, Republik Demokratik Rakyat Laos, Kamboja, dan Brunei Darussalam), serta 5 (lima) Mitra Wicara FTA ASEAN (Republik Rakyat Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Selandia Baru). Walaupun penandatanganan perjanjian RCEP berlangsung secara virtual, namun gaung penandatanganannya mendunia. Di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang menekan perekonomian dunia hingga ke kondisi resesi, 15 negara ini mampu mewujudkan komitmennya dalam menuntaskan perundingan RCEP yang telah berlangsung selama delapan tahun. Penandatanganan RCEP telah memberikan sinyal ke kalangan internasional bahwa 15 negara anggotanya berkomitmen tinggi untuk segera bekerja sama mengupayakan pemulihan ekonomi dunia. Peristiwa ini juga mengirim pesan bahwa perdagangan dan hubungan ekonomi global masih akan tetap berkembang.


Sejak menyepakati Guiding Principles and Objectives for Negotiating the Regional Comprehensive Economic Partnership pada tahun 2012 serta melakukan beberapa perundingan dari tahun 2013 hingga November 2019, jumlah negara peserta RCEP adalah 16. Akan tetapi, India memutuskan untuk keluar dari RCEP pada bulan November 2019, saat perundingan memasuki tahap akhir penyelesaian. Kelima belas negara anggota RCEP akhirnya sepakat untuk tetap melanjutkan perundingan yang belum tuntas, dengan harapan India masih akan berniat untuk bergabung kembali dengan RCEP di masa yang akan datang. Meskipun tanpa India yang belum bergabung kembali, RCEP adalah pakta perdagangan yang masih terbilang terbesar kekuatan ekonominya dibandingkan pakta perdagangan lainnya seperti Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CP-TPP), North American Free Trade Agreement (NAFTA) dan EU-28. Kawasan RCEP merepresentasikan kurang lebih 30% penduduk dunia, 30% produk domestik bruto (PDB) dunia, 27% perdagangan dunia, dan 29% penanaman modal asing (PMA) dunia.


Perjanjian RCEP akan secara resmi diberlakukan apabila sedikitnya enam negara anggota ASEAN dan tiga negara mitra dagang ASEAN telah menyampaikan dokumen ratifikasinya ke Sekjen ASEAN/Sekretariat ASEAN. Diperkirakan, Perjanjian RCEP ini akan mulai berlaku paling cepat pada tahun 2022.



Sejarah Lahirnya RCEP

Inisiatif RCEP yang lahir pada tahun 2011 merupakan gagasan Indonesia saat mendapat tugas menjadi Ketua ASEAN sepanjang tahun 2011. Inisiatif tersebut muncul untuk merespon desakan dari beberapa Mitra Wicara Free Trade Agreement (FTA), khususnya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Jepang. Sebagaimana ASEAN, kedua mitra ini sangat menginginkan agar ASEAN segera membentuk suatu FTA yang melibatkan semua Mitra FTAnya. RRT misalnya menginginkan agar ASEAN membangun FTA dengan sejumlah Mitra Wicara FTA saja, yakni RRT, Jepang, dan Korea. Namun saat itu Jepang mengusulkan agar FTA yang akan dibentuk melibatkan seluruh Mitra Wicara FTAnya yaitu RRT, Jepang, Korea, India, Australia, dan Selandia Baru.


Pada tahun 2011, Indonesia berhasil meyakinkan negara anggota ASEAN lainnya untuk bersama-sama menjadikan inisiatif RCEP ini sebagai inisiatif ASEAN dan menawarkan usulan ini ke seluruh Mitra Wicara FTAnya tersebut pada bulan November 2011, di akhir masa kepemimpinan Indonesia di ASEAN.


Setelah melalui pembahasan bersama yang intensif pada tahun 2012, para Kepala Negara ASEAN dan keenam Mitra FTAnya mengumumkan bahwa 10 negara ASEAN dan enam Mitra FTAnya akan memulai perundingan RCEP pada tahun 2013. Semua negara tersebut juga menyepakati Guiding Principles and Objectives for Negotiating the Regional Comprehensive Economic Partnership sebagai acuan dalam menjalankan perundingan RCEP.


Perundingan pertama dimulai pada bulan Mei 2013 di Brunei Darussalam, kemudian secara intensif berlangsung beberapa kali hingga yang terakhir pada November 2020. Perundingan dipimpin oleh Indonesia, tepatnya oleh Dirjen Perundingan dan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan. Indonesia ditunjuk secara aklamasi oleh 15 negara peserta lainnya sebagai Ketua Komite Perundingan RCEP, yang sekaligus juga sebagai Koordinator ASEAN. Perundingan panjang yang menguras waktu, tenaga, dan pikiran akhirnya berhasil menemukan kesepakatan dan tiba pada momen penandatanganan pada tanggal 15 November 2020. Oleh karena India memutuskan untuk mundur di penghujung perundingan, maka penandatanganan dilakukan hanya oleh 15 negara.


Proses panjang perundingan diisi dengan berbagai tantangan kepentingan yang berbeda dari 16 anggotanya. Sebagaimana diketahui, beberapa negara peserta RCEP masih masuk dalam kategori negara dengan pembangunan ekonomi yang kurang berkembang, yaitu Kamboja, Laos, dan Myanmar, serta ada pula negara berkembang (mayoritas). Namun sebaliknya terdapat pula Mitra FTA yang masuk kategori negara maju, yaitu Jepang, Korea, Australia, dan Selandia Baru. Kesepakatan di berbagai area yang dirundingkan dapat tercapai setelah mempertimbangkan berbagai tantangan dari semua negara tersebut. Sejumlah fleksibilitas dan pengecualian, tapi tanpa side-letter, terpaksa ditempuh untuk mencapai konsensus bersama. Maka dari itu, dapat dipahami bahwa Perjanjian RCEP berbeda dengan Perjanjian Trans Pacific Partnership (TPP, sekarang menjadi Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership, disingkat CPTPP karena AS keluar dari Perjanjian TPP yang telah disepakati bersama). Standar kualitas dan ambisi RCEP disepakati bersama oleh 15 negara peserta, sedangkan TPP atau CPTPP sudah sejak awal ditetapkan oleh AS, selain itu perbedaan yang muncul juga diatasi dengan penerbitan side-letter.


Perjanjian RCEP

Setelah ditandatangani pada tanggal 15 November 2020 lalu, dokumen Perjanjian RCEP secara lengkap telah dapat diunduh di website Sekretariat ASEAN. Perjanjian ini merupakan perjanjian FTA ASEAN yang paling komprehensif, tebalnya 14.367 halaman, terdiri dari 20 Bab, 21 Lampiran Teks Perjanjian, dan 4 Lampiran Komitmen Perjanjian. Dua puluh Bab RCEP tersebut adalah:

  1. Ketentuan Awal dan Definisi Umum (Initial Provisions and General Definitions);

  2. Perdagangan Barang (Trade in Goods);

  3. Ketentuan Asal Barang, termasuk bagian tambahan tentang Aturan Khusus Produk (Rules of Origin);

  4. Prosedur Kepabeanan dan Fasilitasi Perdagangan (Customs Procedures and Trade Facilitation);

  5. Sanitasi dan Standar Phytosanitary (Sanitary and Phytosanitary Measures);

  6. Standar Teknis dan Prosedur Penilaian (Standards, Technical Regulations and Conformity Assessment);

  7. Instrumen Perlindungan terhadap perdagangan tidak sehat (Trade Remedies);

  8. Perdagangan Jasa, termasuk bagian tambahan tentang Jasa Keuangan, Telekomunikasi, dan Layanan Profesional (Trade in Services including Annexes on Financial, Telecommunication and Professional Services);

  9. Pergerakan Manusia (Movement of Natural Persons);

  10. Investasi (Investment);

  11. Kekayaan Intelektual (Intellectual Property);

  12. Perdagangan Online (Electronic Commerce);

  13. Kompetisi (Competition);

  14. Usaha Kecil dan Menengah atau UKM (Small and Medium Enterprises);

  15. Kerja Sama Ekonomi dan Teknis (Economic and Technical Cooperation);

  16. Proses Pengadaan oleh Pemerintah (Government Procurement);

  17. Ketentuan Umum dan Pengecualian (General Provisions and Exceptions);

  18. Hukum dan Kelembagaan (Institutional Provisions);

  19. Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement); dan

  20. Ketentuan Akhir (Final Provisions).


Sementara itu, komitmen masing-masing anggota RCEP terkait akses pasar Barang, Jasa, Investasi, dan Pergerakan Manusia (Goods, Services, Investment dan Movement of Natural Persons/MNP) tertuang dalam empat Lampiran Perjanjian RCEP tersebut, yaitu:

  1. Daftar Komitmen Tarif (Schedules of Tariff Commitments);

  2. Daftar Komitmen Khusus untuk Jasa (Schedules of Specific Commitments on Services);

  3. Daftar Syarat dan Peraturan Penyesuaian untuk Jasa dan Investasi (Schedules of Reservations and Non-Conforming Measures for Services and Investment); dan

  4. Daftar Komitmen Khusus dan Pergerakan Sementara Manusia (Schedules of Specific Commitments on Temporary Movement of Natural Persons).

Perlu dipahami bahwa Perjanjian mega FTA ini bukanlah perjanjian yang dibangun dari tiada. RCEP dibangun dari fondasi hubungan FTA yang telah dimiliki oleh ASEAN dengan masing-masing mitranya. Termasuk hubungan FTA yang telah dimiliki oleh sesama mitra, misalnya bilateral FTA antara Jepang dengan India, atau Australia dengan Selandia Baru (Tabel 1). Meski demikian, pencapaian komitmen dalam konteks mega FTA RCEP tidaklah mudah, baik bagi negara anggota ASEAN maupun bagi beberapa mitra yang telah memiliki hubungan FTA. Saling memberikan komitmen yang sama ke sesama negara peserta RCEP menjadi tantangan yang luar biasa. Ini merupakan tantangan terbesar yang dihadapi India, sehingga saat ini belum dapat bergabung dalam RCEP. Bagi Indonesia dan bagi beberapa negara anggota ASEAN lainnya, memberikan komitmen yang sama kepada seluruh mitranya juga memiliki kesulitan tersendiri karena tingkat sensitivitas terhadap masing-masing mitra FTA tersebut yang memang berbeda-beda. Padahal Indonesia sadar betul bahwa 14 anggota RCEP lain adalah pasar dari sekitar 60% ekspor Indonesia, dengan nilai antara USD 85 miliar sampai USD 100 miliar; dan 65% impor Indonesia juga berasal dari wilayah tersebut.


Tabel 1. Status Hubungan FTA Di antara Negara Anggota RCEP

Status Hubungan FTA Di antara Negara Anggota RCEP

Potensi/Kajian Manfaat RCEP

Pembukaan Akses Pasar

Sejak awal menyepakati inisiatif ini, ASEAN telah menyadari bahwa tambahan manfaat ekonomi dari pembukaan pasar barang RCEP bagi ASEAN tidak terlalu signifikan, karena manfaatnya sebagian besar telah dinikmati melalui perjanjian FTA yang sudah ada (5 ASEAN+1FTAs: ASEAN-China FTA, ASEAN-Japan CEP, ASEAN-Korea FTA, ASEAN-India FTA, ASEAN-Australia-New Zealand FTA). Tambahan yang diharapkan adalah pembukaan akses pasar yang belum terbuka melalui ASEAN+1FTAs, spill-over effect dari terbukanya pasar antara sesama mitra FTA, maupun bilateral FTA masing-masing negara RCEP dengan non-RCEP (seperti dilaporkan dalam kajian BP3-Kemendag dan CIPS), serta efisiensi perdagangan antara negara anggota melalui mekanisme kumulasi dengan disepakatinya Rules of Origin (ROO), dan skema fasilitasi perdagangan RCEP serta provisi-provisi lainnya.


Mendorong Masuknya Penanaman Modal Asing (PMA)

Perjanjian ini diharapkan akan mendorong tumbuhnya PMA di sektor industri baru yang potensial dalam memanfaatkan kawasan RCEP yang memiliki populasi 2,2 milyar manusia dan selanjutnya juga berpotensi menjadi kawasan global (rantai pasok domestik dan global). Bila hanya mengandalkan industri dan pebisnis yang ada, peluang RCEP tidak mungkin dapat dimanfaatkan secara maksimal. Untuk itu, negara yang akan mampu memanfaatkan peluang ini adalah negara yang memiliki rezim investasi dan ketersediaan/dukungan infrastruktur yang lebih menguntungkan bagi para investor. Apabila dikaitkan dengan perkembangan industri akhir-akhir ini yang mengarah ke otomasi dan Revolusi Industri 4.0, terlebih setelah mengalami pandemi Covid-19 yang hingga kini belum usai, investor akan melirik negara anggota RCEP yang paling siap dalam pengembangan 4th Industrial Revolution dan perdagangan e-commerce. Rashmi Banga (UNCTAD, 2020) berpandangan bahwa ASEAN mempunyai peluang di sektor industri digital, sehingga upaya meningkatkan daya saing dapat memaksimalkan manfaat RCEP. Sebagaimana yang disepakati dalam Bab Electronic Commerce bahwa pemerintah masih tetap memiliki ruang untuk mengelola kebijakan pengembangan industri ini, khususnya apabila terkait sektor publik. Keberhasilan negara mengembangkan ekonomi digital yang juga memberi peluang bagi UMKM (usaha kecil, usaha pertanian, individu-individu kreatif dari pelosok) dan bagi berkembangnya factory sharing economy, akan memampukan negara seperti Indonesia memasok kebutuhan pasar RCEP dengan populasi berjumlah 2,25 milyar manusia.


Kajian Manfaat RCEP

Manfaat RCEP, sebagaimana diuraikan di atas, secara kuantitatif digambarkan melalui beberapa kajian yang menggunakan berbagai model simulasi. Saat proses perundingan pada tahun 2016, Kementerian Perdagangan cq Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) membahas modalitas liberalisasi RCEP dan melakukan kajian menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE) (Rakhman, 2016). RCEP memberikan dampak pada peningkatan kesejahteraan, namun pada saat yang bersamaan meningkatkan defisit perdagangan Indonesia dengan negara RCEP lain. Saat itu disarankan agar Indonesia menguatkan kemampuannya dalam memanfaatkan Regional Value Chain (RVC) RCEP mengingat sebanyak 6.050 pos tarif (barang dagang) Indonesia memiliki keterkaitan kuat dalam hal ekspor dan impor ke dan dari kawasan RCEP. Pada tahun 2019, Indonesia cq Kementerian Keuangan mengkaji kembali dampak RCEP bagi perekonomian Indonesia menggunakan model CGE. Hasilnya menunjukkan bahwa dampak RCEP terhadap peningkatan produk domestik bruto (PDB) Indonesia selama periode 2021 – 2032 hanya 0,05%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang akan didapatkan oleh negara RCEP lainnya, seperti Vietnam 0,66%, Korea 0,51%, Malaysia 0,35% dan Thailand 0,21% (Nugroho, 2020). Namun, tidak ada pilihan bagi Indonesia selain tetap bergabung di RCEP dan melakukan upaya penyesuaian struktural untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing, karena kajian ini menunjukkan bahwa apabila Indonesia memilih untuk berada di luar RCEP, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB) menjadi -0,07%.


Kajian terbaru yang dilakukan oleh Ira Aprilianti (2019) dengan menggunakan model a stochastic gravity menunjukkan bahwa spill-over effect dari FTA yang dimiliki anggota RCEP dengan negara non-RCEP berpotensi meningkatkan ekspor Indonesia sebesar 7,2% melalui perluasan peran Indonesia dalam Rantai Pasok Global. Bahkan lima tahun setelah implementasi peningkatan ekspor bisa mencapai 8 – 11% dan investasi meningkat 18 – 22%. Sementara itu, terdapat kajian lain yang dilakukan oleh Rashmi Banga (UNCTAD, 2020) dengan menggunakan model yang berbeda, yaitu SMART Simulations in World Integrated Trade Solutions oleh Bank Dunia dan UNCTAD. Kajian tersebut menyimpulkan bahwa manfaat RCEP bagi negara-negara anggota ASEAN tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan yang akan didapatkan oleh negara-negara Mitra, karena pembukaan pasar sudah dilakukan dalam ASEAN+1 FTAs. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa saat RCEP mulai diimplementasikan, sebagian besar negara anggota ASEAN, khususnya Kamboja, Malaysia, Myanmar, Thailand, Vietnam, dan Laos akan mengalami lonjakan impor yang mengakibatkan defisit perdagangan yang cukup besar (terutama bagi Malaysia, Kamboja, dan Vietnam). Oleh karena itu, tambahan manfaat bagi negara anggota ASEAN hanyalah dari pemanfaatan Rantai Nilai Domestik yang tentu akan terhubung dengan Rantai Nilai Global. Namun tantangannya adalah bagaimana negara-negara ASEAN mampu membangun produsen dan eksportir yang efisien yang dapat mengimbangi efisiensi yang dimiliki oleh RRT. Selain di bidang perdagangan barang, peluang ekonomi ASEAN juga ada pada sektor industri digital.


Kata kunci dari keempat kajian tersebut, apabila Indonesia dan negara ASEAN lainnya ingin mendapat manfaat ekonomi yang nyata dari RCEP, adalah pentingnya melakukan penyesuaian struktural dan kebijakan untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional.



Pengembangan Ekonomi di Masa Depan

Mengingat basis pengembangan RCEP adalah ASEAN + 1FTAs (ASEAN-China FTA, ASEAN-Japan FTA, ASEAN-Korea FTA, ASEAN-India FTA, dan ASEAN-Australia-New Zealand FTA), hampir dapat dipastikan bahwa di awal-awal implementasi, pemanfaatan 2,2 milyar pasar RCEP dengan menggunakan skema yang disepakati di RCEP, tidak akan mengalami lonjakan tajam atau belum signifikan. Para pebisnis atau eksportir yang ada akan tetap menggunakan skema FTA yang ada selama ini, kecuali untuk negara-negara RCEP yang belum memiliki bilateral FTA atau untuk produk-produk yang baru ditawarkan pada skema RCEP. Faktor tersebut kemungkinan besar tidak diperhitungkan dalam kajian Rashmi Banga (UNCTAD) (2016) yang menunjukkan hasil bahwa sebagian besar negara anggota ASEAN akan mengalami lonjakan impor segera setelah RCEP diimplementasikan. Perkiraan lonjakan impor yang mungkin terjadi segera setelah RCEP diimplementasikan adalah di negara Mitra FTA yang belum memiliki FTA satu sama lain (Jepang versus RRT dan Korea).


RCEP justru membuka kesempatan bagi seluruh anggotanya untuk berlomba mengembangkan industri yang dirancang untuk memanfaatkan RCEP (satu negara vs 14 negara). Apalagi bila dikaitkan dengan situasi pandemi Covid-19 yang belum dapat diprediksi kapan akan berakhir serta tekanan ekonomi dunia yang diakibatkannya, hampir dapat dipastikan bahwa industri yang memiliki potensi besar dalam RCEP untuk dikembangkan adalah industri yang berorientasi digital dan berorientasi Revolusi Industri 4.0. Demikian halnya dengan transaksi perdagangan, tidak dapat dihindari lagi bahwa transaksi perdagangan, baik ekspor maupun impor akan dilakukan melalui elektronik atau e-Commerce.


Oleh karena itu, kata kunci untuk memastikan RCEP bermanfaat bagi Indonesia, selain peningkatan daya saing dari industri, adalah memastikan masuknya investor, baik dari dalam (PMDN) maupun luar negeri (PMA) di sektor riil industri manufaktur, khususnya industri berorientasi digital dan berorientasi Revolusi Industri 4.0. Untuk itu, investor yang telah menguasai dan mengetahui pengembangan regional rantai pasok/nilai yang menjanjikan akan memasuki negara dengan kondisi infrastruktur konektivitas (fisik maupun regulasi) yang sudah dan siap terhubung dengan kawasan RCEP dan global. Menurut Ira Aprilianti (2019), peningkatan investasi akan signifikan (18 - 22%) lima tahun setelah RCEP diimplementasikan.


Penyesuaian Struktural dan Kebijakan

Sebagaimana direkomendasikan oleh berbagai studi terkait dampak RCEP bagi perekonomian Indonesia, kebijakan atau penyesuaian struktural perlu segera disiapkan dan diimplementasikan agar Indonesia dapat memanfaatkan peluang RCEP secara maksimal di masa yang akan datang. Pemerintah sangat menyadari bahwa kunci keberhasilan dalam memanfaatkan peluang RCEP bagi kemajuan perekonomian Indonesia adalah dengan peningkatan daya saing nasional yang berdampak pada daya saing industri nasional yang sudah ada dan pada daya tarik lingkungan investasi untuk menarik masuknya investasi yang bergerak di sektor industri berorientasi digital dan Revolusi Industri 4.0.


Langkah tersebut, selain sangat sejalan, juga merupakan momentum dalam upaya pemulihan ekonomi dalam jangka panjang yang harus dijalankan secara sungguh-sungguh, cerdas, komprehensif, dan berkesinambungan. Pandemi Covid-19 ini harus menjadi titik balik bagi Indonesia agar langkah-langkah pemulihan ekonomi ke depan menjadi langkah yang bersifat menopang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan hingga dapat membawa Indonesia ke level perekonomian yang lebih baik.


Pembangunan perekonomian, melalui pembangunan dan pengembangan daya saing dengan mendorong pertumbuhan sektor industri bernilai tambah dan berteknologi dalam konteks Revolusi Industri 4.0, perlu dijadikan prioritas secara nasional sebagai bagian dari pemulihan ekonomi. Hal tersebut sebaiknya masuk dalam kategori mendesak agar permintaan dalam dan luar negeri, khususnya dari negara-negara RCEP dan kawasan sekitarnya yang diperkirakan akan meledak pasca pandemi Covid-19, dapat terpenuhi.



Catatan

*Donna Goltum (Penulis) adalah negosiator pada perundingan RCEP, 2013-Juni 2020, Senior Fellow, CIPS dan Board Adviser, S. ASEAN International Advocacy and Consultancy



Referensi

Aprilianti, I. 2019. Will RCEP be beneficial for Indonesia?. Australian National University. Diambil dari: https://www.researchgate.net/publication/341803498_Will_RCEP_be_beneficial_for_Indonesia


Banga, R. 2020. RCEP: Economic Implications for the ASEAN Countries. Unit on Economic Cooperation and Integration among Developing Countries (ECIDC), GDS, UNCTAD.


Nugroho, A. 2020. Peluang dan Tantangan RCEP. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.


Rakhman, N. 2016. Posisi dan Potensi Indonesia dalam Global Value Chain (GVC) di Kawasan RCEP. Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3), Kementerian Perdagangan.



30 tampilan

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page