Perjanjian Perdagangan Bebas UE-Indonesia: Cetak Biru Perdagangan yang Tangguh
- Center for Indonesian Policy Studies

- 9 Des
- 6 menit membaca
Setelah lebih dari sembilan tahun melalui proses negosiasi, tercapainya kesepakatan perdagangan bebas menjadi kabar baik di tengah dinamika geopolitik yang merombak pola perdagangan global. Dengan Uni Eropa (UE) yang tengah berupaya memperluas rantai pasoknya, Indonesia—sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara—menawarkan akses yang sangat penting: dari sumber daya alam yang strategis, penduduk muda yang melek teknologi, hingga pasar yang berkembang pesat.
Pada 23 September, Indonesia dan Uni Eropa (UE) secara resmi menandatangani Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-UE (Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement atau IEU-CEPA). Perjanjian ini menjadi tonggak penting dalam hubungan dagang kedua pihak. Sebagai perjanjian besar antara UE dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, IEU-CEPA akan membawa dampak yang tidak hanya dirasakan Indonesia dan UE saja. Secara global, perjanjian ini dapat menjadi contoh bagaimana negara maju dan negara berkembang dapat menyelaraskan standar di bidang data, keberlanjutan, dan perlindungan investasi, seiring dengan rantai pasok global yang terus beradaptasi dengan perubahan geopolitik dan kebijakan iklim.
Meski telah ditandatangani, IEU-CEPA belum berlaku. Kesepakatan ini masih harus diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia, Parlemen Eropa, dan Dewan UE. Setelah itu, Indonesia dan UE perlu menyiapkan rencana aksi dan regulasi yang detail agar perjanjian dapat diterapkan sepenuhnya pada 2027. Jika nanti sudah berjalan, IEU-CEPA dapat mendorong Indonesia ke segmen manufaktur dan jasa yang lebih bernilai tinggi.
Sementara itu, perusahaan-perusahaan Eropa akan memiliki pijakan akses usaha yang lebih luas dan teratur di kawasan Indo-Pasifik. Perjanjian ini juga dapat menggenjot perdagangan, membuka investasi industri dan infrastruktur yang lebih ramah lingkungan, serta mengurangi risiko kebijakan. Dengan kata lain, IEU–CEPA membantu kedua pihak mengurangi risiko tanpa harus “memutus hubungan dagang” di tengah kompetisi ekonomi global yang makin ketat.
Isu perjanjian dagang biasanya tidak lama menjadi sorotan pemberitaan. Prosesnya berlangsung di ruang-ruang tertutup, bahasanya berat, dan penuh singkatan. Demikian juga dengan IEU-CEPA: butuh sembilan tahun hingga akhirnya perjanjian ini rampung. Negosiasinya dimulai pada 2016, saat hubungan Indonesia-UE memanas perkara akses pasar minyak sawit dan aturan deforestasi. Ketika pemerintahan Trump menerapkan tarif tinggi yang mengguncang rantai pasok global, kedua pihak terdorong untuk mempercepat proses negosiasi. Negosiasi yang awalnya hanya menyangkut sawit, hambatan dagang biodiesel, dan aturan deforestasi UE perlahan melebar ke topik yang lebih luas.
Pembahasannya tidak hanya menyentuh soal tarif, tetapi juga komponen-komponen teknis yang menjadi fondasi perdagangan modern, ketentuan asal barang (rules of origin), perdagangan jasa, perlindungan investasi, hingga keberlanjutan. Perjanjian ini juga meliputi dukungan pengembangan kapasitas agar perusahaan dan petani kecil dapat benar-benar memenuhi aturan yang disepakati. Memang, penghapusan sebagian besar tarif sekilas tampak sebagai capaian besar perjanjian ini. Namun, manfaat paling penting justru berasal dari sistem baru yang membuat operasional perdagangan menjadi lebih lancar, ramah lingkungan, dan memiliki kepastian.
Kita lihat dari bagian yang paling sederhana. Menurut rancangan perjanjian, UE akan membebaskan tarif untuk lebih dari 98% produk Indonesia setelah perjanjian berlaku. Indonesia akan menghapus tarif untuk sekitar 80% produk Uni Eropa, dan menurunkan sisanya secara bertahap dalam beberapa tahun. Angka ini memang besar, tetapi sudah lazim dalam kesepakatan dagang modern. Yang paling politis dari perjanjian perdagangan ini bukanlah bagian yang disepakati, tetapi justru bagian yang sengaja tidak disepakati. Indonesia kemungkinan tetap menjaga kepentingannya pada komoditas pertanian yang sensitif, seperti beras dan gula, sementara UE juga menjaga kepentingannya pada produk seperti daging sapi dan susu. Pengecualian-pengecualian seperti ini bukanlah masalah; justru itulah yang membuat diplomasi perdagangan bisa terus berjalan lancar.
Lebih dari Sekadar Tarif: Standar, Sektor Jasa, dan Biaya akibat Hambatan Perdagangan
Karena tarif di seluruh dunia sudah banyak diturunkan, hambatan nontarif—seperti standar, perizinan, dan aturan data—kini menjadi tantangan utama dalam perdagangan. IEU-CEPA tidak hanya menurunkan tarif, tetapi juga mendorong kerja sama regulasi dan membuka akses sektor jasa. Indonesia menawarkan akses baru yang cukup signifikan di sektor keuangan, telekomunikasi, dan transportasi. Sementara itu, UE membuka akses lebih luas ke pasar pengadaan publiknya. Hal-hal seperti ini mungkin terdengar abstrak, tetapi lebih mudah dipahami jika dibawa ke contoh nyata; misalnya, sebuah perusahaan logistik Eropa ingin beroperasi di kota pelabuhan di Jawa, atau perusahaan rekayasa Indonesia ingin ikut tender proyek pemerintah di Eropa. Manfaat dari penurunan tarif sebesar 1% tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan keuntungan berkat kemudahan operasional, perekrutan pekerja, dan pembayaran tanpa hambatan.
Ketentuan asal barang (rules of origin) adalah area di mana teori perdagangan harus menyesuaikan dengan realitas produksi yang kompleks. Bagian ini menjadi salah satu isu penting yang belum sepenuhnya disepakati. Kuncinya adalah menemukan ketentuan yang fleksibel. Di antara usulan-usulan yang dibahas, ada rencana untuk menetapkan tingkat kandungan regional sekitar 40 persen pada sebagian besar produk industri. Usulan ini juga mencakup penerapan aturan “kumulasi”, yang memperbolehkan bahan dari negara ASEAN lain tetap dihitung sebagai bagian asal produk.
Dalam bahasa sederhana: sepatu yang dirakit di Indonesia dengan bahan kain dari Vietnam masih bisa mendapatkan perlakuan tarif khusus. Hal ini penting karena rantai pasok pada dasarnya adalah jaringan yang rumit dan terus beradaptasi. Karena itu, dibutuhkan aturan yang memberi fleksibilitas bagi perusahaan untuk memilih bahan baku sesuai kebutuhan, tetapi tetap bisa menikmati fasilitas perdagangan. Bagi pengusaha mebel kecil di Indonesia atau usaha kecil dan menengah (UKM) di Eropa, sistem dokumentasi elektronik yang lebih sederhana dan mekanisme sertifikasi mandiri (self-certification)—keduanya masuk dalam usulan IEU-CEPA—dapat menjadi penentu apakah mereka akan bisa mengekspor atau tidak.
Modal, Pengadilan, dan Barang Publik
Investasi adalah “mesin sunyi” yang menggerakkan perdagangan. Salah satu usulan dalam IEU-CEPA adalah perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa, yakni dengan mengganti perjanjian investasi bilateral Indonesia yang lama dengan Sistem Pengadilan Investasi (Investment Court System atau ICS) milik EU. Sistem pengadilan investasi permanen ini memiliki mekanisme banding. Meski model tersebut merupakan standar UE, perubahan ini cukup besar karena mengubah arsitektur hukum yang sudah berjalan. Tujuannya adalah mengurangi biaya ketidakpastian yang membebani investor jangka panjang, baik bagi perusahaan Eropa yang ingin membangun pabrik di Jawa Tengah maupun penyedia layanan kesehatan Indonesia yang ingin berekspansi ke Eropa.
Bab mengenai Perdagangan dan Pembangunan Berkelanjutan (Trade and Sustainable Development atau TSD) disusun untuk menjawab keraguan berbagai pihak, tetapi juga menjadi salah satu bagian yang paling alot dalam negosiasi. UE mendorong komitmen yang mengikat terkait hak-hak pekerja, perlindungan lingkungan, dan aksi iklim. Namun, Indonesia cukup berhati-hati karena khawatir klausul-klausul tersebut bisa berubah menjadi bentuk “proteksionisme hijau”. Salah satu bahasan yang banyak menimbulkan perdebatan adalah terkait Regulasi Bebas Deforestasi UE (EU Deforestation-Free Regulation atau EUDR).
Regulasi ini mengatur bahwa komoditas seperti minyak sawit dan kopi harus dapat ditelusuri asal-usulnya dan terbukti tidak terkait dengan deforestasi baru-baru ini. Produsen Indonesia, khususnya petani kecil, akan harus mengeluarkan biaya besar demi memenuhi persyaratan tersebut. Ada ruang kompromi yang bisa dijajaki dalam CEPA, misalnya melalui bantuan teknis dan pendanaan dari UE untuk membangun sistem ketertelusuran tersebut. Dengan demikian, isu yang semula menjadi titik perdebatan menjadi peluang kolaborasi.
Bahan Baku, Pengadaan, dan Kekayaan Intelektual: Fokus pada Solusi Praktis
Isu bahan baku menjadi salah satu perkara yang memang sejak awal diprediksi menimbulkan perbedaan pandangan. Indonesia selama ini membatasi ekspor bijih nikel demi mendorong pembangunan industri pengolahan dalam negerinya. Namun, kebijakan ini bertentangan langsung dengan kebutuhan UE akan akses terhadap bahan mentah. Isu ini begitu sensitif hingga dibawa ke WTO. UE memenangkan putusan awal, dan Indonesia kini sedang mengajukan banding. CEPA sebenarnya ingin menangani isu seperti ini melalui forum berbasis aturan, tetapi hal itu tidak mudah dicapai karena sengketanya masih diproses di jalur hukum lain. Karena itu, bab mengenai bahan baku menjadi salah satu bagian yang paling sensitif.
Sementara itu, negosiasi tentang pengadaan publik jarang disorot, padahal sangat berpengaruh. Usulan untuk membuka sebagian proses pengadaan pemerintah ditujukan agar belanja negara lebih efisien dan terjaga kualitasnya. Ketentuan tentang kekayaan intelektual juga sedang dibahas: UE menekankan pentingnya indikasi geografis, sementara Indonesia ingin memastikan kebutuhan kesehatan masyarakat tetap terlindungi, terutama akses obat-obatan. Sementara itu, dialog regulasi yang terstruktur diharapkan bisa menjadi “peringatan dini” agar potensi konflik dapat diselesaikan sebelum berkembang menjadi sengketa besar.
Pertumbuhan, Risiko, dan Kerangka Strategis
Seperti apa pertumbuhan yang bisa diharapkan? Model gravitasi menunjukkan bahwa jika perjanjian ini disepakati, peningkatan perdagangan bilateral yang cukup besar sangat mungkin terjadi, dengan potensi mencapai 15 hingga 30 persen dalam beberapa tahun. Apabila pada akhirnya perjanjian ini diratifikasi, keberhasilannya justru perlu diukur lewat hal-hal sederhana: Apakah UKM Indonesia lebih mudah menjual produk karet ke UE? Apakah penyedia jasa maritim Eropa bisa mengurus perizinan di Indonesia dengan kepastian yang lebih jelas? Apakah pabrik bahan baterai di Sulawesi bisa menarik investasi UE karena mampu menunjukkan asal-usul dan jejak emisinya?
Secara strategis, perjanjian ini sesuai dengan momentum saat ini. Bagi Eropa, IEU-CEPA menjadi bagian penting dari strategi Indo-Pasifik dan upaya mereka untuk memperluas rantai pasoknya. Bagi Indonesia, perjanjian ini akan membuka peluang untuk menghubungkan agenda industrialisasinya dengan pasar yang memiliki standar tinggi. Di tengah dinamika geopolitik dan kebijakan iklim yang turut mewarnai pola perdagangan dunia, kesepakatan ini bisa membantu mengelola dampaknya secara lebih konstruktif. Dengan berinvestasi pada hal-hal mendasar—seperti komite, dokumentasi, dan aturan yang jelas—serta visi jangka panjang, IEU-CEPA berpeluang menciptakan hubungan dagang yang lebih stabil dan dampak eksternal yang lebih terukur. Di tengah situasi global yang sering gaduh oleh perkara kurang esensial, pencapaian ini akan menjadi semakin bermakna.
Catatan :
Artikel ini ditulis oleh Poltak Hotradero dan dipublikasikan oleh Friedrich Naumann Foundation. CIPS menerjemahkan dan menggunakannya untuk tujuan pendidikan sebagai referensi bacaan tambahan mahasiswa dalam CIPS Learning Hub Teaching Toolkit. Artikel ini tidak mencerminkan pandangan CIPS.








Komentar