Perdagangan Internasional
- Center for Indonesian Policy Studies

- 9 Des
- 5 menit membaca
Perdagangan internasional adalah transaksi ekonomi yang dilakukan antarnegara. Barang-barang yang biasa diperdagangkan meliputi barang konsumsi, seperti televisi dan pakaian; barang modal, seperti mesin; serta bahan baku dan makanan. Selain itu, ada juga perdagangan jasa, misalnya biro perjalanan atau pembayaran untuk paten dari negara lain (lihat industri jasa). Transaksi perdagangan internasional difasilitasi oleh sistem pembayaran keuangan internasional. Dalam transaksi ini, sistem bank swasta dan bank sentral di negara-negara yang berdagang memainkan peran penting.
Perdagangan internasional, termasuk transaksi keuangan di dalamnya, biasanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan suatu negara akan komoditas yang tidak cukup tersedia di dalam negeri. Komoditas tersebut kemudian ditukar dengan komoditas lain yang diproduksi di luar negeri dalam jumlah besar. Dengan dukungan kebijakan ekonomi lainnya, transaksi ini dapat membantu meningkatkan taraf hidup suatu negara. Sebagian besar sejarah modern hubungan internasional membahas upaya negara-negara untuk mendorong perdagangan yang lebih bebas. Artikel ini memberikan ringkasan sejarah struktur perdagangan internasional serta lembaga-lembaga utama yang berkembang dalam mendukung perdagangan tersebut.
Ringkasan Sejarah
Pertukaran (barter) barang atau jasa antarkelompok masyarakat sudah dilakukan sejak zaman dahulu, bahkan mungkin sejak awal sejarah manusia. Namun, yang disebut dengan perdagangan internasional secara khusus adalah pertukaran yang terjadi antarmasyarakat dari negara yang berbeda. Catatan dan teori tentang perdagangan internasional baru berkembang seiring dengan terbentuknya bangsa-bangsa modern pada akhir Abad Pertengahan Eropa (walaupun sebelumnya sudah ada bahasan tentang hal ini, tetapi belum menyeluruh dan tertata). Ketika para pemikir dan filsuf politik mulai mempelajari sifat dan fungsi negara, perdagangan antarnegara menjadi salah satu topik yang penting dalam diskusi mereka. Itulah sebabnya pemikiran-pemikiran awal tentang fungsi perdagangan internasional dapat ditemukan dalam aliran pemikiran yang sangat nasionalis, yang kini dikenal sebagai merkantilisme.
Pada abad ke-16 dan ke-17, merkantilisme menjadi aliran ekonomi paling berpengaruh di Eropa. Pemikiran ini berfokus pada kesejahteraan suatu negara. Aliran ini meyakini bahwa kekayaan, terutama dalam bentuk emas, adalah hal yang paling penting dalam kebijakan nasional. Para pendukung merkantilisme menganggap nilai emas sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi; sehingga mereka tidak merasa perlu menjelaskan mengapa emas menjadi prioritas tertinggi dalam perencanaan ekonomi mereka.
Merkantilisme didasari keyakinan bahwa kepentingan antarnegara pasti saling berbenturan—bahwa jika satu negara untung dalam perdagangan, negara lain pasti dirugikan. Cara pandang ini mendorong pemerintah untuk menetapkan kontrol harga dan upah, mendukung industri dalam negeri, mendorong ekspor barang jadi dan impor bahan baku, sembari membatasi ekspor bahan mentah dan impor barang jadi. Negara juga berupaya memberi warganya hak monopoli atas sumber daya dan jalur perdagangan dengan para koloninya.
Kebijakan perdagangan yang lahir dari filosofi merkantilisme pada dasarnya cukup sederhana: mendorong ekspor, menekan impor, dan menukar hasil surplus ekspor tersebut dalam bentuk emas. Gagasan para pendukung merkantilisme sering kali dangkal secara intelektual. Bahkan, kebijakan perdagangan mereka kemungkinan besar hanya menjadi cara untuk membenarkan kepentingan kelompok pedagang yang sedang naik daun—yang ingin memperluas pasar melalui ekspor, tetapi pada saat yang sama ingin dilindungi dari persaingan barang impor.
Salah satu contoh bentuk merkantilisme adalah Undang-Undang Navigasi (Navigation Act) Inggris tahun 1651. Undang-undang ini menetapkan bahwa hanya Inggris yang boleh berdagang dengan wilayah koloninya, serta melarang masuknya barang-barang dari luar Eropa kecuali diangkut oleh kapal yang mengibarkan bendera Inggris. Aturan ini berlaku hingga 1849. Kebijakan serupa juga diterapkan di Prancis.
Pemikiran-pemikiran yang menentang pandangan-pandangan merkantilis mulai muncul pada pertengahan abad ke-18. Di Prancis, para ekonom yang dikenal sebagai Fisiokrat menuntut kebebasan dalam produksi dan perdagangan. Di Inggris, seorang ekonom bernama Adam Smith, dalam bukunya The Wealth of Nations (1776), menjelaskan manfaat yang bisa diperoleh jika hambatan perdagangan dihapus. Para ekonom dan pelaku usaha juga makin lantang menolak bea masuk yang terlalu tinggi dan kerap menghambat perdagangan.
Mereka mendesak pemerintah untuk membuat perjanjian perdagangan dengan negara lain. Perubahan pola pikir ini mendorong lahirnya berbagai perjanjian yang mencerminkan gagasan liberal baru tentang perdagangan, salah satunya Perjanjian Inggris-Prancis (Anglo-French Treaty) 1786, yang mengakhiri “perang ekonomi” antara dua negara tersebut.
Setelah Adam Smith, prinsip-prinsip dasar merkantilisme tidak lagi dianggap sesuai. Namun, bukan berarti negara-negara langsung meninggalkan semua kebijakan merkantilis. Kebijakan ekonomi yang membatasi perdagangan masih diterapkan, dengan alasan bahwa pemerintah perlu menahan masuknya barang asing—hingga batas tertentu—untuk melindungi produksi dalam negeri dari persaingan luar. Karenanya, pemerintah makin banyak memberlakukan bea masuk sebagai pengganti larangan impor total, yang perlahan mulai ditinggalkan.
Pada pertengahan abad ke-19, kebijakan bea masuk yang bersifat protektif banyak melindungi perekonomian nasional dari persaingan luar negeri. Tarif Prancis tahun 1860, misalnya, menetapkan bea yang sangat tinggi pada produk asal Inggris: 60 persen untuk besi mentah (pig iron), 40 hingga 50 persen untuk mesin, dan 600 hingga 800 persen untuk selimut wol. Mahalnya biaya transportasi antarkedua negara juga menambah perlindungan bagi industri dalam negeri.
Salah satu bentuk keberhasilan liberalisme adalah disepakatinya perjanjian perdagangan Inggris-Prancis tahun 1860. Perjanjian ini menetapkan bahwa bea protektif Prancis harus diturunkan menjadi maksimal 25 persen dalam kurun waktu lima tahun, sementara Inggris membuka bebas masuknya semua produk Prancis, kecuali anggur. Setelah perjanjian ini, berbagai perjanjian perdagangan lain di Eropa pun menyusul.
Kebangkitan Kebijakan Proteksionisme
Dukungan terhadap proteksionisme kembali menyebar di negara-negara Barat pada akhir abad ke-19. Jerman menerapkan kebijakan proteksionis secara sistematis. Dalam waktu singkat, banyak negara lain mengikuti langkah tersebut. Tak lama setelah 1860, pada masa Perang Saudara, Amerika Serikat menaikkan tarif impor secara drastis; Undang-Undang Tarif McKinley (McKinley Tariff Act) tahun 1890 diperkenalkan sebagai kebijakan yang ultraproteksionis. Inggris menjadi satu-satunya negara yang bertahan dengan prinsip perdagangan bebas.
Namun, tingkat proteksionisme pada seperempat akhir abad ke-19 ini masih relatif ringan jika dibandingkan dengan kebijakan merkantilis abad ke-17 maupun yang kembali muncul di masa antara dua perang dunia. Pada 1913, kebebasan ekonomi justru semakin meluas. Restriksi kuantitatif hampir tidak ada lagi, sementara bea masuk relatif rendah dan stabil. Mata uang dapat ditukar dengan emas secara bebas sehingga emas menjadi mata uang internasional yang lazim digunakan. Masalah neraca pembayaran pun relatif sedikit.
Pada masa itu, orang yang ingin pindah dan bekerja di negara lain bisa melakukannya dengan sangat mudah; mereka dapat membuka usaha, berdagang, atau menanamkan modal dengan bebas. Secara umum, negara-negara memberikan peluang yang setara untuk bersaing, kecuali perlakuan tarif khusus yang biasanya berlaku antara negara penjajah dan koloninya. Perdagangan di negara-negara Barat pada 1913 jauh lebih bebas daripada di Eropa pada 1970.
Merkantilisme “Baru”
Perang Dunia I mengacaukan tatanan perdagangan yang sebelumnya sudah berjalan secara teratur. Ketika perang berakhir, perdagangan dunia sudah sangat terganggu sehingga pemulihannya menjadi sulit. Lima tahun pertama pascaperang diwarnai oleh upaya untuk mencabut berbagai kebijakan pengendalian ekonomi yang diberlakukan selama masa perang. Namun, perlambatan ekonomi pada 1920, ditambah keuntungan dagang yang dinikmati negara-negara dengan mata uang yang melemah (seperti Jerman), mendorong banyak negara kembali memberlakukan pembatasan perdagangan baru. Proteksionisme pun menyebar luas dalam perekonomian dunia. Hal ini bukan karena pembuat kebijakan sengaja mengikuti teori tertentu, tetapi karena dorongan ideologi nasionalis dan tekanan kondisi ekonomi saat itu. Untuk menghentikan kenaikan tarif yang tak ada habisnya, Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) menyelenggarakan Konferensi Ekonomi Dunia (World Economic Conference) pertama pada Mei 1927. Sebanyak 29 negara, termasuk negara-negara industri besar, menandatangani sebuah kesepakatan internasional yang merupakan perjanjian perdagangan multilateral paling terperinci dan adil pada masanya. Perjanjian ini menjadi pendahulu bagi berbagai kesepakatan yang dibuat di bawah Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade atau GATT) tahun 1947.

Konferensi Liga Bangsa-Bangsa pada sekitar 1930
Central Press/Hulton Archives/Getty Images
Meski begitu, perjanjian tahun 1927 tersebut hampir tidak membawa dampak apa-apa. Pada masa Depresi Besar (Great Depression) tahun 1930-an, tingkat pengangguran di banyak negara besar mencapai titik tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan situasi ini memicu lahirnya gelombang kebijakan proteksionis. Banyak negara berupaya memperbaiki neraca pembayarannya dengan menaikkan tarif impor, menerapkan kuota impor, dan bahkan memberlakukan larangan impor, yang disertai dengan pengendalian valuta asing.
Mulai tahun 1933, rekomendasi dari berbagai konferensi ekonomi pascaperang yang berlandaskan prinsip-prinsip dasar liberalisme ekonomi diabaikan. Perencanaan perdagangan luar negeri mulai dipandang sebagai fungsi normal dari negara. Kebijakan-kebijakan merkantilis kembali mendominasi hingga berakhirnya Perang Dunia II. Setelah itu, perjanjian perdagangan dan organisasi internasional mulai mengambil peran utama dalam mengelola dan mendorong perdagangan internasional.









Komentar