Perbaikan Kemudahan Berusaha Tekan Dampak Tarif Resiprokal Amerika Serikat
- Center for Indonesian Policy Studies
- 15 Apr
- 2 menit membaca
Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat (AS) berpotensi memberikan pukulan telak bagi perekonomian Indonesia, termasuk ancaman pengurangan tenaga kerja di industri padat karya. Situasi ini menuntut tindakan tegas dari pemerintah, salah satunya, untuk segera membenahi kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) dan memberantas praktik pungutan liar yang membebani pelaku usaha untuk menekan dampak pengenaan tarif tersebut.
āPerbaikan EoDB harus menjadi prioritas utama. Upaya perbaikan EoDB memang telah dilakukan. Namun negara tetangga bergerak lebih cepat dan efektif. Indonesia perlu mengevaluasi efektivitas langkah yang ada dan melakukan terobosan signifikan untuk menarik investasi serta menekan biaya ekspor,ā jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran.
Hasran menjelaskan, untuk menghadapi tarif resiprokal Amerika Serikat, para pelaku usaha dan eksportir di Indonesia harus menjaga daya saing produknya di pasar Amerika Serikat. Mereka dapat memperkecil margin keuntungan pada titik tertentu sambil tetap menghasilkan profit.Ā
Profit pelaku usaha merupakan pengurangan antara harga jual dan biaya. Dengan menekan biaya ini, margin keuntungan dapat terjaga pada titik aman sehingga mereka bisa tetap berkompetisi di pasar Amerika Serikat walaupun ada tarif resiprokal.
āNamun pelaku usaha perlu berhati-hati dalam memangkas biaya di tengah ketidakpastian ekonomi seperti saat ini. Mengurangi biaya tenaga kerja akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) yang saat ini tidak ideal dilakukan. Selain itu, pelaku usaha juga tidak mungkin memangkas biaya bahan baku,ā tambahnya.
Hasran menambahkan, salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan memangkas biaya lainnya, seperti biaya birokrasi perdagangan dan perizinan usaha. Laporan Ease of Doing Business tahun 2019 menunjukkan, Indonesia butuh 4-5 hari untuk mengekspor.Ā
Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN+6, waktu yang dibutuhkan untuk ekspor di Indonesia merupakan yang terlama, kecuali Kamboja. Biaya ekspor untuk kontainer berukuran 20 kaki di Indonesia juga relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, kecuali Filipina.Ā
Praktik pungutan liar di berbagai lini, mulai dari pabrik hingga pelabuhan, semakin menambah beban biaya tak terduga bagi pelaku usaha. Pemerintah harus meminimalisir praktik pungli ilegal yang menghambat daya saing ekspor.
Hasran menambahkan, pemerintah juga perlu aktif melakukan diplomasi dengan Amerika Serikat, termasuk mengupayakan penundaan pemberlakuan tarif guna memberikan waktu kepada eksportir untuk melakukan diversifikasi pasar.
Data (BPS, 2025) menunjukkan, nilai ekspor Indonesia di 2024 berkontribusi sebesar 22,18% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional. Penyumbang PDB terbesar masih dipegang oleh konsumsi rumah tangga sebesar 54,4% dan penanaman modal bruto sebesar 29,15%. Sebanyak 11% dari total ekspor Indonesia ditujukan ke Amerika Serikat.
Secara sektoral, kebijakan tarif ini akan berdampak pada beberapa industri. Data Trademap menunjukkan, di tahun 2023 ekspor Indonesia ke Amerika Serikat banyak didominasi oleh produk-produk seperti Industri Elektronika dan Peralatan Listrik, Industri Tekstil dan Produk Tekstil, Industri Minyak Nabati dan Hewani, Industri Alas Kaki, Industri Karet dan Produk Karet, Industri Furniture dan Perabotan Rumah Tangga serta Industri Produk Perikanan.
Produk-produk ini sebagian besar berasal dari industri padat karya yang berarti tidak hanya neraca perdagangan saja yang akan terdampak, tapi juga berpotensi mendorong terjadinya PHK di beberapa industri penting. Beberapa industri yang dimaksud adalah tekstil dan alas kaki.
Di tengah tantangan kepercayaan publik saat ini, dampak tarif resiprokal AS terhadap Indonesia menjadi isu yang patut diwaspadai dan ditangani secara serius oleh pemerintah.
Comments