top of page

Penetapan Harga Acuan Dorong Terciptanya Pasar Beras Oplosan

Mau makan nasi malah makan hati. Lagi-lagi konsumen menjadi korban harus membayar harga mahal untuk kualitas beras yang buruk.Ā 


Kebijakan Badan Pangan Nasional yang menerbitkan aturan mengenai Fleksibilitas Harga Gabah Atau Beras Dalam Rangka Penyelenggaraan Cadangan Beras Pemerintah pada 2023 lalu dapat mendorong terciptanya pasar beras oplosan. Padahal, kebijakan perberasan perlu difokuskan pada bagaimana membuat proses produksi menjadi lebih efisien dan berkelanjutan.


ā€œTingginya ongkos produksi dan belum terbuka lebarnya akses petani terhadap sarana produksi (input) pertanian berkualitas masih menjadi persoalan yang ada dalam produksi beras nasional. Faktor lain di luar proses produksi, seperti melemahnya daya beli, fluktuasi harga bahan bakar minyak dan krisis iklim juga turut mempengaruhi,ā€ terang Peneliti dan Analis Kebijakan Publik Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Rahmad Supriyanto.


Data yang diolah Food Monitor CIPS dari PIHPS (2025) menunjukkan, harga beras di tingkat produsen terus menunjukkan kenaikan sejak Januari 2025. Harga beras di tingkat produsen naik tipis mulai Januari hingga Maret 2025 yang masing-masing sebesar Rp12.400/kilogram dan harga beras kembali naik menjadi Rp 12.550/kilogram di Juni.


Kenaikan ini, lanjutnya, seharusnya sudah bisa menjadi indikator ketersediaan beras di pasar dan mendorong pemerintah untuk bisa mempersiapkan langkah antisipasi.


ree

Sumber: PIHPS (2025)


Rahmad menambahkan, kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan juga membuat biaya pengangkutan menjadi tinggi, terlebih pada daerah yang belum memiliki infrastruktur yang memadai, seperti pelabuhan dan jalan.


Studi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) di tahun 2022 menyebut, ongkos produksi satu kilogram beras hingga panen bisa mencapai Rp4.626 sampai Rp5.026.Ā 


Studi ini mendukung studi sebelumnya dari International Rice Research Institute (IRRI), yang pada tahun 2016 menemukan bahwa ongkos produksi beras di Indonesia 2,5 kali lebih mahal dari Vietnam dan 2 kali lebih mahal dari Thailand.Ā 


Petani sempat meminta pemerintah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) sekitar Rp2.000/kilogram. Hal itu menyusul lonjakan biaya produksi yang harusĀ  mereka tanggung.Ā 


Saat ini, pemerintah memberlakukan fleksibilitas HPP gabah yang lebih mahal Rp1.000/kilogram dari HPP yang ditetapkan tahun 2023. HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani ditetapkan sebesar Rp6.500/kilogram, berlaku untuk Bulog dan swasta.Ā 


ā€œUrgensi kebijakan yang mendorong penguatan intensifikasi dan modernisasi sangat dibutuhkan, ditambah juga ketersediaan produsen input di pasar akan membantu menekan ongkos produksi, ā€œ jelas Rahmad.


Langkah yang perlu dipastikan saat ini bukan fokus pada penyerapan. Tetapi bagaimana membantu petani meningkatkan produktivitas di tengah kombinasi berbagai faktor yang mempengaruhi proses produksi, sehingga dapat dipastikan produksi domestik dapat meningkat dengan kualitas yang dapat bersaing di pasar.


Data BPS menunjukkan, rata-rata produktivitas padi saat ini masih di angka 5,28 ton/hektare (BPS, 2025), jauh di bawah angka produktivitas optimum di 7-8 ton/hektare.


Kebijakan HPP justru memicu adanya beras oplosan, pasar gelap dan menambah risiko munculnya kelangkaan beras. Di sisi lain pemerintah justru menyebut panjangnya rantai distribusi adalah penyebab tingginya harga beras di Indonesia. Dengan demikian, pemerintah harus bisa menyederhanakan rantai distribusi ini sebelum menerapkan fleksibilitas.


Berdasarkan penelitian CIPS, beras harus melalui empat sampai enam titik distribusi sebelum sampai ke tangan konsumen. Pertama, petani menjual berasnya kepada tengkulak atau pemotong padi, yang akan mengeringkan padi dan menjualnya kepada pemilik penggilingan. Pemilik penggilingan akan menjual beras yang dihasilkannya ke pedagang grosir berskala besar yang memiliki gudang penyimpanan.


Pedagang grosir ini akan kemudian menjual beras tersebut kepada pedagang grosir berskala kecil di tingkat provinsi, seperti di Pasar Induk Beras Cipinang, atau kepada pedagang grosir antar pulau. Pihak terakhir inilah yang akan menjual beras kepada para pedagang eceran.


Penelitian CIPS juga menunjukkan, dalam setiap rantai distribusi margin laba terbesar dinikmati oleh para tengkulak, pemilik penggilingan padi, atau pedagang grosir. Di Pulau Jawa, margin laba ini berkisar antara 60%-80% per kilogram. Sebaliknya, para pedagang eceran justru hanya menikmati margin laba dengan kisaran antara 1,8%-1,9% per kilogram.


Situasi ini menunjukkan laba besar terbesar dalam rantai distribusi dinikmati pihak-pihak tertentuĀ justru sebelum beras sampai di pasar eceran. Hal inilah yang mendasari argumen CIPS yang menyebut kebijakan sekarang ini tidak efektif.


Penetapan HPP memaksa para petani untuk menjual berasnya pada harga yang tidak sebanding dengan ongkos produksi yang dikeluarkannya.Ā Sementara itu, Bulog sebagai pihak yang ditugaskan untuk menyerap beras dari petani seringkali kesulitan memenuhi target dikarenakan kekurangan anggaran dan kesulitan bersaing dengan harga pasar.Ā 

Komentar


Mengomentari postingan ini tidak tersedia lagi. Hubungi pemilik situs untuk info selengkapnya.
  • Youtube CIPS
  • Twitter CIPS
  • Instagram CIPS
  • LinkedIn CIPS
  • Email CIPS
bottom of page