top of page

Pembenahan Sengkarut Program Makan Bergizi Gratis Mendesak

Pembenahan fungsi dan tata kelola Program Makan Bergizi Gratis (MBG) andalan Presiden Prabowo Subianto ini mendesak dilakukan. Pembenahan ini sangat penting, salah satunya, untuk memastikan efektivitas anggaran negara dan ketepatan penerima manfaat yang jumlahnya terus bertambah.


Keracunan makanan, kerancuan nilai gizi menu, sampai kasus temuan belatung dalam wadah makan mewarnai enam bulan pelaksanaan MBG. Di tengah ambisi pemerintah memperluas jangkauan ke 100% penerima manfaat (82,9 juta orang) pada November 2025, program ini menghadapi ujian serius dalam hal mutu pelaksanaan dan kesiapan tata kelola.


Sengkarut yang terjadi berakar dari persoalan tidak berjalannya fungsi dan proses tata kelola

pemerintahan. Tanpa pembenahan sistemik, perluasan program berisiko menimbulkan masalah yang sama dalam skala yang lebih masif.


Distribusi kewenangan dan fokus kerja harus menjadi agenda utama pembenahan untuk menghadirkan tata kelola yang jelas. Badan Gizi Nasional (BGN) lebih baik fokus menetapkan standar dan pengawasan umum ketimbang memegang peran sentral untuk keseluruhan proses.


Pemerintah perlu memberikan aktor lokal kewenangan dan kepercayaan dalam manajemen program dan proses pengawasan.



Enam Bulan, Seribu Masalah


Tiga isu utama mengemuka selama pelaksanaan enam bulan pertama MBG, yaitu kejadian berulang keracunan makanan, kehadiran berulang makanan ultra-olahan dan ketidakjelasan arah capaian program.


Catatan media massa hingga Mei 2025 melansir jumlah kasus keracunan makanan setelah mengkonsumsi MBG dialami lebih dari seribu peserta didik. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), berdasarkan pemberitaan Kompas bulan Mei 2025 lalu, menyebutkan telah terjadi setidaknya 17 Kejadian Luar Biasa di 10 provinsi karena keracunan yang berkaitan dengan MBG.


Kegamangan kualitas program semakin kental dengan berulangnya temuan makanan ultra- olahan di berbagai daerah. Studi Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) pada Maret 2025 menemukan, terdapat pangan ultra-proses tinggi gula pada, setidaknya 45 persen, menu sampel. Polemik masih terjadi dengan adanya temuan pemberian bahan mentah dan makanan kemasan, seperti di Tangerang Selatan pada bulan Juni lalu.


Respon pemerintah cenderung belum memperjelas arah perbaikan kebijakan MBG. Fokus pada jumlah penerima manfaat tidak diiringi dengan penekanan yang jelas terhadap hasil perbaikan gizi atau peningkatan hasil belajar siswa. Perubahan target penerima manfaat pun tidak didasari keputusan yang jelas.


Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pangan Zulfikli Hasan sempat menyebutkan, target penerima manfaat MBG mencakup 19,47 juta orang. Perpres 12 Tahun 2025 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM Nasional) 2025-2029 pun menunjukkan target penerima setidaknya 17,8 juta orang pada tahun 2025.


Namun, pada bulan Januari 2025 lalu, Presiden Prabowo tiba-tiba menginstruksikan percepatan program untuk menjangkau 82,9 juta orang.


Permasalahan-permasalahan ini tidak bisa dipisahkan dari belum mantapnya landasan regulasi dan tata kelola program. Evaluasi pelaksanaan saja tidak lagi mencukupi untuk membenahi MBG.


Cara pelaksanaan dan pengembangan MBG pun perlu diperlakukan sebagai preseden bagi

kebijakan mendatang.



Perlu Pembenahan Serius


Sampai saat ini, program MBG dijalankan dengan dasar hukum Peraturan Presiden (Perpres) No. 83 Tahun 2024 yang terbatas pada aspek kewenangan langsung BGN. Beberapa waktu lalu, Menko Pangan menyatakan pemerintah sedang menyiapkan Perpres pelaksanaan MBG.

Rencana pembentukan Perpres terkait MBG adalah langkah penting yang patut diapresiasi.


Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada substansi, seperti sejauh mana regulasi tersebut mampu mengatur tata kelola yang efektif, menjamin partisipasi menyeluruh dan memperjelas tahapan serta arah pengembangan program.


Program MBG seharusnya tidak terpisahkan dari kebijakan sektor pendidikan, kesehatan dan

pangan. Sementara, saat ini peran aktor pusat maupun daerah sektor tersebut belum jelas.


BGN masih mengambil peran dominan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Mulai dari perihal rantai pasok pangan sampai pada pengiriman makanan ke penerima manfaat berada dalam kewenangan pemerintah pusat melalui BGN.


Sekalipun terdapat dokumen panduan operasional terkait MBG untuk satuan pendidikan, misalnya, peran sekolah sampai pemerintah daerah terbatas pada memastikan kesiapan penerimaan. Padahal, program seperti MBG di satuan pendidikan bukan hal baru.


Program pemberian makan pada murid pernah dilakukan secara terarah (targeted). Program

serupa MBG di lingkungan pendidikan setidaknya bisa diidentifikasi sejak tahun 1991 sampai

Program Gizi Anak Sekolah (Progas) tahun 2015-2016.


Jika dibandingkan dengan program serupa di negara-negara lain, sentralisasi seperti yang diterapkan di Indonesia pun tidak umum dilakukan. Peran penting pemerintah pusat, seperti diJepang, Brazil dan India, umumnya fokus pada penetapan standar, pembiayaan dan pengawasan secara umum.


Pemerintah daerah dan aktor lokal umumnya memiliki kewenangan untuk mengatur desain dan mekanisme pelaksanaan di daerah atau sekolahnya. Bahkan jika dibandingkan dengan negara seperti Republik Rakyat Tiongkok, peran sekolah dan perwakilan pemerintah di daerah tetap menjadi penekanan.


Pembagian kewenangan tersebut menyampaikan setidaknya satu pesan, yaitu program ini perlu mempertimbangkan konteks lokal. Ketersediaan akses bahan pangan daerah, variasi makanan bergizi lokal, hingga pelaksanaan edukasi gizi menunjukkan krusialnya peran aktor lokal, baik pemerintah maupun swasta.



Perluasan Program yang Bertanggung Jawab


Dengan target mencapai 82,9 juta penerima hingga akhir tahun ini, pemerintah seharusnya

menata ulang fondasi tata kelola sebelum memperluas cakupan. Pembagian peran dan kewenangan antarpihak harus dipastikan berjalan. Partisipasi dan transparansi dalam proses

desain serta capaiannya juga perlu diprioritaskan.


Pembagian peran dan kewenangan harus menekankan pada otonomi pemangku kepentingan lokal, seperti sekolah, untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan MBG. Pelibatan masyarakat dan organisasi sipil juga penting untuk menciptakan ruang umpan balik yang lebih terbuka.


Pengaduan soal kualitas makanan, proses distribusi atau kejadian keracunan harus cepat

ditindaklanjuti dan digunakan sebagai dasar evaluasi sistematis.


BGN sebaiknya memfokuskan sumber dayanya pada penyusunan standar, evaluasi mutu dan

sistem pelaporan yang transparan. Penetapan standar dan pengawasan ini pun harus melibatkan kementerian/lembaga yang juga memiliki tugas terkait gizi dan pendidikan.


Program Makan Bergizi Gratis adalah upaya yang ambisius. Namun, skala besar harus dibarengi dengan kualitas tata kelola yang kokoh. Langkah korektif harus segera dilakukan. Program yang belum siap seharusnya dihentikan untuk evaluasi dan perencanaan lebih baik.


Tanpa koreksi menyeluruh, program ini berisiko jadi beban ganda karena mahal secara fiskal,

namun minim dampak nyata. Presiden Prabowo perlu membuktikan bahwa program prioritas

nasional tidak hanya berjalan cepat, tapi juga tepat.

  • Youtube CIPS
  • Twitter CIPS
  • Instagram CIPS
  • LinkedIn CIPS
  • Email CIPS
bottom of page