Pertama kali dipublikasikan di Kata Data (27/10/21).
Menyadari pentingnya peran kewirausahaan dalam mendukung perekononmian negara, pemerintah menerbitkan serangkaian kebijakan yang fokus kepada pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), termasuk UMKM yang dikelola perempuan.
UMKM saat ini menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Pada tahun 2019, Indonesia memiliki lebih dari 64 juta UMKM dengan kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 60,3 persen. Sekitar 60 persen dari UMKM ini dikelola oleh perempuan sehingga wajar bila pemerintah meningkatkan perhatiannya pada sektor khusus ini melalui pengadaan program inkubasi bisnis, alokasi anggaran dan bantuan sosial khusus UMKM perempuan. Pengembangan kewirausahaan perempuan dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan kesetaraan gender dan pengurangan kemiskinan.
Memperluas dan membangun bisnis perempuan dapat membuka peluang yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Akan tetapi, usaha milik perempuan masih sulit untuk berkembang, bahkan untuk naik kelas. Mayoritas usaha milik perempuan berada dalam kategori mikro dan kecil.
Wirausaha perempuan masih menemui berbagai hambatan dalam menjalankan bisnisnya sehingga banyak memunculkan keengganan bagi mereka untuk memperbesar skala usahanya. Mereka lebih memilih usahanya tetap berskala kecil dan informal. Padahal, mengembangkan bisnis dan medaftarkan usahanya menjadi formal dapat membuka akses kepada pinjaman modal maupun bantuan dan insentif pemerintah.
Tantangan Perempuan dalam Bisnis
Perempuan sering dihadapkan pada tantangan yang mempengaruhi keberlangsungan usahanya. Salah satunya adalah beban rumah tangga yang tinggi dimana perempuan harus juga mengurus rumah tangga dan mengasuh anak sambil menjalankan usaha. Tantangan lainnya adalah terbatasnya akses pada pelatihan kewirausahaan, minimnya pemahaman penggunaan teknologi digital dan kesulitan perempuan dalam mendapatkan akses permodalan dari lembaga formal.
Perempuan juga sering tidak memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan karena dibutuhkannya persetujuan suami dalam urusan bisnis. Perempuan juga memiliki aset yang terbatas sebab umumnya aset rumah tangga adalah atas nama suami sehigga kesulitan dalam memiliki anggunan yang diperlukan ketika mengajukan pinjaman ke bank.
Penelitian Centennial Asia menemukan beberapa alasan lain mengapa perempuan lebih memilih usahanya tetap berskala kecil, ragu mempekerjakan pegawai selain anggota keluarga dan juga memperluas usaha ke pasar baru. Wirausaha perempuan lebih memilih menolak pesanan dalam jumlah besar daripada harus memperkerjakan pegawai tambahan untuk membantu pemenuhan pesanan. Selain itu, ada juga hambatan karena tidak mengetahui proses melegalkan bisnis mereka.
Dibandingkan dengan laki-laki, wirausaha perempuan juga memiliki tantangan dalam pencatatan keuangan. Minimnya pengetahuan pencatatan keuangan berdampak pada pengelolaan keuangan usaha yang tidak baik. Perempuan kerap mencampur adukkan keuangan usaha dan rumah tangga. Ketiadaan laporan keuangan yang jelas dan terstruktur juga menyulitkan mereka ketika mengajukan bantuan modal ke lembaga keuangan.
Selain itu, wirausaha perempuan juga kerap kali kesulitan dalam mengakses bantuan dari pemerintah. Laporan yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan hanya 15 persen wirausaha perempuan yang mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah sepanjang 2020. Keterbatasan informasi dan tidak memenuhi syarat menjadi faktor utama. Selain itu, beberapa wirausaha juga menyatakan telah mendaftarkan diri, namun tidak menerima kabar lebih lanjut.
Potensi Bisnis Perempuan
Laporan International Finance Corporation pada tahun 2016 menunjukkan UMKM milik perempuan tmenyumbang 9,1 persen pada PDB Indonesia. Mayoritas wirausaha perempuan bergerak di bidang usaha makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, serta kriya. Laporan tersebut juga menyatakan, proporsi perempuan yang ingin meminjam modal untuk berinvestasi pada usahanya seperti membeli mesin, pengembangan produk, maupun pemasaran lebih besar daripada laki-laki dengan perbandingan 44 dan 40 persen.
Penelitian Sasakawa Peace Foundation menemukan jumlah wirausaha perempuan di Indonesia jugai 21 persen, lebih tinggi dari rata-rata global yang delapan persen. Wirausaha perempuan juga memiliki kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja, terutama perempuan lain disekitarnyai.
Sementara itu Laporan UNDP terkait dampak pandemi pada UMKM di Indonesia menemukan bahwa usaha yang dikelola oleh perempuan lebih mampu bertahan ketimbang yang dikelola laki-laki. Hal ini karena wirausaha perempuan lebih banyak beralih ke penjualan daring dibandingkan laki-laki. Menurut laporan tersebut, 47 persen wirausaha perempuan berjualan secara online selama pandemi sedangkan wirausaha laki-laki sedikit lebih rendah yaitu 40 persen. Meskipun mengalami penurunan omset, wirausaha perempuan menyatakan tidak sampai harus menutup usahanya, beberapa bahkan memulai usaha sampingan baru untuk menutupi kekurangan omset dari usaha utamanya.
Usaha milik perempuan adalah sumber daya penting yang masih belum termanfaatkan dengan baik. Pertumbuhan usaha milik perempuan tidak hanya berpengaruh dalam pemulihan ekonomi dalam masa pandemi Covid-19 tetapi juga memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk menutup kesenjangan gender dalam pekerjaan dan masyarakat dan membantu pengentasan kemiskinan.
Pertimbangan Kebijakan
Untuk mengatasi hambatan perempuan dalam menjalankan usahanya, pemerintah dan sektor pendukung UMKM dapat mempertimbangkan beberapa rekomendasi berikut. Pertama, perlu adanya basis data tunggal UMKM dan data yang berbasis gender untuk memudahkan pemerintah maupun swasta dalam menargetkan bantuan atau program kepada wirausaha perempuan. Pembuatan data tunggal dan berbasis gender ini juga sudah dimandatkan dalam UU Cipta Kerja pasal 88.
Kedua, peran aktif pemerintah pusat dan daerah dalam mengidentifikasi dan memetakan potensi UMKM perempuan sangat diperlukan. Hal ini dapat dilakukan melalui bantuan teknis seperti kemudahan dan bantuan pendaftaran nomor induk usaha, pendampingan dalam mendapatkan sertifikat standar atau izin produk, memberikan pelatihan usaha yang disesuaikan dengan kebutuhan wirausaha perempuan, maupun penyediaan infrastruktur pendukung.
Ketiga, lembaga keuangan dapat menciptakan produk-produk yang disesuaikan dengan kebutuhan wirausaha perempuan, produk keuangan dengan syarat yang lebih mudah, agunan yang fleksibel, serta waktu pencarian yang cepat. Lembaga keuangan juga dapat membuat produk-produk yang disertai dengan pelatihan maupun bantuan formalisasi usaha untuk wirausaha perempuan.
Bagi wirausaha yang masih belum memenuhi syarat meminjam ke bank maupun penyaluran bantuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) kerja sama dapat diperluas dengan P2P lending namun dengan menyertakan informasi yang memadai untuk mengantisipasi penipuan dan gagal bayar.
Keempat, memasifkan program pelatihan literasi digital dan keuangan. Meskipun wirausaha perempuan sudah mulai menggunakan platform digital untuk berjualan, masih banyak wirausaha yang memiliki pengetahuan terbatas tentang pemanfaatan teknologi. Membantu wirausaha perempuan memanfaatkan teknologi, dapat membuka akses pada pasar yang lebih luas dan kemudahan dalam mendapatkan bahan baku.
Literasi keuangan juga dibutuhkan agar perempuan dapat memahami risiko usaha, mampu memilih dan memanfaatkan produk dan jasa keuangan, memiliki perencanaan keuangan yang baik, dan akan membantu dalam mengambil keputusan terkait usahaya.
Wirausaha perempuan memiliki potensi besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pihak swasta dapat berperan dalam mendorong sektor ini dengan membantu mengatasi tantangan seperti terbatasnya akses pada permodalan yang lebih besar, pelatihan dan bantuan yang khusus bagi perempuan, maupun infrastruktur pendukung yang sangat dibutuhkan untuk memastikan usaha perempuan dapat berkembang.
Comments