Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan mencatat sekitar 2,8 juta pekerja kehilangan pekerjaannya akibat pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) di Indonesia. Kehilangan sumber mata pencaharian menyebabkan mereka harus mencari jalan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satunya dengan mencari dana segar lewat pinjaman online peer-topeer (P2P) yang merupakan salah satu jenis teknologi finansial (financial technology atau fintech). Namun saat ini pinjaman P2P luput dari kebijakan restrukturisasi pinjaman Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akibat Covid-19. Belum lagi, aduan konsumen terkait pinjaman P2P, terutama terhadap fintech ilegal telah mendominasi keluhan konsumen tahun 2019. Hal ini dikhawatirkan merugikan konsumen, terutama mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi dan yang kehilangan pekerjaan akibat Covid-19.
Kenaikan Penyaluran Pinjaman dan Risikonya Pandemi Covid-19 telah mengubah banyak kegiatan konsumen dialihkan ke dalam bentuk online, salah satunya adalah penggunaan jasa produk finansial melalui pinjaman online. Data OJK menunjukkan adanya kenaikan akumulasi penyaluran pinjaman online sebesar 17,05% pada Februari 2020 dibandingkan Desember 2019. Di satu sisi, fintech telah membantu masyarakat untuk mengakses produk finansial di tengah hambatan akibat Covid-19. Inovasi digital melalui fintech juga berpotensi untuk secara fundamental membantu pihak-pihak yang belum mempunyai akses pada perbankan konvensional, terutama kelompok tanpa credit scoring, sosial ekonomi termiskin, perempuan, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan daerah tertinggal di Indonesia.
Laporan Asian Development Bank (ADB) memperkirakan bahwa efek kumulatif dari inklusi keuangan akibat inovasi digital adalah 2%-3% pada Produk Domestik Bruto (PDB), yang akan menghasilkan peningkatan pendapatan sebesar 10% bagi masyarakat Indonesia prasejahtera. Di sisi lain, peminjam tengah kesulitan untuk memenuhi kewajibannya.
Berdasarkan data OJK, Tingkat Wanprestasi 90 (TKW90) yang merupakan ukuran tingkat wanprestasi atau gagal bayar di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo, naik dari 3,65% pada Desember 2019 menjadi 3,92% pada Februari 2020. Sebagai gambaran, Bank Indonesia (BI) mencatat rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan atau NPL) berada pada tingkat 2,79% pada Maret 2020. Ini menunjukkan gagal bayar lebih tinggi pada fintech dibandingkan produk finansial konvensional. OJK juga mencatat outstanding pinjaman naik 10,17% menjadi Rp14,5 triliun. Statistik tersebut menunjukkan adanya kesulitan peminjam fintech untuk melakukan pembayaran di tengah pandemi.
Selain itu, maraknya fintech ilegal yang tidak terdaftar di OJK juga tidak terhindarkan. Sejak Januari 2020 sampai Maret 2020, Satgas Waspada Investasi (SWI) Menemukan 508 entitas pinjaman online ilegal. SWI juga mengidentifikasi bahwa sasaran fintech ilegal adalah masyarakat yang memiliki kerentanan keuangan yang membutuhkan uang secara cepat guna memenuhi kebutuhan pokok maupun konsumsinya. Dibandingkan dengan fintech legal, fintech ilegal lebih berbahaya karena tidak mempunyai etika bisnis dan tidak diawasi secara langsung oleh asosiasi dan OJK. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama (AFPI) telah meluncurkan pedoman perilaku (code of conduct) pada 2019. Pedoman perilaku ini mencakup isu perlindungan konsumen, perlindungan privasi dan data pribadi, mitigasi risiko siber, mekanisme minimal penanganan aduan konsumen serta isu fintech lainnya.
SWI juga melaporkan bahwa fintech ilegal memberikan bunga yang tinggi dengan jangka waktu pinjaman singkat, namun memberikan persyaratan mudah. Persyaratan mudah merupakan alasan terus tumbuhnya fintech ilegal di Indonesia. Orang yang kehilangan pekerjaan dan tidak memiliki penghasilan karena Covid-19 mungkin akan tergiur akan proses cepat pengajuan pinjaman kepada fintech ilegal. Padahal, fintech ilegal tidak memberikan kepastian perlindungan konsumen. Contohnya, fintech tersebut sering kali meminta izin untuk mengakses semua data kontak di telepon genggam pengguna. Data kontak tersebut digunakan untuk mengintimidasi saat penagihan pinjaman. Walaupun SWI sudah banyak menutup fintech ilegal tersebut, mereka masih bisa muncul dengan mengganti nama ataupun membuat aplikasi baru dengan pelaku yang sama.
Menurut data aduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 2019, terdapat 96 aduan terkait oknum pinjaman online. Sebanyak 54 diantaranya berasal dari pinjaman online ilegal. Aduan-aduan tersebut meliputi beberapa hal, seperti bunga tinggi, denda harian yang tinggi, tagihan lebih dari 100% utang pokok dan akses data konsumen yang digunakan untuk melakukan teror pada saudara, teman dekat, atasan,dan kolega kantor. Bahkan, YLKI juga mencatat permasalahan ini juga berdampak pada kehidupan pribadi konsumen, seperti bunuh diri, perceraian dan pemecatan oleh oleh tempat kerja. Saat ini, mekanisme sanksi pada fintech ilegal juga masih lemah dimana mekanisme pemberian kompensasi pada konsumen masih belum diterapkan. Saat ini, fintech ilegal hanya mendapatkan sanksi administratif dan pemblokiran aplikasi dari SWI. Sanksi seperti ini tidak cukup untuk meredam pertumbuhan fintech ilegal dan membuat mereka berhenti melakukan operasi yang tidak sesuai aturan.
Solusi Bagi Penyelenggara dan Pemerintah
Untuk mengantisipasi risiko gagal bayar akibat pandemi Covid-19, OJK memberikan stimulus di bidang jasa keuangan, yang ditujukan kepada bank, perusahaan pembiayaan (multifinance), asuransi dan dana pensiun. Namun, karena fintech pinjaman online P2P merupakan penghubung atau penyelenggara, baik OJK maupun AFPI kesulitan untuk melakukan restrukturisasi pinjaman. Padahal akibat Covid-19, ketidakpastian ekonomi membuat banyak pekerja kehilangan penghasilan dan hal ini belum dapat diprediksi akhirnya.
Media Konsumen juga mencatat laporan permintaan penundaan konsumen yang ditolak oleh penyelenggara akibat penolakan pemberi pinjaman. Akibatnya, pinjaman tersebut tetap ditumpuk oleh bunga dan denda harian yang terus berjalan. Hal ini menyebabkan jumlah yang harus dibayar konsumen semakin membengkak. Begitupun, penyelenggara harus segera menyiapkan alternatif untuk memberikan opsi perjanjian ulang antara konsumen dan pemberi pinjaman. Setidaknya, hal tersebut membuka kesempatan bagi konsumen untuk mendapat kelonggaran yang bisa difasilitasi oleh penyelenggara.
Bagi OJK, ini merupakan sinyal untuk merestrukturisasi kebijakan fintech. OJK harus membuat kebijakan dimana perlindungan untuk pemberi dan penerima pinjaman harus seimbang, baik melalui online maupun offline. Ketidakmampuan OJK dalam memberikan stimulus pada fintech menunjukkan kelemahan kerangka kebijakan saat ini. Padahal, yang membedakan fintech dan bank konvensional adalah teknologi yang seharusnya menjadi instrumen netral dalam perancangan kebijakan. OJK harus diizinkan untuk memberikan stimulus pada fintech, seperti kepada lembaga keuangan lainnya jika krisis seperti ini terjadi lagi.
Selain itu, OJK harus memastikan kepatuhan fintech agar memberikan bunga dan denda sesuai yang disepakati dengan AFPI, yaitu maksimum 0,8% per hari dan akumulasi denda maksimal adalah 100% dari nilai pokok. Saat ini, ada juga opsi yang bisa dilakukan, yaitu mendorong penyelenggara untuk bekerja sama dengan penyelenggara layanan jasa keuangan yang berbasis teknologi informasi lainnya sesuai Pasal 5 pada Peraturan OJK No. 77/2016. Bisa jadi, ini menjadi alternatif konsolidasi industri keuangan digital.
Melalui Direktorat Jenderal Pajak, pemerintah bisa mencoba untuk memberikan insentif pajak bagi pemberi pinjaman yang bersedia merelaksasi atau menambah waktu tenor. Saat ini, pemberi pinjaman dibebankan tarif Pajak Penghasilan (PPh) atas bunga dan pengembalian pendanaan yang diperoleh pemberi pinjaman. Dengan adanya insentif ini, pemberi pinjaman akan termotivasi dalam memberikan kelonggaran pinjaman.
Pesan untuk Konsumen
Dengan banyaknya kasus fintech yang merugikan konsumen, literasi konsumen terkait produk finansial dan produk digital perlu terus ditingkatkan. Berdasarkan data dari OJK, Indeks Literasi Keuangan Indonesia adalah 38,03% dan Indeks Inklusi Keuangan adalah 76,19%. Angka inimenyatakan, terdapat 76 orang dari 100 orang yang mempunyai akses pada produk finansial. Namun hanya 38 di antaranya yang mengerti akan produk finansial. Kesenjangan antara literasi dan inklusi semakin melebar dari 37,9% pada 2013 menjadi 38,16% pada 2019. Hal ini menunjukkan proliferasi produk keuangan mengalami kemajuan lebih cepat dibandingkan peningkatan literasi konsumen. Konsumen harus mengetahui perbedaan P2P lending dengan jenis pinjaman lain, mengetahui bagaimana cara mendapatkan informasi, maupun mengidentifikasi pinjaman online yang legal dan tidak legal. Konsumen harus lebih kritis agar tidak dirugikan oleh oknum penyelenggara pinjaman.
Sebelum konsumen menyetujui suatu pinjaman, konsumen harus cermat dalam menentukan tenor, tanggal jatuh tempo, jumlah pinjaman pokok, bunga dan denda yang dikenakan, serta hak dan kewajibannya. Pemahaman ini mencerminkan konsumen mengerti akan haknya dalam memperoleh informasi secara transparan dan mengerti kewajibannya dalam suatu transaksi.
Tempat Konsumen Bisa Mendapatkan Informasi atau Mengadu
Saat ini, tempat konsumen mendapatkan informasi dan melaporkan aduan memang tersebar. Jika konsumen merasa dirugikan, seperti diintimidasi, dan fintech tersebut legal, konsumen dapat mengajukan aduan pada AFPI atau OJK. Jika fintech tersebut ilegal atau tidak terdaftar di OJK, konsumen dapat melaporkannya pada SWI. Untuk aduan secara umum, konsumen juga bisa melaporkannya melalui YLKI atau Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Jika fintech diidentifikasi melakukan kejahatan siber, seperti penipuan online, pemerasan atau aktivitas ilegal siber, misalnya oknum tersebut mengambil data konsumen, dapat dilaporkan melalui Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) di laman patrolisiber.id.
Peran teknologi saat ini bukanlah hanya sesuatu yang baik jika dimiliki, tetapi memang sebuah keharusan untuk dipenuhi. Krisis Covid-19 telah menunjukkan pada kita bahwa terdapat celah antara perlindungan konsumen pada platform online dan offline. Padahal, teknologi merupakan alat yang dapat membuka dan mempercepat transaksi serta aktivitas yang mendukung perekonomian. Tanpa perlindungan konsumen yang adil bagi konsumen online, perkembangan berkelanjutan pada industri teknologi masih dipertanyakan. Pada Hari Konsumen Nasional 2020 yang diperingati pada 20 April ini, konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah harus bahu membahu untuk menciptakan iklim yang baik pada industri fintech kita.
Lihat Ringkasan Rekomendasi CIPS untuk Perlindungan Konsumen Digital di sini.
Comments