Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kata Data (1/9/21).
Pada tahun 1995, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 82 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Keputusan ini disusul dengan dibukanya puluhan ribu hektar lahan sawah di Kabupaten Kapuas untuk ditanami padi, disertai pembangunan saluran irigasi dan rumah untuk para petani penggarapnya.
Pada akhir tahun 1997, sebanyak 15.100 kepala keluarga transmigran ditempatkan di sana sebagai petani penggarap. Warga Kuala Kapuas, ibukota Kabupaten Kapuas, menyambut baik proyek raksasa yang dikenal sebagai Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektar tersebut. Bagi warga yang berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha angkutan sungai, para transmigran yang umumnya datang dari Pulau Jawa itu jelas merupakan calon pelanggan bagi usaha mereka.
Kenyataan pahitnya, proyek di akhir masa Orde Baru tersebut gagal. Tanpa persiapan yang matang, sekitar 80% lahan yang dibuka untuk ditanami padi akhirnya malah menjadi lahan tidur. Tanpa perlakuan khusus, lahan gambut yang minim unsur hara makro dan mikro serta memiliki tingkat keasaman tinggi sulit digunakan untuk budidaya tanaman jenis apa pun secara optimal, kecuali bagi tanaman asalnya seperti pohon galam (Melaleuca leucadendra).
Jika berhasil ditanami padi pun, produktivitasnya akan jauh di bawah usaha tani padi di tanah mineral. Menurut beberapa studi yang dihimpun Pantau Gambut, produktivitas padi sawah gambut berkisar antara 1,5 hingga 2,9 ton per hektar, jauh di bawah rata-rata produktivitas padi nasional, yaitu 5,1 ton per hektar.
Transmigran penggarap yang sudah terburu didatangkan, selain mengalami ketidakjelasan nasib, juga dihadapkan pada perumahan yang kurang layak yang diberikan kepada mereka. Rumah dibangun diatas pondasi dari kayu hutan yang basah, dari jenis kayu yang cepat lapuk bila terendam air, seperti kondisi basah lahan gambut dan tanah Kalimantan pada umumnya. Masyarakat setempat menggunakan kayu kuat seperti ulin yang memang bisa bertahan berpuluh-puluh tahun dalam air.
Faktor lain yang turut menentukan kegagalan proyek cetak sawah di Kalimantan adalah jarak dan akses terhadap pusat-pusat kegiatan ekonomi. Belajar dari program transmigrasi di Pulau Kalimantan, perkampungan transmigran yang lokasinya dekat dengan kota umumnya sukses. Contohnya perkampungan transmigran di Basarang, Kabupaten Kapuas, yang berkembang menjadi kawasan agribisnis. Kecamatan Basarang seringkali disebut Kampung Bali karena para transmigrannya berasal dari Bali. Mereka berhasil membudidayakan salak Bali sehingga orang Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan yang ingin makan salak Bali cukup singgah di Basarang.
Kebetulan, lokasi Basarang memang strategis berada di ruas jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Keberadaan jalan untuk transportasi darat karenanya turut menentukan keberhasilan pembukaan lahan baru.
Ketika lokasi Program Lahan Gambut Satu Juta Hektar dibuka, tidak ada jalan yang menghubungkan dengan pusat kota/kabupaten; semua transportasi pada saat itu melalui sungai atau kanal. Dengan kondisi ini, pemasaran hasil usaha tani terkendala jarak yang jauh yang memakan waktu lama.
Walaupun catatan di atas mengacu pada Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektar di akhir Orde Baru, tetapi tampaknya tetap relevan untuk masa sekarang karena kesukaan pemerintah untuk mengulang proyek serupa. Proyek cetak sawah kembali dicoba di Ketapang, Bulungan, dan Merauke pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pemberitaan negatif di media memberikan indikasi bahwa semua proyek di lokasi-lokasi tersebut bisa dikatakan gagal.
Kemudian, cetak sawah kembali dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2014 dengan sebaran lebih luas, mencakup 28 provinsi, di antaranya Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Maluku, dan Kalimantan Selatan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan banyak kelemahan, diantaranya lahan yang dipilih kurang subur, irigasi tidak memadai, dan lokasi yang jauh dari pemukiman petani.
Yang terbaru adalah program food estate yang merupakan bagian Proyek Strategis Nasional 2020-2024. Kawasan yang ditetapkan untuk program ini berlokasi di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas, bekas areal Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektar. Alih-alih menambah areal tanam baru (ekstensifikasi), arah kebijakan yang lebih mendesak untuk dilakukan adalah mengoptimalkan lahan yang ada (intensifikasi). Menurut sebuah studi dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), meningkatkan produktivitas menjadi mutlak mengingat melandainya produktivitas per hektar selama beberapa tahun terakhir untuk komoditas padi, kedelai dan bawang merah.
Dalam konteks ekspansi pertanian ke luar Jawa, masih terdapat ketimpangan produktivitas yang besar antara pertanian di Jawa dan di luar Jawa. Produktivitas pertanian padi di Jawa (5,64 ton per hektar) lebih tinggi 23 persen daripada produktivitas padi di luar Jawa (4,58 ton per hektar). Di lain pihak, luas panen padi di luar Jawa mencakup sekitar 50 persen dari luas panen padi nasional, namun dengan kontribusi terhadap produksi padi nasional yang hanya mencapai 44 persen.
Menurut studi yang sama, faktor-faktor yang menjadi penentu produktivitas padi di luar Jawa adalah akses terhadap irigasi, penggunaan pupuk, dan penerapan pola tanam “jajar legowo”. Jika lahan pertanian diibaratkan gelas, “gelas” pertanian luar Jawa baru terisi air sebagian. Kiat yang baik adalah berusaha memenuhi gelas yang ada tersebut, bukan menambah gelas baru.
Semua usaha penambahan areal tanaman pangan, termasuk melalui program food estate, ini dilakukan atas nama swasembada. Kita patut bertanya: sudahkah program terbaru ini belajar dari para pendahulunya?
Comments