top of page

NTP Saja Tidak Cukup Cerminkan Realitas Hidup Petani, Indonesia Butuh Alat Ukur yang Holistik

Kesejahteraan petani selalu menjadi janji dan tantangan abadi bagi setiap pemerintahan. Namun perubahan nyata di lapangan nyaris tak terlihat. Kesejahteraan petani seringkali diasosiasikan dengan Nilai Tukar Petani (NTP).


Padahal, NTP belum dapat memberikan cerminan lengkap dari kualitas hidup mereka. Jika kebijakan terus disusun tanpa melihat realitasnya, kesejahteraan petani akan tetap jadi angka, bukan kenyataan.


ā€œPerlu adanya pemahaman kalau faktor-faktor yang berkontribusi dalam kesejahteraan petani amat kompleks dan tidak hanya sebatas soal harga. Tetapi juga faktor terkait akses hingga pemanfaatan terhadap kesehatan dan pendidikan,ā€ jelas Analis dan Peneliti Kebijakan Publik Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Maria Dominika.


Di tengah fluktuasi harga pangan, banyak petani masih berjuang menutupi kebutuhan dasar, seperti biaya pendidikan anak, layanan kesehatan, hingga mengumpulkan modal untuk bertahan di musim paceklik. Kondisi ini menunjukkan bahwa kesejahteraan petani tidak bisa hanya diukur dari harga jual hasil panen atau daya beli semata.Ā 


Setiap subsektor pertanian memiliki tantangan unik-petani padi menghadapi persoalan pupuk, petani hortikultura rentan terhadap fluktuasi harga. Sementara peternak dan nelayan punya risiko cuaca ekstrem.Ā 


NTP memiliki keterbatasan dalam melihat esensi kesejahteraan secara utuh karena tidak mampu secara penuh menangkap berbagai faktor penting di dalam mengukur kesejahteraan, seperti perbedaan karakteristik dari berbagai subsektor dan komoditas pertanian, hingga faktor musim dan cuaca yang dapat mengarah pada menurunnya hasil panen dan harga jual.Ā 


Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis besaran NTP di bulan September yang naik sebesar 0,63% dari bulan sebelumnya. NTP tertinggi didapat di subsektor tanaman perkebunan rakyat dan peternakan.


Maria menambahkan, data patut diinterpretasikan dengan lebih tepat, yaitu dengan melihat petani subsektor tersebut memiliki daya beli yang lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya. Ada faktor lain seperti, petani pada subsektor tersebut di bulan tersebut mendapatkan demand yang lebih tinggi, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas, dengan cuaca yang berpihak pada mereka, sehingga tidak mengalami gagal panen.Ā 


Kebutuhan Indonesia untuk segera memiliki alat ukur kesejahteraan petani yang holistik mendesak, yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, karakteristik petani membutuhkan pendekatan spesifik sesuai dengan konteks profesi dalam kehidupan mereka.Ā 


Kedua, miskonsepsi penggunaan NTP akibat ketiadaan alat ukur kesejahteraan petani dapat terus menggerus paradigma kesejahteraan yang sesungguhnya, yakni sesuatu yang tidak hanya sekadar daya beli.


Ketiga, alat ukur holistik dibutuhkan sebagai acuan bagi pembuat kebijakan dan pihak non-pemerintah untuk membangun kebijakan dan program yang sejalan dengan capaian yang diharapkan dari indikator kesejahteraan yang telah disepakati bersama.


Daya beli tidaklah setara dengan kesejahteraan. Data BPS menunjukkan, upah bulanan di sektor pertanian pada tahun 2025 menjadi kedua yang terendah dibandingkan sektor lainnya. Melalui salah satu indikator tersebut, menjadi semakin tidak adil untuk mengecap bahwa petani kita sudah lebih sejahtera.


Konsep kesejahteraan bagi petani seharusnya disesuaikan dengan realitas hidup mereka sehari-hari beserta seluruh faktor yang menyertainya. Kesejahteraan petani terbentuk dari berbagai aspek yang tidak hanya identik berkaitan dengan mereka, seperti harga jual hasil panen, biaya produksi, atau ketersediaan input pertanian.Ā 


Petani bukan sekadar produsen, tetapi juga konsumen. Untuk itu, kapasitas mereka untuk mengakses pangan bergizi turut menjadi bagian penting dari kesejahteraan. Selain itu, akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan yang memadai, serta fasilitas keuangan dan perbankan juga berperan besar dalam kesejahteraan mereka.Ā 


ā€œSayangnya, Indonesia hingga kini belum secara resmi memiliki alat ukur kesejahteraan petani. Untuk itu, penting bagi lembaga berwenang untuk secara bijaksana dan segera meluncurkan alat ukur kesejahteraan petani agar dapat menjadi referensi untuk semua, supaya menjadi pijakan dalam menyusun kebijakan dan program yang mampu sungguh-sungguh memberdayakan petani kita,ā€ jelas Maria.


Pada pertengahan tahun 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) dalam proses menyusun alat ukur untuk menilai kesejahteraan petani. Instrumen ini diharapkan mampu mempertimbangkan berbagai indikator yang digunakan di negara lain. Namun tetap dengan penyesuaian yang relevan terhadap konteks dan karakteristik sektor pertanian di Indonesia.Ā 


Hal ini penting, mengingat indikator yang dianggap ideal di negara tertentu belum tentu sesuai ketika diterapkan di Indonesia. Karena itu, alat ukur kesejahteraan petani perlu dirancang secara multidimensi, yakni tidak hanya mencakup aspek ekonomi secara sempit seperti daya beli, tetapi juga pemenuhan gizi, akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, akses keuangan, dan faktor-faktor penting lainnya yang berpengaruh terhadap kualitas hidup petani.


Petani bukan hanya produsen pangan, tapi juga konsumen yang kesejahteraannya juga dipengaruhi oleh kebijakan publik yang efektif. Mengukur kesejahteraan mereka harus secara holistik agar benar-benar berpihak pada peningkatan kualitas hidup petani.


Komentar


Mengomentari postingan ini tidak tersedia lagi. Hubungi pemilik situs untuk info selengkapnya.
  • Youtube CIPS
  • Twitter CIPS
  • Instagram CIPS
  • LinkedIn CIPS
  • Email CIPS
bottom of page