top of page

Mengapa Tarif itu Buruk?

Artikel ini merupakan hasil terjemahan dari salah satu artikel dari CME Monthly Espresso - February 2025 yang dirilis oleh Center for Market Education


Belakangan ini, makin banyak orang mendukung kebijakan proteksionis, terutama setelah Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Sebelumnya, negara-negara Eropa sudah lebih dulu memberlakukan tarif impor atas kendaraan listrik dari Tiongkok. Namun, jika kita lihat sejarah perdagangan internasional, hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Sejak ratusan tahun lalu, era perdagangan bebas dan era proteksionisme memang datang silih berganti. Dalam artikel ini, kita akan membahas tarif dari sudut pandang teori ekonomi, supaya pembahasannya bisa lebih mendalam dan tidak sekadar ikut-ikutan pandangan khalayak umum. Tarif memang kebijakan yang buruk, tetapi bukan karena alasan yang sering kita pikirkan:

  • Biaya tarif tidak selalu dibebankan kepada konsumen; semuanya tergantung kondisi ekonomi.

  • Tarif tidak menyebabkan inflasi.

  • Tarif merugikan karena mengurangi peluang perdagangan.


Siapa yang sebenarnya membayar tarif dan bea masuk?

Sebelum masuk lebih jauh, mari pahami bagaimana proteksionisme memengaruhi konsumen dan produsen. Perdebatan soal ini biasanya terjadi antara pendukung perdagangan bebas (salah satunya adalah kami) dan pendukung proteksionisme. Namun, meski kedua pihak sama-sama berusaha menjelaskan keuntungan dari sudut pandang masing-masing, jarang sekali perdebatan ini membahas siapa yang pada akhirnya menanggung bea masuk (atau pajak-pajak lainnya). Ada dua poin penting yang ingin kami sampaikan: 1) pihak yang menanggung bea masuk tidak selalu sama dengan pihak yang secara langsung membayar uangnya ke pemerintah; dan 2) siapa yang sebetulnya menanggung pajak ditentukan oleh elastisitas permintaan (demand) dan penawaran (supply). Jadi, hukum permintaan dan penawaran penting dalam hal ini.


Pertama, kita perlu melihat bahwa secara kasatmata, konsumenlah yang menanggung pajak barang impor. Padahal, tujuan utama bea masuk sebenarnya adalah untuk ā€œmenghukumā€ pemasok luar negeri, yaitu dengan membuat permintaan terhadap produk mereka jadi menurun. Bea masuk biasanya dikenakan kepada pembeli atas setiap unit barang yang dibeli. Contohnya adalah ketika kamu membeli mobil atau minuman anggur impor di negara seperti Malaysia. Dalam kenyataannya, pajak ini dibagi antara konsumen dan pemasok. Misalnya, jika tidak ada bea masuk, keseimbangan antara permintaan dan penawaran anggur impor dari Italia di AS ada di harga US$7 per botol, dengan jumlah penjualan 1.000 botol per tahun. Lalu, Pemerintah AS mengenakan bea masuk sebesar US$2 per botol. Bisa dibayangkan, permintaan anggur impor dari Italia tentu akan turun. Anggap saja titik keseimbangan (ekuilibrium) yang baru turun menjadi 800 botol per tahun, dengan harga US$6,50 per botol (karena permintaan turun, harga pun ikut turun). Sekarang, pembeli harus membayar US$(6,50+2) = 8,50 per botol, sementara pemasok hanya menerima US$6,50. Dari situ, kita bisa melihat beban bea masuk yang ditanggung pembeli adalah selisih harga baru (US$8,50) dengan harga lama (US$7), yaitu US$1,50. Sementara itu, beban yang ditanggung pemasok adalah US$(7-6,50) = 0,50. Jadi, dalam contoh ini, beban bea masuk lebih besar ditanggung oleh konsumen.


Apakah ada cara untuk mengetahui siapa yang lebih terdampak bea masuk: konsumen atau pemasok? Jawabannya, ada. Dalam istilah ekonomi, yang membayar bea masuk (atau pajak secara umum) bukan selalu pihak yang secara langsung mengeluarkan uang. Yang benar-benar menanggung beban itu ditentukan oleh elastisitas permintaan dan penawaran. Elastisitas mengukur seberapa responsif (sensitif) jumlah permintaan (atau penawaran) terhadap perubahan harga. Permintaan disebut elastis jika jumlah barang yang diminta mudah berubah saat harga berubah. Sebagai contoh, permintaan akan suatu barang lebih elastis jika barang tersebut mudah digantikan barang lain yang sejenis. Sebaliknya, barang-barang yang membuat orang ā€œkecanduanā€ (seperti rokok) biasanya memiliki permintaan yang tidak elastis. Ketika permintaan lebih elastis daripada penawaran (artinya, permintaan lebih sensitif terhadap perubahan harga daripada penawaran), pajak yang ditanggung pembeli lebih kecil daripada yang ditanggung penjual. Sebaliknya, apabila penawaran lebih elastis daripada permintaan, penjuallah yang akan menanggung pajak lebih kecil daripada pembeli. Artinya, elastisitas bisa menjadi cara untuk ā€œmenghindariā€ beban pajak yang lebih besar. Mekanismenya cukup mudah dipahami. Kalau kita gampang berhenti membeli suatu barang karena banyak pilihan penggantinya, kita cenderung mengubah kebiasaan konsumsi daripada membayar lebih mahal. Tapi sebaliknya, kalau kita sudah terbiasa atau kecanduan dengan suatu barang, kita lebih rela membayar mahal daripada berhenti mengonsumsinya.


Tarif tidak menyebabkan inflasi

Tarif dan bea masuk sering dikaitkan dengan kenaikan harga, sehingga dianggap memicu inflasi. Di sini kita perlu meluruskan dan mempertanyakan anggapan umum bahwa semua kenaikan harga dapat menyebabkan inflasi. Sebenarnya, yang dimaksud dengan inflasi adalah kenaikan harga yang terjadi secara umum dan terus-menerus. Hal ini hanya bisa terjadi ketika jumlah uang yang beredar bertambah lebih cepat daripada produksi barang dan jasa. Atau, seperti kata ekonom Milton Friedman, inflasi terjadi saat uang yang beredar terlalu banyak, sementara barangnya terlalu sedikit. Masih mengutip Friedman, inflasi pada dasarnya selalu berkaitan dengan urusan uang.


Mari kita lihat contoh sederhana. Misalnya, setiap bulan, kamu punya penghasilan Rp5.000.000. Kemudian, kamu menghabiskan seluruh uang itu untuk membeli dua jenis barang, yaitu barang A dan barang B. Satu unit barang A harganya Rp3.000.000, dan satu unit barang B harganya Rp2.000.000. Maka, perbandingan harga A terhadap harga B adalah 3/2 (harga A lebih dari dua kali lipat harga B). Katakanlah, pemerintah mengenakan bea masuk sebesar Rp2.000.000 untuk barang A sehingga harganya menjadi Rp5.000.000.


Sekarang, kamu punya beberapa pilihan:

  • Membelanjakan seluruh uangmu untuk A saja, jadi kamu dapat 1 barang A dan 0 barang B.

  • Tidak membeli A sama sekali dan membeli 2 barang B (masih punya sisa Rp1.000.000).


Seperti dibahas pada bagian sebelumnya, keputusanmu akan tergantung kepada seberapa penting A dan B bagimu jika dua barang tersebut dibandingkan satu sama lain, dan apakah ada barang pengganti untuk A.


Pilihanmu akan memengaruhi pergerakan harga di pasar:

  • Kalau kamu memutuskan untuk membeli A saja dan tidak membeli B, harga B bisa turun secara bertahap, dan mungkin kamu akan mempertimbangkan ulang keputusanmu (tergantung seberapa berharganya A daripada B bagimu);

  • Kalau kamu memutuskan untuk tidak membeli A dan hanya membeli B, harga A pada akhirnya akan turun.


Jadi, meskipun ada tarif, mekanisme pasar tetap berjalan, dan harga bisa naik atau turun tergantung pilihan konsumsi kita. Yang sedang terjadi di sini bukanlah kenaikan harga secara umum dan terus-menerus, melainkan penyesuaian harga relatif. Disebut penyesuaian harga relatif karena pendapatanmu tidak berubah—kamu tetap hanya punya Rp5.000.000 untuk dibelanjakan. Tarif hanya memengaruhi cara kamu membelanjakan uang itu. Jadi, saat ada harga yang naik, harga lainnya harus turun.


Tentu saja, proses ini tidak terjadi seketika dan tanpa gejolak. Proses ini butuh waktu dan penyesuaian. Situasinya akan sangat berbeda jika, misalnya, karena subsidi atau kebijakan pemerintah lain, jumlah uang yang kamu miliki bertambah, sementara jumlah barang A dan B di pasar tetap sama. Itu akan menjadi situasi yang sangat berbeda. Hal penting yang perlu dicatat di sini adalah bahwa tarif hanya memicu penyesuaian harga relatif, tetapi tidak menyebabkan inflasi.


Mengapa tarif merugikan?

Kami akan coba menjelaskan dampak buruk kebijakan proteksionisme, yang diberlakukan lewat tarif, dengan cara yang sama seperti dalam buku Modern Principles: MicroeconomicsĀ tulisan Alex Tabarrok dan Tyler Cowen. Gambar 4 menunjukkan kurva permintaan domestik dan kurva penawaran domestik untuk produk semikonduktor. Jika tidak ada perdagangan internasional, titik keseimbangan akan terjadi pada harga HTanpa perdaganganĀ dan jumlah JTanpa perdagangan.


Gambar 1: Perdagangan internasional menggunakan permintaan dan penawaran


ree

Sumber: T. Cowen dan A. Tabarrok (2010), Modern Principles: Microeconomics, New York, Worth, 2015, hlm. 162.


Apa yang terjadi jika barang yang sama bisa dibeli di pasar internasional dengan harga yang lebih murah daripada harga domestik? Jumlah permintaan (konsumsi) akan lebih tinggi daripada jumlah produksi domestik, dan selisihnya akan dipenuhi lewat impor. Inilah yang terjadi dalam perdagangan internasional bebas. Namun, bagaimana jika pemerintah menetapkan tarif (dengan kata lain, pajak atas barang impor)?


Gambar 2: Pengenaan tarif

ree

Sumber: T. Cowen dan A. Tabarrok (2010), Modern Principles: Microeconomics, New York, Worth, 2015, hlm. 163.


Seperti dapat dilihat pada Gambar 5, ketika tarif diberlakukan, jumlah permintaan domestik menurun. Namun, jumlah produksi (penawaran) dari produsen domestik justru meningkat. Karena produksi domestik meningkat dan permintaan domestik menurun, jumlah impor pun ikut menurun.


Perubahan-perubahan ini memiliki konsekuensi biaya:

  • Kenaikan produksi domestik memang terlihat menguntungkan, terutama bagi produsen dalam negeri. Namun kenyataannya, tarif ā€œmemaksaā€ mereka untuk memproduksi barang yang mungkin tidak akan mereka produksi apabila tidak ada tarif (dengan kata lain, produsen yang kurang efisien tetap bisa bersaing). Hal ini menyebabkan alokasi sumber daya yang tidak tepat (padahal sumber daya tersebut bisa digunakan untuk memproduksi barang lain yang lebih menguntungkan).

  • Kenaikan harga menurunkan permintaan sehingga manfaat perdagangan berkurang.


Artinya, tarif menyebabkan pemborosan sumber daya karena kita memproduksi barang sendiri dengan biaya lebih mahal, padahal bisa membeli dari luar negeri dengan harga lebih murah. Sama seperti pajak atas barang pada umumnya, tarif juga menimbulkan deadweight lossĀ (kerugian ekonomi karena penawaran dan permintaan tidak seimbang). Dengan kata lain, manfaat umum dari perdagangan menjadi berkurang, dan peluang jual beli ikut hilang. Sebagian manfaat yang harusnya bisa dinikmati konsumen dan produsen justru lenyap karena diambil dalam bentuk pajak. Selain itu, ada juga peluang-peluang perdagangan yang tidak terwujudkan. Semakin elastis permintaan atau penawaran, semakin besar juga kerugian yang timbul.


Sebagai kesimpulan, hukum permintaan dan penawaran menunjukkan bahwa tarif justru mengurangi volume perdagangan internasional yang sebenarnya. Hal ini akan mengurangi manfaat yang bisa diperoleh konsumen maupun produsen. Semakin sensitif permintaan dan penawaran terhadap perubahan harga, semakin besar pula kerugian yang timbul secara keseluruhan. Jika pemerintah menyadari kenyataan ini, mereka perlu bertanya: Apakah tarif benar-benar akan merugikan produsen asing yang ingin mereka tekan, atau justru konsumen dalam negeri yang harus menanggung bebannya? Jawabannya tergantung kepada elastisitas permintaan dan penawaran. Mengabaikan hal-hal dasar dalam ilmu ekonomi seperti ini bisa membuat suatu negara tidak hanya kehilangan peluang bisnis internasional, tetapi juga tanpa sadar malah merugikan warganya sendiri.


Artikel ini merupakan satu bahan ajar pilihan untuk Teaching Toolkits CIPS Learning Hub.




Komentar


Mengomentari postingan ini tidak tersedia lagi. Hubungi pemilik situs untuk info selengkapnya.
  • Youtube CIPS
  • Twitter CIPS
  • Instagram CIPS
  • LinkedIn CIPS
  • Email CIPS
bottom of page