Membangun Alat Ukur Kesejahteraan Petani: Pondasi Kebijakan yang Adil dan Berdaya
- Maria Dominika
- 17 Jul
- 4 menit membaca
Indonesia belum memiliki alat untuk mengukur kesejahteraan para petani. Akibatnya, banyak dari kita yang menggunakan Nilai Tukar Petani (NTP), alat ukur yang sebenarnya tidak diperuntukkan untuk mengukur kesejahteraan petani. Miskonsepsi penggunaan NTP dan tidak adanya alat ukur kesejahteraan petani pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan petani ā sebagai produsen sekaligus konsumen di sektor pertanian.
Makmur (nama disamarkan) ā seorang petani jagung di Jawa Timur, mengeluhkan penghasilannya yang tidak menentu akibat hama, kendala cuaca, serta kesulitan memperoleh input pertanian yang terjangkau dan berkualitas. Hal-hal tersebut pernah berujung pada situasi gagal panen yang berdampak buruk pada penghidupannya. Sementara itu, beberapa petani kelapa sawit di Riau mengalami isu keterbatasan lahan. Mereka juga berhadapan dengan hama kera yang semakin mengganas, serta tantangan dalam mengakses pengepul untuk menyerap hasil pertanian mereka.
Ketika kita berbicara mengenai kesejahteraan petani, permasalahan tidak hanya berhenti di aspek input pertanian, seperti pupuk dan benih, dan pendapatan yang mereka terima saja.Ā
Kedua kisah di atas merupakan kepingan dari banyaknya tantangan yang dihadapi oleh petani di Indonesia, terlepas dari daerah tempat mereka bercocok tanam dan komoditas yang mereka usahakan. Ketika kita berbicara mengenai kesejahteraan petani, permasalahan tidak hanya berhenti di aspek input pertanian, seperti pupuk dan benih, dan pendapatan yang mereka terima saja.Ā
Tanpa mengkerdilkan aspek-aspek tersebut, kita perlu berbenah untuk memikirkan perspektif kesejahteraan petani secara lebih holistik, dengan turut mempertimbangkan aspek yang secara kasat mata mungkin dianggap tidak memiliki pengaruh secara langsung terhadap usaha tani.Ā
Aspek seperti akses terhadap pendidikan dan kesehatan barangkali menjadi faktor yang pada akhirnya berpengaruh pada kesejahteraan petani. Hal ini dikarenakan beberapa aspek tersebut berjalan beriringan dengan penghidupan petani dan dengan itu penting untuk diperhatikan lebih dalam.
Dalam perjalanannya, berbagai pihak nampak menggunakan Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai alat ukur kesejahteraan petani di Indonesia. Namun, NTP bukan merupakan alat yang tepat untuk mengukur kondisi kesejahteraan petani. Mengapa demikian?
NTP pada dasarnya menimbang indeks harga yang dibayarkan oleh petani untuk kebutuhan usaha tani dan konsumsi sehari-hari, dengan indeks harga yang diterima oleh petani berupa pendapatan dari harga jual hasil tani. NTP tidak dapat dijadikan sebagai alat ukur kesejahteraan karena tidak mampu menangkap konteks di luar itu, seperti faktor cuaca yang mendukung hasil tani, hingga pendapatan petani dari sektor non-pertanian,Ā Badan Pusat Statistik (BPS) pun menyebutkan bahwa NTP merupakan pendekatan yang di antaranya bermanfaat untuk melihat daya beli petani di pedesaan dan fluktuasi harga yang dikeluarkan dan diterima oleh petani (BPS, 2024). Dari hal tersebut, BPS tidak menyinggung NTP sebagai alat untuk mengukur kesejahteraan petani.
Indonesia hingga kini belum memiliki alat ukur kesejahteraan petani secara resmi. Absensi alat ukur kesejahteraan petani membuat kita tidak dapat melihat gambaran kesejahteraan petani secara menyeluruh, sehingga di antaranya berdampak pada miskonsepsi penggunaan NTP sebagai alat ukur kesejahteraan petani.
Mengapa kita perlu menggeser paradigma penggunaan NTP sebagai alat ukur kesejahteraan petani, dan mendorong alat ukur yang secara resmi mampu mengilustrasikan kesejahteraan petani di Indonesia? NTP memiliki perannya tersendiri di dalam mengilustrasikan fluktuasi harga barang/jasa yang dikeluarkan oleh petani, termasuk juga gambaran harga jual dari produk tani yang dihasilkan. Namun, keterbatasan variabel yang hanya mempertimbangkan aspek indeks harga menunjukkan bahwa NTP tidak tepat untuk digunakan sebagai alat ukur kesejahteraan petani.
Apabila kita berbicara soal kesejahteraan petani, berbagai negara memiliki pendekatan yang berbeda dalam menyikapi hal tersebut. Sebagai contoh, Vietnam mengembangkan pengukuran untuk indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan terkait pertanian produktif dan berkelanjutan dengan mengkombinasikan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial, seperti kepemilikan lahan, upah pertanian yang layak, produktivitas, hingga ketahanan pangan, untuk mendorong pertanian berkelanjutan yang pada gilirannya dapat meningkatkan nilai ekonomi yang diterima petani dan mengatasi isu perubahan iklim (Badan Statistik Vietnam, 2021).
Sementara itu, Thailand menggunakan pengukuran ekonomi, kesehatan, tingkatan pendidikan, sosial kemasyarakatan, dan lingkungan, untuk mengukur kualitas hidup dan kesejahteraan petani secara menyeluruh. Beberapa faktor yang masuk ke dalam matrik tersebut antara lain tingkatan konsumsi rokok, penyusutan kawasan hutan, utang rumah tangga, hingga kadar relasi sosial yang dimiliki dengan komunitas sekitar (Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Thailand, 2022).Ā
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia harus menggunakan metode pengukuran serupa dari negara-negara tetangga? Pada hakekatnya, Indonesia tidak perlu menerapkan metodologi yang persis digunakan oleh negara lain. Namun, pembelajaran dari negara lain dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia untuk melakukan formulasi alat ukur yang relevan dengan karakteristik pertanian yang ada.
Sebanyak lebih dari 17 juta petani di Indonesia adalah petani skala kecil yang mengelola lahan di bawah 0,5 hektar (BPS, 2023), dengan pendapatan rata-rata hanya sebesar 3,2 US$ per hari (Bank Dunia, 2022). Survei Ekonomi Nasional tahun 2022 kemudian mengkategorikan lebih dari 5 juta penduduk di atas 15 tahun yang bekerja di sektor pertanian ke dalam kategori miskin (Kementerian Pertanian, 2023). Selain itu, Hasil Survei Ekonomi Pertanian per 2024 lalu menunjukkan sebanyak 34,82% usaha pertanian perorangan mengalami keterbatasan modal dalam melakukan usaha tani, dan sebanyak 43,18% menghadapi tantangan eksternal yang berasal dari faktor alam (BPS, 2024).
Data tersebut menunjukkan kompleksitas permasalahan pertanian di lapangan, berikut tantangan dari segi pendapatan hingga modal pertanian yang terbatas. Beberapa hal tersebut amat mempengaruhi kesejahteraan petani.Ā
Di satu sisi, penggunaan alat ukur kesejahteraan yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan tujuan, seperti NTP, akan memiliki efek domino terhadap analisis dan turunan kebijakan, sehingga justru dapat memperburuk upaya bersama untuk menyejahterakan petani. Di sisi lain, ketiadaan alat untuk mengukur kesejahteraan petani pun dapat memperparah tantangan mencapai kesejahteraan petani, dan kian menjadikan petani sebagai pihak yang rentan dalam memperoleh penghidupan yang layak.
formulasi alat ukur kesejahteraan petani yang komprehensif dan multidimensi menjadi kunci
Untuk itu, langkah strategis dan mendesak berupa formulasi alat ukur kesejahteraan petani yang komprehensif dan multidimensi menjadi kunci sebagai pijakan yang kredibel dalam memastikan kajian program dan kebijakan pemerintah yang menyangkut penghidupan petani dapat betul-betul membantu mengatasi permasalahan kesejahteraan petani.Ā
Cerita petani jagung di Jawa Timur dan petani kelapa sawit di Riau hanyalah potongan kecil dari rentetan permasalahan kesejahteraan petani di Indonesia yang serba kompleks. Maka, upaya menciptakan indeks kesejahteraan petani perlu terus didorong untuk mengisi kekosongan acuan kesejahteraan petani, dan pada gilirannya mampu membantu pembuat kebijakan ā termasuk Kementerian Pertanian sebagai pengampu bidang pertanian di Indonesia ā untuk menerjemahkan tantangan di lapangan ke dalam rumusan kebijakan yang tepat, memberdayakan dan meningkatkan taraf hidup petani Indonesia, terlepas dari komoditas, sub-sektor, dan area usaha mereka.
Komentar