Pengetahuan masyarakat Indonesia secara umum mengenai nutrisi masih terbilang rendah. Belum semua memahami nutrisi dari makanan yang mereka konsumsi dan apa efeknya dalam jangka panjang terhadap kesehatan bangsa.
Pencantuman label gizi pada bagian depan kemasan makanan atau front-of-pack nutrition labeling (FoPNL) masih terbilang sesuatu yang baru di Indonesia. Walau sudah digunakan di beberapa negara, pencantumannya di Indonesia berpotensi menimbulkan pro dan kontra, khususnya di kalangan industri. Padahal pencantumannya dapat membantu konsumen dalam mengenali komposisi nutrisi dari makanan yang mereka konsumsi.
“Penggunaan label peringatan terbukti lebih efektif di negara-negara berpendapatan menengah, seperti Chili, Mexico, Peru, dan Uruguay. Label peringatan membantu konsumen dari negara-negara ini dalam menentukan preferensi dan kesadaran konsumen,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Nidhal.
Label peringatan ini merupakan salah satu dari empat skema pelabelan bagian depan kemasan makanan.
Chili menjadi negara pertama yang menerapkan label peringatan pada bagian depan kemasan makanan. Mereka juga sudah melakukan evaluasi mendalam terhadap sistem ini. Makanan dan minuman kemasan yang tidak memenuhi kriteria gizi tertentu wajib mencantumkan label peringatan pada bagian depan kemasan.
Dasar pencantuman label FoPNL berasal dari penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024, peraturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) No. 17/2023 tentang Kesehatan. Peraturan ini memperjelas ketentuan bagi produk pangan untuk mematuhi batas maksimal kandungan gula, garam dan lemak (jenuh) (GGL), termasuk sanksi bagi pelanggaran.
Langkah ini bertujuan memperkuat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 30/2013 yang mewajibkan pencantuman informasi kandungan GGL serta menetapkan batas konsumsi harian yang direkomendasikan, yaitu 50 g/hari untuk gula, 5 g/hari untuk garam, dan 67 g/hari untuk total lemak dalam produk pangan olahan dan siap saji.
Lebih lanjut, Nidhal menjelaskan, sebanyak 32 negara telah mengadopsi sistem FoPNL. FoPNL dikembangkan berdasarkan kebutuhan kesehatan masyarakat dan iklim regulasinya masing-masing, yaitu label kandungan gizi (nutrient-specific), logo pilihan sehat (endorsement logo), indikator gizi keseluruhan (summary indicators), dan label peringatan (warning label).
Namun, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kini sedang mengembangkan sistem Nutri-Level, yang efektivitasnya masih menjadi perdebatan. Sistem yang mengadopsi konsep Nutri-Grade Singapura dan Nutri-Score Uni Eropa ini menghasilkan dampak yang bervariasi. Sejumlah penelitian menunjukkan, meski dapat meningkatkan kesadaran, sistem label ini tidak secara signifikan mengubah perilaku konsumen.
Saat ini, terdapat dua regulasi terkait skema pelabelan FoPNL yang berlaku. Pemerintah Indonesia memperkenalkan logo Pilihan Lebih Sehat sebagai sistem FoPNL pertama di Indonesia pada 2019. Logo Pilihan Lebih Sehat (PLS) bersifat sukarela dan bertujuan membantu konsumen memilih produk yang lebih sehat dalam kategori tertentu.
Pada 2021, BPOM memperluas cakupan PLS ke 20 jenis pangan olahan, termasuk produk roti dan camilan siap makan. Pada pertengahan 2024, BPOM mengajukan rancangan peraturan tentang FoPNL yang memperkenalkan Nutri-Level, sebuah sistem penilaian interpretatif yang saat ini sedang diujicobakan.
“Regulasi ini akan mewajibkan penerapan sistem Nutri-Level pada produk-produk minuman tertentu dalam waktu 18 bulan setelah resmi diberlakukan, atau sekitar pertengahan 2026. Sementara PLS yang bersifat sukarela pun masih berlaku. Ambiguitas ini bisa membingungkan industri dan konsumen. Alternatifnya, kami menyarankan uji coba penggunaan sistem label peringatan yang sudah terbukti lebih efektif,” terang Nidhal.
Kepatuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan industri pangan rumahan pada regulasi ini juga masih dipertanyakan, terutama terkait beban biaya. Meski pencantuman informasi gizi dan FoPNL pada makanan siap saji dapat menjadi sebuah opsi, penerapan regulasi yang bersifat wajib tanpa mempertimbangkan ukuran dan skala usaha dapat menimbulkan beban kepatuhan yang berat bagi pelaku usaha kecil.
Regulasi yang berlaku saat ini mewajibkan pencantuman informasi gizi pada produk pangan olahan yang diproduksi UMKM, sebagaimana diatur dalam Peraturan BPOM No. 16/2020. Sebuah studi pada 2019 mengungkapkan, mayoritas UMKM di Jakarta (91,6%) dan Semarang (85,7%) kesulitan memenuhi regulasi pelabelan pangan, yang sebagian besar disebabkan karena kurangnya dukungan pemerintah dalam meningkatkan kesadaran regulasi, penyediaan sumber daya, dan pemantauan.
Comments