Isu kualitas pendidikan di Indonesia telah lama menjadi perbincangan. Namun berbagai upaya yang dilakukan tidak menjadi solusi yang benar-benar efektif.
Saat sistem pendidikan kita dihadapkan pada disrupsi, seperti Pandemi Covid-19, persoalan kualitas tadi semakin mengemuka. Ditambah dengan keragaman lanskap, banyak sekolah kesulitan beradaptasi karena perbedaan kapasitas tenaga pengajar dan siswa serta budaya lokal. Ditambah lagi dengan terbatasnya kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum agar lebih relevan dengan kebutuhan siswa di daerah masing-masing.
Selain itu, fakta lain seperti masih terpusatnya implementasi kurikulum dan masih minimnya kapasitas pimpinan sekolah dalam menjalankan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan sekolah dan daerah masing-masing, juga mengemuka.
Data dari Programme for International Student Assessment (PISA) dan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) menunjukkan, peningkatan literasi siswa masih menjadi pekerjaan rumah yang berkelanjutan. Siswa yang yang bahasa ibunya adalah bahasa daerah menghadapi tantangan signifikan karena mereka kesulitan memahami materi yang diajarkan dalam Bahasa Indonesia.
Data Susenas dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengatakan, hampir 61% penduduk Indonesia berusia di atas 5 tahun lebih fasih menggunakan bahasa daerahnya dibandingkan Bahasa Indonesia. Jika ditinjau pada jenjang Sekolah Dasar, peserta didik berbahasa daerah cenderung memiliki hasil tes literasi lebih rendah dibandingkan dengan peserta didik yang sehari-harinya menggunakan Bahasa Indonesia.
“Ketika sekolah diberikan kebebasan untuk menyesuaikan kurikulum, mereka bisa lebih cepat beradaptasi dengan kebutuhan siswa di lingkungan mereka. Saat pandemi, sekolah yang memiliki fleksibilitas lebih dalam pengelolaan pembelajaran terbukti mampu memberikan solusi yang lebih baik bagi siswanya” ucap Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Sharfina Indrayadi.
Melihat kondisi yang demikian, implementasi pembelajaran berbasis konteks lokal sangat relevan dengan kondisi geografis dan keragaman budaya Indonesia. Hal ini juga turut mendukung upaya meningkatkan akses terhadap pendidikan berkualitas yang lebih merata. Peningkatan otonomi sekolah sangat dibutuhkan untuk mendukung implementasi pembelajaran berbasis konteks lokal,
Untuk itu, Sharfina menekankan, peran sekolah dalam menjalankan otonominya untuk merencanakan dan mengevaluasi kebutuhan budaya dalam pembelajaran adalah kunci utama. Kesiapan tenaga pendidik menjadi peluang sekaligus tantangan dalam mencapai tujuan pendidikan yang lebih responsif pada budaya.
“Kemampuan kepala sekolah dalam menganalisis dan menetapkan prioritas pendidikan budaya, baik dalam intrakurikuler maupun ekstrakurikuler, menjadi faktor kunci. Di tengah berbagai disrupsi dan kesenjangan pendidikan, peran kepala sekolah dalam merumuskan visi dan misi pembelajaran yang selaras dengan konteks lokal menjadi titik awal utama dalam memastikan sejauh mana budaya yang relevan dengan latar belakang siswa dapat terus terintegrasi dalam kurikulum,” ungkapnya.
Studi CIPS di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur menunjukkan, kota kota seperti Sumba Barat Daya dan Kupang, lebih memerlukan pendampingan bahasa daerah di sekolah untuk meningkatkan pemahaman siswa, terutama dalam tahap awal pembelajaran, serta mendukung kelancaran transisi ke bahasa Indonesia dalam proses pendidikan.
Ia pun menambahkan, penguatan kebijakan yang mendukung otonomi sekolah sangat dibutuhkan untuk mendukung kesuksesan pembelajaran yang mengusung konteks lokal. Otonomi sekolah dalam mengembangkan, menentukan, dan merencanakan kurikulum, idealnya bertujuan untuk membuat pembelajaran berpusat pada kebutuhan murid, termasuk dengan latar belakang budaya.
CIPS merekomendasikan langkah-langkah konkret untuk memperkuat kapasitas sekolah dalam merancang kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Yang pertama adalah, diperlukan adanya penguatan terhadap kewenangan sekolah melalui otonominya. Salah satunya melalui penguatan kapasitas kepemimpinan sekolah, baik melalui Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan yang merupakan pelatihan formal guru.
Upaya penguatan dapat dilakukan dalam bentuk diskusi atau pelatihan informal tingkat daerah seperti melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran dan Kelompok Kerja Guru.
Selain itu, dibutuhkan kerja sama yang berkelanjutan antara sekolah, orang tua, komunitas lokal dan para pemangku kepentingan lainnya yang selaras dengan visi misi sekolah. Revitalisasi komite sekolah dapat dilakukan sebagai salah satu solusi dengan melibatkan perwakilan di luar orang tua, seperti masyarakat adat, komunitas keagamaan dan pemerhati pendidikan, untuk mendukung implementasi kurikulum berbasis budaya. Langkah ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 75/2014 tentang Komite Sekolah.
Terakhir, pelaksanaan otonomi sekolah tidak hanya diikuti fleksibilitas, tetapi juga menuntut akuntabilitas. Akuntabilitas di sini adalah kewajiban semua pihak yang terlibat dalam otonomi sekolah untuk menjalankan proses sesuai dengan kesepakatan dan aturan serta dapat dipertanggungjawabkan.
Akuntabilitas ini tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi juga seluruh komunitas pendidikan. Pemerintah daerah dan masyarakat perlu berperan aktif dalam memastikan capaian dan kapasitas pendidikan di wilayahnya.
Selanjutnya, pemerintah masih perlu mendorong pemerintah daerah dan komunitas untuk bersama-sama mengevaluasi capaian pendidikan serta merumuskan solusi yang sesuai dengan konteks lokal.
“Pada akhirnya, sekolah tetap memiliki independensi dalam menetapkan arah pendidikan. Akan tetapi dengan akuntabilitas kolektif seluruh komunitas di lingkungan sekolah, otonomi sekolah tidak berarti sekolah berjuang sendiri dalam meningkatkan kualitas pembelajaran,” ungkap Sharfina.
Saatnya memberikan ruang bagi sekolah untuk berkembang dan berinovasi. Dengan memperkuat otonomi sekolah, kita tidak hanya menciptakan sistem pendidikan yang lebih adaptif, tetapi juga berproses menjadi sebuah sistem yang fleksibel dan berorientasi pada kebutuhan siswa.
Commentaires