top of page

Kebijakan perdagangan di Indonesia : antara Ambivalensi, Pragmatisme, dan Nasionalisme

Perkembangan Perjanjian Perdagangan dan Hubungan Indonesia dengan WTO

Proteksionisme di Indonesia mulai muncul kembali sejak pertengahan 2000-an, dan belakangan ini meningkat cukup pesat. Di saat yang sama, pemerintah juga semakin aktif mendorong perjanjian perdagangan bebas. Hingga Agustus 2023, Indonesia memiliki 35 perjanjian perdagangan yang telah dirampungkan, 9 perjanjian dalam proses negosiasi, serta 16 usulan perjanjian baru (Gambar 9).


ree

Dari gambar tersebut terlihat bahwa sejak Presiden Joko Widodo menjabat (setelah 2014), upaya Indonesia untuk menandatangani berbagai perjanjian perdagangan meningkat signifikan. Sebagian perjanjian ini bersifat plurilateral (melibatkan banyak negara, misalnya melalui ASEAN), tetapi banyak juga yang bersifat bilateral, yaitu perjanjian perdagangan preferensial (preferential trade agreementĀ atau PTA) antara dua negara saja. Secara umum, PTA resiprokal (timbal balik) dapat meningkatkan kesejahteraan negara-negara yang terlibat. Sebab, perjanjian tersebut dapat mendorong perdagangan serta memberikan manfaat tambahan dengan mengurangi hambatan perdagangan. Namun, PTA juga dapat mengalihkan arus perdagangan (trade diversion). Artinya, negara-negara anggota perjanjian bisa diuntungkan, sementara negara yang tidak ikut serta justru dirugikan (Bhagwati, 2008). Dengan asumsi faktor lainnya tetap, makin sedikit negara yang ikut dalam sebuah perjanjian, makin besar kemungkinan terjadinyapengalihan perdagangan. Oleh karena itu, perjanjian bilateral bisa menimbulkan berbagai masalah, terutama ketika banyak perjanjian saling tumpang tindih.


Karena adanya risiko tersebut, negara-negara kini lebih banyak membuat perjanjian perdagangan berbentuk deep trade agreementsĀ (DTA), yaitu perjanjian yang cakupannya lebih luas dan mendalam daripada PTA. Misalnya, beberapa DTA juga dapat mencakup kesepakatan liberalisasi pasar tenaga kerja—yakni, melonggarkan aturan ketenagakerjaan supaya pekerja dan perusahaan bisa bergerak lebih bebas antara negara-negara yang membuat perjanjian. Berbagai studi menunjukkan bahwa DTA lebih banyak mendorong terciptanya perdagangan baru dan lebih sedikit mengalihkan arus perdagangan, dibandingkan dengan PTA yang aturannya lebih sederhana (Mattoo, Rocha, dan Ruta 2020). Beberapa DTA bilateral yang melibatkan Indonesia adalah perjanjian dengan Jepang, Australia, Uni Emirat Arab, dan Turki. Selain itu, perjanjian regional terbaru yang ditandatangani Indonesia adalah Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic PartnershipĀ atau RCEP), yang melibatkan sepuluh negara anggota ASEAN serta Australia, Selandia Baru, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan.Ā 


Langkah Indonesia yang makin gencar mendorong perjanjian perdagangan dan melakukan reformasi besar untuk membuka arus perdagangan dan investasi yang lebih luas—seperti lewat Undang-Undang (UU) Cipta Kerja—tampak bertolak belakang dengan meningkatnya proteksionisme dan kebijakan industri yang sifatnya sementara (ad hoc), seperti hilirisasi dan substitusi impor.Ā Sikap yang ā€œdua arahā€ ini juga terlihat dalam hubungan Indonesia dengan WTO.


Indonesia termasuk negara yang cukup sering menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa WTO (Tabel 5). Sejak 1995, Indonesia tercatat lebih aktif daripada negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, baik sebagai penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga.


ree

Tabel 6 dan 7 menunjukkan daftar peran Indonesia sebagai penggugat dan tergugat, secara berturut-turut, dalam sengketa WTO. Sebagai pihak penggugat, Indonesia memang pernah memenangkan beberapa kasus, tetapi jumlah yang kalah lebih banyak.Ā Kasus terakhir dalam Tabel 7, yaitu DS592, adalah gugatan Uni Eropa (UE) terhadap larangan ekspor bijih nikel oleh Indonesia, seperti telah dibahas sebelumnya. UE memulai proses konsultasi dengan Indonesia di WTO pada November 2019. Karena tidak mencapai titik temu, pada Januari 2021, UE memohon pembentukan panel WTO untuk memeriksa kasus tersebut. Kasus ini dianggap sebagai kasus besar karena ada 16 anggota WTO lain (termasuk Kanada, Tiongkok, India, dan Amerika Serikat) yang mendaftarkan diri sebagai pihak ketiga. Setelah tiga tahun proses berjalan, pada November 2022, panel memutuskan bahwa Indonesia melanggar aturan WTO. Menanggapi putusan tersebut, Indonesia mengajukan banding pada Desember 2022. Kasus ini masih banyak dibicarakan di Indonesia, sering kali diwarnai pandangan yang emosional dan nasionalis.Ā Namun, penyelesaiannya kemungkinan akan memakan waktu karena Badan Banding WTO (WTO Appellate Body) saat ini sedang nonfungsional.


Sikap Indonesia yang enggan menerima keputusan WTO juga terlihat dalam hubungannya dengan lembaga internasional lainnya. Misalnya, pada Juni 2023, IMF mendesak Indonesia untuk mempertimbangkan pencabutan larangan ekspor bijih mineral (IMF, 2023b). IMF menyambut baik ambisi Indonesia untuk ā€œmeningkatkan nilai tambah ekspor, menarik investasi asing langsung, serta mendorong transfer keterampilan dan teknologiā€. Namun, IMF juga meminta Indonesia untuk mempertimbangkan ā€œmenghapus pembatasan ekspor secara bertahap dan tidak memperluas cakupannya ke komoditas lainā€ (IMF 2023b, 2). Pemerintah Indonesia menolak saran tersebut. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa produksi nikel olahan Indonesia meningkat pesat berkat kebijakan larangan ekspor, dan bahwa kebijakan hilirisasi bukan hanya bertujuan meningkatkan nilai tambah, tetapi juga menjaga kedaulatan negara (Hadi, 2023).


ree

Terjemahan untuk Tabel 6:

TABEL 6. Indonesia sebagai Penggugat dalam Mekanisme Sengketa WTO

ree

Sumber: WTO


ree

Terjemahan untuk Tabel 7:

TABEL 7. Indonesia sebagai Tergugat dalam Mekanisme Sengketa WTO

ree

Sumber: WTO


Neraca Komoditas

Pada Februari 2022, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 32/2022 tentang Neraca Komoditas. Peraturan ini bertujuan membangun basis data (database) nasional yang terpadu berisi informasi pasokan (supply) dan kebutuhan (demand) berbagai komoditas yang diperdagangkan (Gupta, 2022). Inisiatif ini merupakan tindak lanjut dari UU Cipta Kerja (Gupta, Pane, dan Pasaribu, 2022). Tujuannya adalah menyederhanakan dan meningkatkanĀ transparansi prosedur ekspor-impor. Sistem ini diharapkan dapat menyediakan data yang lengkap dan akurat sebagai landasan dalam merumuskan kebijakan ekspor dan impor. Sejauh pengetahuan saya, belum ada negara lain yang menerapkan pendekatan seperti ini.


Pada tahap pertama pelaksanaannya, peraturan ini mencakup lima komoditas utama untuk Neraca Komoditas: beras, daging sapi, gula, garam, dan produk perikanan. Pada tahap berikutnya, komoditas lain dapat dimasukkan sesuai kebutuhan. Perhitungan kebutuhan dibuat berdasarkan laporan perusahaan terkait rencana ekspor dan impor mereka di tahun berikutnya, yang harus disampaikan sebelum bulan September setiap tahun. Sementara itu, perhitungan pasokan disusun oleh kementerian teknis dan harus selesai paling lambat bulan Oktober (Kementerian Pertanian bertanggung jawab atas data beras dan daging sapi, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyediakan data produk perikanan, dan seterusnya).


Perkiraan kebutuhan dan pasokan ini akan diselaraskan setiap Desember. Untuk komoditas primer, bahan baku industri, dan komoditas-komoditas ā€œstrategisā€, penyelarasan data dilakukan melalui rapat koordinasi antarkementerian. Untuk komoditas lain, penetapan peraturannya dilakukan secara otomatis (berdasarkan proyeksi yang sudah ada, tanpa perlu rapat antarkementerian). Dengan demikian, peraturan harus sudah siap di bulan Desember karena akan menjadi dasar penerbitan izin ekspor dan impor tahun berikutnya. Artinya, izin ekspor dapat diberikan jika diperkirakan ada surplus pasokan dalam negeri, dan izin impor dapat diberikan jika diperkirakan terjadi kekurangan.


Sulit untuk melihat bagaimana peraturan ini dapat benar-benar menyederhanakan prosedur ekspor-impor di Indonesia. Sebelum adanya peraturan ini, sistem yang digunakan memang rumit karena importir dan eksportir harus memperoleh surat rekomendasi dari kementerian teknis sebelum bisa mengajukan izin ke Kementerian Perdagangan. Meskipun Neraca Komoditas menghapus kewajiban memperoleh surat rekomendasi tersebut, kementerian teknis tetap harus mengumpulkan data pasokan, sehingga mereka kemungkinan tetap perlu menghubungi perusahaan-perusahaan terkait.


Kedua, data komoditas di Indonesia sejak dulu selalu bermasalah. Peraturan ini mengasumsikan bahwa pemerintah dapat memiliki data yang akurat dan andal, padahal mengumpulkan data tersebut saja tidaklah mudah. Tabel 8 menggambarkan betapa rumitnya persoalan data di Indonesia. Tabel tersebut menunjukkan contoh kasus pasokan dan kebutuhan beras, yang selalu menjadi isu sensitif karena sektor ini sangat dilindungi pemerintah. Angka-angka di tabel tersebut semuanya berasal dari data resmi dan merupakan data aktual, bukan perkiraan. Kolom ke-7 menunjukkan kelebihan pasokan beras—selisih antara produksi dan konsumsi—yang selalu positif setiap tahun. Namun, data impor resmi (kolom terakhir) memperlihatkan bahwa setiap tahun Indonesia tetap mengimpor beras, bahkan terkadang jumlahnya lebih dari 10% konsumsi yang diperkirakan, seperti pada 2011. Singkatnya, peraturan ini rupanya tidak tepat sasaran dan sulit diterapkan sehingga bukannya mendukung kegiatan perdagangan, tetapi justru berpotensi menghambat.


ree

Terjemahan untuk Tabel 8:

TABEL 8. Konsumsi, Produksi, dan Impor Beras di Indonesia


ree

Sumber: Patunru (2021)




Catatan :

Artikel ini ditulis oleh Arianto A. Patunrun dan dipublikasikan oleh The Australian National University. CIPS Learning Hub menerjemahkan dan menggunakannya untuk tujuan pendidikan sebagai referensi bacaan tambahan mahasiswa dalam CIPS Learning Hub Teaching Toolkit. Artikel ini tidak mencerminkan pandangan CIPS.


Komentar


Mengomentari postingan ini tidak tersedia lagi. Hubungi pemilik situs untuk info selengkapnya.
  • Youtube CIPS
  • Twitter CIPS
  • Instagram CIPS
  • LinkedIn CIPS
  • Email CIPS
bottom of page