Kebijakan Moderasi Konten Jangan Hambat Pertumbuhan Ekonomi Digital Nasional
- Center for Indonesian Policy Studies

- 2 Okt
- 2 menit membaca
Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia, yang diprediksi mencapai USD 360 miliar (sekitar Rp5,8 kuadriliun) pada tahun 2030, berdasarkan data Google, Temasek & Bain 2024, terancam stagnan akibat kebijakan konten moderasi yang berlebihan.
Kebijakan moderasi konten yang cenderung terpusat pada kewenangan pemerintah dalam penghapusan konten (take down) menciptakan ketidakpastian, yang berpotensi menghalangiĀ dan menghambat inovasi di sektor teknologi dan ekonomi digital.
āMeskipun telah ada upaya perbaikan, kerangka kerja dalam Peraturan Menkominfo No. 522/2024 masih menyisakan ruang perbaikan serius. Isu utama mencakup keamanan data, transparansi laporan kepada publik, akuntabilitas pemerintah terkait kebijakan moderasi yang adil,ā tegas Peneliti dan Analis Kebijakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Nidhal.
Peraturan tersebut, bersama dengan Keputusan Menkominfo Keputusan Menkominfo No. 172/2024, yang kemudian diubah dengan Keputusan Menkominfo No. 522/2024, yang memperkenalkan Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN), memaksakan kepatuhan ketat platform untuk penghapusan konten di bawah ancaman denda administratif.
Definisi "konten terlarang" yang luas, ditambah kewenangan berlebih pada pemerintah serta kurangnya pedoman jelas untuk kasus abu-abu seperti kritik politik atau satir, menimbulkan kekhawatiran akan penyalahgunaan wewenang dan penyensoran.Ā
Pemusatan kekuasaan negara atas tata kelola konten digital ini secara langsung mengancam kebebasan berekspresi di ruang digital.
SAMAN merupakan sebuah portal terpusat antara Komdigi dan platform yang terdaftar untuk mengelola permintaan penghapusan konten dan melacak pelanggaran.Ā
Nidhal menyoroti bahwa kebijakan ini menjadi kontraproduktif di tengah situasi ekosistem startup yang menghadapi penurunan pendanaan kritis, dari USD 10.9 miliar (Rp 174 triliun) pada 2021 menjadi hanya USD 800 juta (Rp 13 triliun) pada 2024.Ā
Investor mencari stabilitas dan transparansi sebelum menanamkan modal. Kebijakan moderasi yang kabur dikhawatirkan dapat mengaburkan keadaan pasar sesungguhnya dan membuka peluang manipulasi data.
Belum lagi akses ke informasi yang dapat diandalkan sebelum menanamkan modal di suatu negara juga menjadi kabur, seperti yang terlihat pada kasus implementasi undang-undang Network Enforcement Act (NetzDG) di Jerman pada 2017 yang memicu penurunanĀ investasi ventura (tahap akhir) ke perusahaan media sosial Jerman dari sekitarUSD 85 juta (Rp 1,36 triliun) menjadi hanya USD 30 juta (Rp 480 miliar) dalam tiga tahun.
Oleh karena itu, penelitian CIPS merekomendasikan perlunya pendekatan yang lebih seimbang dan transparan. Untuk menyeimbangkan antara kewajiban memoderasi konten dan pelindungan hak-hak asasi, para pembuat kebijakan harus bergeser dari langkah-langkah yang berfokus pada pemenuhan hak asasi, termasuk menetapkan definisi konten yang jelas dan mengikuti proses hukum yang semestinya.Ā
āPemerintah perlu menerapkan model tata kelola bersama (co-governance) yang bermakna yang melibatkan pemangku kepentingan dari pemerintah, platform digital, asosiasi industri, masyarakat sipil, akademisi, dan pakar independen di seluruh proses pengembangan kebijakan perlu terus dijalankan,ā urainya.
Kerangka kerja partisipatif yang mengadopsi prinsip internet terbuka dan pendekatan hak asasi manusia akan meningkatkan legitimasi, transparansi, dan menciptakan ekosistem digital yang aman, inovatif, dan pada akhirnya, akan mendorong pertumbuhan di sektor ini.Ā








Komentar