Indonesia, dengan demokrasinya yang dinamis dan keragaman budayanya, mengalami lonjakan besar dalam penetrasi internet. Hal ini tentu membuka cakrawala baru dalam berekspresi dan berinteraksi. Namun, bersama dengan kemajuan pesat ini, muncul tantangan baru bagi para pembuat kebijakan untuk menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan kebutuhan akan ketertiban dan keamanan.
Dua prakarsa kunci yang memengaruhi diskusi online di Indonesia adalah, Permenkominfo 5/2020 dan Dewan Media Sosial. Keduanya memainkan peran penting dalam membentuk kontur diskursus online di Indonesia, namun juga menyoroti rumitnya tantangan mengelola kebebasan berekspresi di era digital dalam lingkungan masyarakat yang demokratis.
Menjaga Keseimbangan: Kebebasan vs. Regulasi
Di suatu sisi, ada kebutuhan untuk melindungi pengguna dari konten yang berbahaya dan
disinformasi. Di sisi lain, penting untuk menjaga kebebasan berekspresi agar tidak terjebak
dalam sensor berlebihan.
Permenkominfo No. 5/2020 yang mulai diberlakukan pada November 2020, berfokus pada moderasi konten di platform digital dan media sosial.
Beberapa poin penting dari peraturan ini meliputi:
Penghapusan Konten : Platform media sosial wajib menghapus konten yang dianggap melanggar hukum dalam waktu 24 jam setelah menerima pemberitahuan dari pemerintah.
Akses Data Pengguna : Pemerintah berhak meminta akses ke data pribadi pengguna untuk tujuan pengawasan.
Sanksi : Platform yang tidak mematuhi peraturan ini dapat dikenakan sanksi administratif, termasuk denda hingga pemblokiran akses.
Meski bertujuan untuk melindungi pengguna, regulasi ini menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi sensor dan pelanggaran kebebasan berekspresi. Definisi “konten berbahaya” atau “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum” yang terlalu luas dikhawatirkan bisa digunakan untuk membungkam pendapat dan menekan kritik terhadap pemerintah.
Kekhawatiran yang terkait dengan penerapan Permenkominfo No. 5/2020 antara lain adalah:
Platform media sosial akan cenderung menghapus konten yang berada di area abu-abu demi menghindari sanksi, sehingga berisiko membatasi kebebasan berekspresi.
Akses pemerintah ke data pribadi pengguna menimbulkan kekhawatiran tentang privasi dan potensi penyalahgunaan data.
Peraturan ini dapat digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan mengawasi aktivitas online masyarakat.
Dewan Media Sosial: Menggandeng Kolaborasi atau Kontrol?
Dewan Media Sosial (DMS) dibentuk untuk menjadi mediator dalam sengketa konten dan memastikan kebebasan berekspresi di ruang digital. Didirikan pemerintah sejak 2020, DMS bertugas untuk memfasilitasi dialog antara pemerintah, platform media sosial dan organisasi madani. Dewan ini bertujuan untuk menjaga kebebasan berekspresi sambil mendorong perilaku online yang bertanggung jawab dan menangani isu-isu terkait konten berbahaya.
Meski sudah mendorong kolaborasi antar pemangku kepentingan dan mengembangkan pedoman moderasi konten, DMS juga menghadapi tantangan. Sebagai lembaga yang ditunjuk untuk menangani keluhan dan seketa konten online, muncul kekhawatiran mengenai transparansi dan independensi dewan. Beberapa tantangan dan kritik yang mengulas titik lemah DMS, antara lain:
Salah satu kekhawatiran utama adalah kurangnya transparansi dari anggota dewan. Pengkritik juga menilai bahwa proses pengambilan keputusan tidak cukup terbuka pada publik, yang membuka potensi sensor atau pengaruh yang tidak seharusnya dari pihak yang kuat.
Meskipun DMS bertujuan mendorong perilaku online yang bertanggung jawab dan menangani konten berbahaya, ada risiko pedoman dapat digunakan untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berekspresi.
DMS tidak memiliki kewenangan langsung dalam menegakkan aturan, sehingga bergantung pada ketaatan sukarela platform media sosial dan pemerintah untuk melaksanakan pedomannya. Ini membuat penerapan keputusan lebih sulit.
Terdapat kekhawatiran bahwa Dewan Media Sosial dapat dipengaruhi oleh perusahaan media sosial besar atau bahkan kepentingan pemerintah, yang dapat memengaruhi keputusan mereka dan lebih menguntungkan pihak tertentu daripada kepentingan umum.
Jangkauan DMS terbatas, sehingga mungkin sulit menangani isu-isu yang muncul di platform-platform media sosial kecil atau kurang dikenal.
Melangkah Maju: Menjaga Kebebasan Berekspresi di Era Digital
Permenkominfo No. 5/2020 dan pembentukan Dewan Media Sosial memiliki implikasi besar terhadap kebebasan berekspresi di media sosial di Indonesia. Masa depan kebebasan berekspresi di Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Sementara kedua kebijakan
ini dibuat untuk menciptakan lingkungan online yang lebih aman, ada risiko pengawasan berlebihan dan potensi pembatasan kebebasan berekspresi yang tidak dapat diabaikan.Oleh karena itu, penting untuk memastikan penerapan regulasi ini dilakukan dengan transparan, akuntabel, serta melibatkan partisipasi dari berbagai pemangku kepentingan untuk menjaga keseimbangan antara keamanan dan kebebasan.
Keberhasilan upaya Indonesia untuk mencari keseimbangan antara kepentingan-kepentingan ini bergantung pada efektivitas kerangka kerja regulatorisnya, transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan komitmen semua pemangku kepentingan dalam mendorong perilaku online yang bertanggung jawab.
Yorumlar