top of page

Kebebasan Berekspresi Jangan Sampai Terhalang Moderasi Konten

Kebijakan moderasi konten, yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 dan peraturan pelaksanaannya, Keputusan Menkominfo Nomor 522 Tahun 2024, jangan sampai menghalangi kebebasan berekspresi di ruang digital.


Bergesernya konsumsi informasi masyarakat dari media konvensional (cetak, televisi radio, dan daring) ke platform sosial media turut menempatkan media dan pengguna platform pada posisi yang rawan dan rentan terhadap moderasi konten, baik yang terdapat dalam pedoman komunitas platform maupun yang diatur dalam regulasi pemerintah, seperti UU ITE (No. 1/2024), Permenkominfo No. 5/2020 dan Kepmenkominfo No. 522/2024 yang melahirkan Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN).


ā€œPergeseran ini berdampak cukup signifikan bagi industri media, terutama mereka yang tergolong homeless media. Secara umum, homeless media ini sangat bergantung dengan platform media sosial sebagai sumber informasi sekaligus basis bisnis mereka, sehingga kepatuhan terhadap kebijakan konten di ruang digital menjadi prasyarat penting,ā€ jelas Peneliti dan Analis Kebijakan center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Nidhal.


Homeless media adalah media alternatif yang tidak memiliki basis atau platform tetap. Mereka memanfaatkan platform digital untuk menyampaikan informasi secara cepat dan luas. Homeless media telah muncul sebagai sumber berita yang penting karena kecepatan dan relevansinya secara lokal.


Moderasi konten wajib dilaksanakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat atau setiap orang, badan usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola dan/atau mengoperasikan sistem elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain’ sebagaimana terdapat dalam Permenkominfo No. 5/2020 Pasal 1 ayat 5.


Salah satu risiko dari regulasi moderasi konten saat ini adalah luasnya cakupan definisi ā€œkonten terlarangā€, terpusatnya proses penghapusan di tangan pemerintah, terbatasnya mekanisme moderasi pada penghapusan, serta belum adanya pedoman yang jelas untuk menangani konten ā€œabu-abuā€, seperti kritik politik atau satire. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan wewenang.Ā 


Di satu sisi, moderasi konten yang lemah berisiko mengakibatkan penyebaran konten berbahaya. Tetapi moderasi konten yang ketat justru dapat berujung pada penyensoran yang berlebihan oleh platform sebagai upaya mematuhi regulasi sekaligus menghindari sanksi denda mencapai 500 juta per konten sesuai mandat Kepmenkominfo No. 522/2024.


Sementara itu, mekanisme pelaporan dapat dilakukan oleh masyarakat, kementerian/lembaga, aparat penegak hukum dan/atau lembaga peradilan. PSE lingkup privat atau platform digital yang diperintahkan untuk melakukan pemutusan akses untuk konten yang dilarang wajib menghapusnya paling lambat 24 jam setelah surat perintah diterima (Pasal 15 ayat 6).Ā 


Permohonan dianggap bersifat mendesak apabila terkait dengan terorisme, pornografi anak, atau konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum (Pasal 14). Konten mendesak harus diputus aksesnya paling lambat empat jam sejak peringatan diterima (Pasal 15 ayat 8).


Untuk pelaporan yang diterima dari masyarakat, jika platform tidak melaksanakan pemutusan akses, maka Menteri dapat melakukan pemutusan akses terhadap sistem setelah mempertimbangkan alasan yang diajukan oleh PSE Lingkup Privat (Pasal 15 Ayat 7, 9, dan 12).Ā 


Homeless media, dengan sumber daya yang terbatas, harus memastikan setiap konten sesuai dengan kebijakan platform regulasi yang berlaku agar terhindar dari pemblokiran akses. Terlebih, kurangnya sosialisasi dan masih adanya ketidakpahaman komunitas media dan pengguna platform terkait batasan konten yang masih ā€˜karet’, sebagaimana terdapat dalam Pasal 9 Ayat (4)b Permenkominfo No. 5/2020, dapat mengancam keberlangsungan media serta membatasi kebebasan berekspresi di ruang daring.


Agar moderasi konten tetap berjalan tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi, setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan pemerintah. Pertama, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) perlu mendefinisikan ulang klausul "meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum" pada Pasal 9 Ayat (4)b Permenkominfo No. 5/2020 dengan kriteria yang lebih sempit dan bahasa hukum yang tepat sehingga platform mengetahui dengan pasti apa yang harus diawasi.


Kedua, sebaiknya disediakan mekanisme uji keberatan atau banding melalui lembaga netral, seperti pengadilan. Hal ini penting untuk menjamin pelindungan hak dasar dari pengguna maupun platform.


Mekanisme ini dapat berupa proses pra-peradilan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, atau lewat forum pengujian atas keputusan hak akses melalui pengadilan tata usaha negara.


Terakhir, komitmen pemerintah untuk memperkuat tata kelola bersama pemangku kepentingan, disertai transparansi dan pengawasan publik yang lebih kuat. Hal ini mendesak dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan dan akuntabilitas pemerintah maupun penyelenggara PSE dalam aktivitas moderasi konten, serta memastikan tidak adanya penyalahgunaan kewenangan dari keduanya.


Komentar


Mengomentari postingan ini tidak tersedia lagi. Hubungi pemilik situs untuk info selengkapnya.
  • Youtube CIPS
  • Twitter CIPS
  • Instagram CIPS
  • LinkedIn CIPS
  • Email CIPS
bottom of page