top of page
  • Gambar penulisHasran

Ironi Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan bagi Industri Kecil

Pertama kali dipublikasikan oleh Katadata (2/11/2022)



Rencana penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) masih menuai pro dan kontra. Di tengah isu itu, industri kecil dan menengah (IKM) semestinya perlu dibebaskan dari cukai MBDK. Sebab, kebijakan ini dapat mempengaruhi kinerja industri makanan dan minuman dalam bentuk penurunan volume penjualan dan kenaikan harga.


Selain itu, kebijakan ini menambah beban konsumen karena perusahaan tidak dapat menghindari cukai dan tidak mereformulasi minumannya. Cukai akan didistribusikan ke konsumen secara langsung melalui instrumen kenaikan harga. Hal ini berpotensi mengurangi minat konsumen dalam mengonsumsi produk.


Apa Itu Cukai MBDK?

Kementerian Keuangan sedang menggodok rencana penerapan cukai terhadap MBDK. Langkah ini merupakan respons terhadap peningkatan kasus obesitas dan diabetes di Indonesia sekaligus respons terhadap tuntutan masyarakat seiring meningkatnya kesadaran tentang bahaya minuman berpemanis bagi kesehatan dan kebutuhan hidup sehat.


Dengan demikian, ojek barang kena cukai (BKC) di Indonesia kini semakin bertambah selain cukai hasil tembakau (CHT), cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) dan cukai etil alkohol (EA). Cukai adalah instrumen untuk mengatur peredaran barang yang memiliki eksternalitas negatif. Minuman berpemanis berkontribusi terhadap peningkatan obesitas, diabetes dan pasien serangan jantung di Indonesia.


Bahkan, data BPJS menunjukkan bahwa sebagian besar dana BPJS dialokasikan untuk membiayai pengobatan tiga penyakit tersebut. Dengan demikian, alasan di balik penerapan cukai ini murni karena kesehatan dan bukan faktor ekonomi.


Bagi hasil dari pungutan cukai ini rencananya dialokasikan untuk membiayai dampak negatif yang ditimbulkan dari konsumsi minuman berpemanis dan sejenisnya.


Implementasi dan Tarif Cukai MBDK Cukai

MBDK merupakan wacana lama yang implementasinya direncanakan pada 2023. Target pencanangan tersebut mempertimbangkan kondisi pemulihan ekonomi nasional dan daya beli masyarakat. Besaran tarif yang akan dikenakan juga belum ditetapkan hingga saat ini oleh pemerintah karena dasar penentuannya membutuhkan perhitungan yang cermat.


Walaupun demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani di 2020 lalu telah mengusulkan tiga jenis minuman berpemanis yang akan dikenakan tarif MBDK, yaitu teh kemasan dengan tarif Rp 1.500 per liter, minuman berkarbonasi Rp 2.500 per liter, serta minuman berenergi dan kopi konsentrat sebesar Rp 2.500 per liter. Dengan tarif tersebut, potensi penerimaan negara bertambah Rp 6,25 triliun per tahun.


Pengenaan tarif cukai minuman berpemanis juga akan didasarkan pada kandungan gula dan pemanis buatan yang terdapat di dalamnya. Semakin tinggi kadar gulanya maka semakin tinggi juga besaran cukai yang akan dikenakan.


Kemungkinan besar industri besar dan sedang (IBS) sektor makanan minuman akan memilih untuk mereformulasi resep minumannya dengan kadar gula yang lebih rendah. Namun, perusahaan juga membutuhkan waktu untuk mengambil langkah ini mengingat risiko yang ditimbulkan juga cukup signifikan.


Perubahan cita rasa akan ikut mengurangi minat konsumen dan hal ini tentu berdampak pada volume penjualan.


Terkait hal ini, pemerintah perlu memberikan kepastian waktu penerapan cukai MBDK terlepas dari kondisi apapun yang akan dihadapi Indonesia. Kepastian waktu ini juga penting untuk menghilangkan uncertainty atau ketidakpastian yang berpotensi mempengaruhi sikap investor IBS sektor makanan dan minuman.


Kinerja Industri Kecil dan Mikro pada Sektor Makanan dan Minuman

Data BPS menunjukkan, industri makanan dan minuman merupakan industri pengolahan yang tumbuh positif selama pandemi Covid-19. Selama empat triwulan berturut- turut di tahun 2020, kontribusinya terhadap GDP Indonesia tumbuh masing-masing sebesar 3,94 %, 0,22 %, 0,66 %, dan 1,66 % secara tahunan (y-o-y).


Namun peningkatan ini ditopang oleh pertumbuhan pada IBS yang hanya satu persen dari total unit usaha industri makanan minuman di seluruh Indonesia.


Secara kuantitas, 99 persen perusahaan di sektor ini didominasi oleh IKM. Produk yang dihasilkan oleh IKM makanan minuman di antaranya adalah produk olahan teh, susu sapi segar, dan minuman berpemanis lainnya.


Saat pandemi Covid-19 merebak, kinerja IKM sektor makanan dan minuman menunjukkan performa kurang memuaskan dan banyak dari mereka terpaksa harus menutup usahanya.


Data BPS menunjukkan bahwa pada 2020 industri kecil dana mikro sektor minuman mengalami penurunan produksi selama empat triwulan berturut-turut yaitu sebesar -1,63 %, -6,20 %, -8,72 %, dan -9,16 % secara tahunan. Begitu juga dengan produksi IBS sektor makanan menurun tiap triwulannya sebesar -5,64 %, -11,80 %, -11,47 %, dan -8,99 % secara tahunan.


Ketika ekonomi nasional mulai pulih, banyak pelaku usaha sektor ini yang kembali mengoperasikan usahanya. Namun mereka kembali dihadapkan dengan tantangan lain, seperti kenaikan harga BBM bersubsidi yang mengerek biaya produksi mereka. Tarif MBDK yang akan diberlakukan nanti sudah pasti semakin menambah beban pada biaya produksi mereka.


Sejauh ini posisi IKM sektor makanan dan minuman dalam cukai MBDK belum jelas karena subyek cukai MBDK belum ditetapkan. Namun, apabila subyeknya diperluas ke IKM, kebijakan ini akan menambah beban yang ditimbulkan oleh pandemi dan kenaikan harga BBM bersubsidi.


Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk membebaskan IKM pada sektor ini dari cukai MBDK.


Dasar Penentuan Tarif Cukai

Pemerintah juga perlu menghitung tarif yang matang dan komprehensif. Tarif yang terlalu tinggi akan mengurangi volume penjualan secara signifikan. Sedangkan tarif cukai yang terlalu rendah justru tidak efektif menurunkan jumlah penderita diabetes dan obesitas. Perhitungan tarif yang matang diperlukan agar tidak memperparah kenaikan inflasi yang sudah ada.


Perhitungan tarif yang matang diperlukan agar tidak memperparah kenaikan inflasi yang sudah ada.


Selain itu, perhitungan tarif juga perlu mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan terhadap usaha kecil dan mikro (UKM) perdagangan seperti toko kelontong yang merupakan penampung produk minuman olahan.


Ketika minuman berpemanis pertama kali keluar dari pabrik, toko ritel besar adalah penampung utamanya. Toko kelontong, baik formal maupun informal, kemudian akan membeli persediaan dari toko ritel besar ini.


Ketika sampai ke tangan toko kelontong, mau tidak mau harga jualnya juga perlu dinaikkan. Tingginya harga jual ini membuat mereka tidak akan mampu bersaing terutama dengan toko ritel besar lainnya yang bisa menjual dengan harga murah.


Ada ironi dalam kebijakan ini. Implementasi cukai MBDK dinilai dapat menjadi instrumen terbaik dalam mengurangi dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh minuman berpemanis. Namun kebijakan ini juga dapat memangkas kinerja industri makanan dan minuman, satu sektor yang pertumbuhannya positif selama pandemi.


Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan agar IKM sektor makanan dan minuman dibebaskan dari subyek cukai MBDK. Walaupun demikian, mereka tetap harus turut berkontribusi dalam upaya penurunan kasus obesitas dan diabetes di Indonesia melalui pencantuman informasi kandungan gula dalam produk dan edukasi terkait konsumsi pemanis yang aman untuk kesehatan.


Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page