Gig economy: Kebebasan yang Membebaskan Kesejahteraan?
- Alwan Setiawan
- 17 jam yang lalu
- 5 menit membaca
Gig economyĀ telah mengubah cara masyarakat bekerja, menawarkan fleksibilitas tetapi juga menghadirkan tantangan baru. Saat ini, tenaga kerja tidak lagi terbatas pada individu yang bekerja di bawah perusahaan atau korporasi tertentu. Paradigma kerja berubah seiring dengan kemajuan teknologi digital yang semakin terbuka dan mudah diakses. Gig economyĀ muncul sebagai sistem kerja yang menawarkan kebebasan bagi pekerja, tetapi kebebasan ini tidak selalu berarti kesejahteraan yang terjamin. Diperlukan adanya pendekatan yang memperhatikan keseimbangan kerja gig economy yang digadangĀ sebagai sebuah kerangka kerja masa depan (Sargeant, 2017).
Menurut data BPS Agustus 2024, sebanyak 57,95 persen atau sekitar 83,8 juta pekerja di Indonesia tergolong sebagai pekerja informal, termasuk gigĀ workers. Jumlah ini terus meningkat seiring dengan berkembangnya platform teknologi yang memfasilitasi pekerjaan berbasis gigĀ economy. Menurut surveiĀ Research Institute of Socio-Economic DevelopmentĀ (RISED), fleksibilitas waktu menjadi alasan utama seseorang memilih menjadi gig Ā worker, terutama dalam sektor transportasi daring. Survei Fiverr juga mencatat bahwa alasan lainnya termasuk keinginan untuk mencapai kenyamanan finansial (44%), bekerja dari mana saja (30%), memiliki bisnis sendiri (25%), dan pensiun dini (20%).
Namun, di balik fleksibilitas yang ditawarkan, gig economyĀ memunculkan perdebatan terkait stabilitas pekerjaan dan hak tenaga kerja. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa, gigĀ economyĀ sering kali berkontribusi terhadap meningkatnya ketidakamanan kerja, hilangnya tunjangan, serta tidak adanya jalur karier yang jelas (Healy et al., 2017). Banyak perusahaan platform memanfaatkan celah hukum untuk menghindari kewajiban sebagai pemberi kerja, misalnya dengan mengklasifikasikan gig workersĀ sebagai kontraktor independen tanpa akses terhadap hak tenaga kerja seperti cuti sakit, cuti tahunan, dan perlindungan sosial (Bajwa et al., 2018; Minter, 2017).
Tantangan terbesar dalam gig economyĀ adalah bagaimana menciptakan keseimbangan antara fleksibilitas kerja dan perlindungan tenaga kerja
Dalam konteks Indonesia, tantangan terbesar dalam gig economyĀ adalah bagaimana menciptakan keseimbangan antara fleksibilitas kerja dan perlindungan tenaga kerja. Banyak perusahaan platform diduga menerapkan praktik ākontrak palsuā untuk menghindari kewajiban terhadap pekerja, termasuk tidak memberikan dana pensiun atau tunjangan kesehatan (Bornstein, 2015). Selain itu, pekerja gigĀ umumnya memiliki keterbatasan dalam meningkatkan keterampilan dan pendapatan, berbeda dengan pekerja tetap yang memiliki jalur karier lebih jelas (Palhad, 2023). Ketidakamanan dalam pekerjaan dan pendapatan, hilangnya tunjangan dalam pekerjaan, dan terpecahnya jalur karier internal dan eksternal juga salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam kerangka gig economy (Healy et al., 2017).
Sebagai solusi dalam penetapan klasifikasi pekerja gigĀ di pasar tenaga kerja, salah satu pendekatan yang dapat diadaptasi adalah Undang-Undang AB5Ā di California. Peraturan ini mengharuskan perusahaan untuk mengklasifikasikan pekerja gigĀ sebagai karyawan apabila mereka tidak memenuhi kriteria tertentu melalui apa yang disebut "ABC Test." Tes ini menyaratkan bahwa seorang pekerja harus: pertama, bebas dari kendali atau arahan perusahaan dalam melaksanakan pekerjaan. Kedua,Ā melakukan pekerjaan di luar kegiatan utama perusahaan. Ketiga secara rutin menjalankan bisnis independen sejenis dengan pekerjaan yang dilakukan untuk perusahaan tersebut. Jika salah satu kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka pekerja tersebut harus diakui sebagai karyawan dan berhak atas perlindungan serta tunjangan seperti upah minimum, jaminan kesehatan, dan hak cuti. Pemerintah Indonesia mungkin menerapkan kebijakan ini sebagai dasar untuk kembali menetapkan secara jelas perbedaan pekerja gig dan karyawan dengan tetap menjamin kebebasan dan kesejahteraannya.Ā
Lalu, untuk menyelesaikan permasalahan terkait upah minimum dan peningkatan karir kita bisa mencontoh Progressive Wage ModelĀ (PWM)Ā yang diterapkan di Singapura. PWM dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja gig economyĀ secara sistematis melalui struktur jenjang karier yang jelas. Model ini mengatur kenaikan gaji berdasarkan level keterampilan dan pengalaman pekerja, serta mewajibkan pelatihan bagi mereka yang ingin naik jenjang. Misalnya, pekerja di tingkat entry-levelĀ mendapatkan gaji dasar 1.400 SGD per bulan, dengan peluang naik ke tingkat berikutnya setelah menyelesaikan pelatihan dan bekerja minimal 12 bulan.
Sistem pengembangan keterampilan dalam PWM juga didesain secara komprehensif dengan beberapa kategori modul pelatihan. Modul Dasar mencakup keselamatan kerja, layanan pelanggan, dan penggunaan teknologi. Modul Lanjutan fokus pada penanganan situasi darurat, komunikasi efektif, dan manajemen konflik. Sedangkan Modul Kepemimpinan diarahkan untuk pengembangan kemampuan supervisor, manajemen kualitas, dan coaching. Setiap modul memiliki sistem penilaian dan sertifikasi yang ketat untuk memastikan standar kompetensi terjaga. Hal ini tentunya merupakan program serta kebijakan yang mencakup bagaimana para gig workers tidak hanya mendapatkan range pendapatan yang sesuai, namun juga peningkatan dari skill serta pengetahuannya.
Meskipun kondisi tenaga kerja di Singapura dan Indonesia berbeda, prinsip dasar dari PWM dapat diterapkan dalam bentuk kebijakan yang disesuaikan dengan karakteristik tenaga kerja Indonesia. Salah satu mekanisme yang dapat digunakan adalah dengan menghubungkan peningkatan upah dengan pelatihan keterampilan, misalnya pekerja transportasi daring yang telah mengikuti pelatihan safety ridingĀ atau layanan pelanggan dapat menerima insentif tambahan. Ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan pekerja tetapi juga meningkatkan standar layanan secara keseluruhan.Ā
Selain itu, penting untuk meningkatkan transparansi dalam kontrak kerja gig workersĀ guna menghindari praktik kontrak palsu. Kontrak kerja yang lebih jelas akan membantu pekerja memahami hak dan kewajibannya tanpa menghilangkan fleksibilitas yang menjadi daya tarik utama gig economy. Dalam hal ini, pengembangan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021Ā tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya, waktu kerja, dan waktu istirahat, serta pemutusan hubungan kerja dapat menjadi dasar hukum untuk melindungi pekerja gig. Peraturan yang mengatur kewajiban pemberi kerja dalam menyediakan kontrak kerja yang jelas serta hak-hak dasar tenaga kerja, termasuk kompensasi dan jaminan sosial. Implementasi peraturan ini pada sektor gig economyĀ dapat membantu memastikan bahwa, fleksibilitas kerja tidak mengorbankan perlindungan tenaga kerja. Kita bisa mencontoh bagaimana kebijakan Fair Work ActĀ oleh Australia membuat pekerja gig economy sebagai employee-like workers yang merumuskan minimum gaji serta perlindungan PHK dari platform yang bersangkutan.Ā
Kebijakan seperti ABC Test, PWM, dan Fair Work Act bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi lokal.
Sebagai fenomena yang terus berkembang, gigĀ economyĀ menawarkan kebebasan bagi pekerja, tetapi juga menimbulkan tantangan struktural yang harus diatasi. Kebijakan seperti ABC Test, PWM, dan Fair Work Act bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi lokal. Pertanyaan lebih lanjut adalah sejauh mana fleksibilitas dalam gig economyĀ dapat dipertahankan tanpa mengorbankan kesejahteraan pekerja? Apakah pemerintah dan perusahaan platform siap mengambil langkah nyata untuk menciptakan keseimbangan antara kebebasan kerja dan perlindungan tenaga kerja? Jika tidak ada intervensi yang jelas, gig economyĀ tentunya bisa menjadi jebakan baru yang memperparah ketidakpastian pekerja, tidak sebagai solusi bagi masa depan dunia kerja.
Referensi
Bajwa, U., Gastaldo, D., Di Ruggiero, E., & Knorr, L. (2018). The Health of Workers in The Global Gig Economy. Globalization and Health, 14(1), 124. https://doi.org/10.1186/s12992-018-0444-8
Bornstein, J. (2015, August 25). The great Uber fairness fallacy: as a driver, how do you bargain with an app? Theguardian.Com. https://www.theguardian.com/technology/2015/aug/24/uber-fairness-independent-contractors-employees-rights
Healy, J., Nicholson, D., & Pekarek, A. (2017). Should we take the gig economy seriously? Labour & Industry: A Journal of the Social and Economic Relations of Work, 27(3), 232ā248. https://doi.org/10.1080/10301763.2017.1377048
Minter, K. (2017). Negotiating labour standards in the gig economy: Airtasker and Unions New South Wales. The Economic and Labour Relations Review, 28(3), 438ā454. https://doi.org/10.1177/1035304617724305
Palhad, S. (2023). The experience of South African gig workers in acquiring and transferring skillsĀ [Durban University of Technology]. https://doi.org/10.51415/10321/5098
Sargeant, M. (2017). The gig economy and the future of work. E-Journal of International and Comparative Labour Studies.
Catatan
Esai ini ditulis oleh Alwan Setiawan, Pemenang Kompetisi Esai Bebas Cari Uang. Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak mewakili CIPS.
Opmerkingen