Dear Retailer dan Produsen Lokal: Jastip Bukan Masalahnya
- Rasya Athalla
- 28 Jul
- 5 menit membaca
Diperbarui: 28 Jul
"Mereka bilang tidak adil, tapi ini bisnis: kalau ada celah, pasti ada yang memanfaatkan. Kalau mereka menyalahkan kami karena produk luar negeri lebih bagus, kenapa mereka tidak bikin yang bagus juga?"
(Wawancara dengan vendor jastip produk fashionĀ dari Thailand, menanggapi kritik dari retailer dan produsen lokal)
Pernahkah Anda meminta teman atau keluarga untuk membelikan barang saatĀ mereka bepergian ke luar negeri? Jika ya, Anda telah berpartisipasi dalam sistem Jasa Titip (Jastip).
Jastip, yang juga sering dianggap sebagai "personal shopper," telah menjadi jalur impor alternatif yang berkembang cukup signifikan di Indonesia. Model bisnis yang didorong media sosial ini, terutama melalui kemunculan live streaming, telah memicu kegusaran pedagang konvensional yang melihat pangsa pasar mereka tergerus oleh produk luar negeri yang lebih murah.Ā
Terlepas dari kritik tersebut, jastip menawarkan keunggulan yang tak terbantahkan dibandingkan metode impor tradisional, seperti kemudahan, fleksibilitas dan seringkali harga yang lebih terjangkau.
Survei tahun 2017 (Grafik 1) mengidentifikasi tren fashion, elektronik dan kosmetik sebagai barang Jastip paling populer. Barang-barang ini bahkan tetap diminati hingga hari ini. Makanan juga menjadi andalan, dengan tren masa lalu, seperti camilan salted eggĀ dari Singapura, roti susu dari Thailand dan coklat Dubai.
Graph 1. Jastip survey result, grouped by gender (2017)

Source: Jakpat survey (2017), compiled by Adi Ahdiat in Databoks (2024)
Dorongan Untuk Membuat Kebijakan Terkait Jastip
Retailer dan produsen, khususnya Asosiasi Pedagang Ritel Indonesia (APRINDO), telah mendorong adanya regulasi jastip yang lebih ketat. Mereka berargumen bahwa vendor menghindari bea cukai dan menciptakan persaingan tidak sehat (Hasiana, 2024; Catriana & Sukmana, 2024).Ā
Kementerian Perdagangan (Kemendag) memperkenalkan Permendag No. 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, memperketat pembatasan impor barang yang dibawa tangan (hand-carried). Namun, di bawah tekanan pekerja migran, Kemendag melonggarkan aturan ini dengan Permendag No. 7 Tahun 2024 (Perubahan Kedua atas Permendag No. 36 Tahun 2023), memungkinkan wisatawan membawa barang tanpa batas selama mematuhi aturan bea cukai (Suwastoyo, 2024).
Meski sudah ada regulasi, vendor jastip cukup adaptif untuk menemukan celah hukum. Penegakan langkah-langkah yang lebih ketat akan mahal dan tidak praktis karena petugas bea cukai tidak mudah menentukan apakah barang wisatawan untuk penggunaan pribadi atau dijual kembali (Al Hasan, 2024).Ā
Akar Masalah
Daripada fokus mengendalikan jastip, pemangku kebijakan harus mengatasi sumber permasalahan yang mendasar, yaitu permintaan konsumen yang tidak terpenuhi akan barang yang beragam, berkualitas tinggi dengan harga jual yang kompetitif. Jika saluran ritel resmi dapat memenuhi permintaan ini, ketergantungan pada jastip secara alami akan menurun.
Kebijakan impor yang restriktif tidak berhasil mencapai tujuan meningkatkan kinerja industri lokal. Sebaliknya, mereka mendorong konsumen menuju pasar informal seperti jastip. Pembatasan impor mengurangi variasi produk, meningkatkan biaya dan dapat menurunkan kualitas. Dampak-dampak tadi justru mengurangi minat konsumen (Takahashi, 2021; Francois et al., 2014).Ā
Selanjutnya, biaya jastip, yang mencakup perjalanan, penyimpanan, dan pengiriman, menaikkan harga jual, yang secara tidak langsung mempengaruhi daya beli konsumen berpenghasilan rendah yang memiliki alternatif lebih sedikit (Revindo, Siregar, & Yuliana, 2024).
Asumsi bahwa membatasi impor akan memperkuat industri domestik adalah keliru. Kebijakan proteksionis dapat menyebabkan stagnasi, karena produsen lokal yang terlindungi dari persaingan mungkin tidak memiliki insentif untuk berinovasi (Akcigit, Ates & Impullitti, 2018). Mereka berisiko memicu retaliasi yang membatasi akses Indonesia ke pasar global, dan kemudian mendorong terciptanya jalur impor abu-abu legal seperti jastip.
Pendekatan yang Lebih Baik
Para pemangku kebijakan harus menilai kembali kebijakan yang menghambat akses terhadap barang impor, terutama ketika alternatif lokal yang layak tidak tersedia. Alih-alih pembatasan menyeluruh seperti yang tertuang di dalam Permendag No. 36 Tahun 2023, regulator harus mendorong terciptanya level playing fieldĀ di mana bisnis tumbuh melalui inovasi dengan persaingan yang setara, bukan proteksionisme.Ā
Pelonggaran proteksionisme, seperti yang telah dituangkan di dalam Permendag 7/2024 merupakan langkah baik untuk memberikan akses yang lebih luas bagi konsumen untuk mendapatkan produk berkualitas. Selain itu, pelonggaran ini juga diharapkan dapat mendorong pelaku usaha lokal untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi produk mereka agar dapat bersaing secara sehat, bukan semata bergantung pada perlindungan pasar. Regulator dapat mengambil langkah lebih jauh dengan menghadapi kurangnya daya saing sebagai akar penyebab permasalahan industri domestik (Hasran, Aaron & Firdausi, 2024). UMKM masih menghadapi biaya impor tinggiĀ akibat prosedur yang rumit dalam Permendag No. 36 Tahun 2023. Meski Permendag No. 3, 7, dan 8 Tahun 2024 sudah melonggarkan sebagian aturan, tidak ada jalur khusus yang mempermudah manufaktur lokal mengimpor bahan baku yang tidak diproduksi dalam negeri (sebagai contoh, spare part untuk bengkel mobil, mesin untuk manufaktur berat, semikonduktor untuk elektronik serta keycaps untuk keyboard, dan lain-lain).Ā
Pasal 3 dan Pasal 5 perlu direvisi untuk menambah jalur cepat atau pengecualian bagi bahan baku manufaktur lokal. Pasal 6 dan Pasal 7 juga perlu disederhanakan dengan perizinan berbasis deklarasi dan digitalisasi penuh. Pemerintah juga perlu mendukung pengiriman kolektif melalui koperasi UMKM agar biaya logistik lebih efisien.
Selain itu,Ā sertifikasi produkĀ penting untuk membuktikan kualitas dan keamanan produk UMKM. Namun, proses sertifikasi di Indonesia sering rumit, mahal, dan memakan waktu, sehingga banyak UMKM enggan mengurusnya. Akibatnya, produk UMKM yang harganya lebih tinggi tanpa sertifikasi resmi sulit bersaing di pasar lokal maupun global.Ā
BPOM, BSN, dan MUI perlu menyederhanakan prosedur, menyediakan informasi yang jelas dan mudah diakses, serta mempercepat pendaftaran sertifikasi untuk UMKM. Dukungan seperti jalur cepat, biaya terjangkau, dan bantuan teknis sangat dibutuhkan agar UMKM mampu mendapatkan sertifikasi dengan lebih mudah dan meningkatkan daya saing produknya.
Terakhir,Ā akses pembiayaanĀ menjadi tantangan besar bagi UMKM yang ingin mengembangkan usahanya. Banyak UMKM kesulitan mendapatkan pinjaman karena terbatasnya plafon Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa agunan dan ketatnya persyaratan perbankan. Padahal, UMKM membutuhkan modal yang fleksibel dan terjangkau untuk bisa bersaing.Ā
Pemerintah perlu menaikkan batas pinjaman KUR tanpa jaminan dan mendorong penggunaan skoring kredit inovatif berbasis data digital, seperti riwayat transaksi e-commerce. Skema pembiayaan alternatif seperti kerja sama antara bank, platform P2P lending, dan e-commerce juga penting untuk membantu UMKM mendapatkan pembiayaan jangka panjang dengan bunga rendah.
Persaingan yang sehat tidak cukup hanya mengandalkan perlindungan dari pemerintah. Pelaku usaha juga harus berbenah. Tanpa upaya ini, kehadiran regulasi yang melindungi pasar lokal tidak akan cukup untuk memenangkan kepercayaan konsumen yang semakin cerdas dan punya banyak pilihan.Ā
Untuk bersaing dengan jastip, baik produsen maupun retailer lokal harus fokus pada tiga strategi kunci. Yang pertama adalah fokus pada upaya untuk meningkatkan daya saing.Ā Bisnis harus memprioritaskan kualitas, penetapan harga, logistik, dan pemasaran. Bersaing dengan jastip memerlukan penawaran produk yang setara atau melampaui alternatif impor dalam hal nilai dan aksesibilitas.
Selanjutnya adalah diversifikasi produk. Daripada meniru penawaran jastip dengan harga lebih tinggi atau kualitas lebih rendah, produsen lokal harus mengidentifikasi celah pasar dan mengembangkan produk unik. Memperluas lini produk dan menggabungkan standar global dapat membantu mempertahankan pelanggan.
Yang terakhir adalah memanfaatkan platform digital. Vendor jastip berkembang di media sosial dan penjualan live-streaming. Retailer lokal harus mengadopsi taktik serupa, menggunakan pemasaran digital, kolaborasi Key Opinion Leader (KOL), dan pengalaman berbelanja online interaktif untuk bersaing secara efektif.Ā
Pada akhirnya, Indonesia harus menumbuhkan pasar domestik yang tangguh dengan memfasilitasi perdagangan, bukan membatasinya. Alih-alih menerapkan kebijakan restriktif yang menghambat perdagangan, regulator harus fokus menciptakan lingkungan yang mendorong kewirausahaan, terbuka terhadap investasi dan inovasi. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan bergantung pada kesempatan melakukan persaingan terbuka, bukan menghilangkannya.
Adakah regulasi spesifik yang mau diaddress untuk direvisi atau dicabut? Sebaiknya ada dan bisa diperdalam rekomendasinya, dikaitkan sama bahan baku untuk industri dan UMKM
Komentar