Dari Zonasi ke SPMB: Wajah Baru dengan Persoalan Lama
- Center for Indonesian Policy Studies

- 5 Des
- 3 menit membaca
Pergantian kebijakan PPDB Zonasi menjadi SPMB membuka lebih banyak peluang bagi siswa berprestasi dan afirmasi untuk masuk sekolah pilihannya dengan adanya penambahan kuota bagi kedua jenis peserta didik tersebut. Namun, ketimpangan akses dan kualitas pendidikan antarsekolah tetap menjadi bayang-bayang.
Tanpa memastikan akses dan mutu, SPMB berisiko menjadi wajah baru dari masalah lama. Sebab, akar persoalan pendidikan Indonesia masih bertumpu pada ketimpangan akses dan kualitas antarsekolah yang belum terselesaikan hingga hari ini.
Kebijakan SPMB yang diumumkan pada Maret 2025 melalui Permendikdasmen No. 3/2025 menggantikan Permendikbud No. 1/2021 tentang PPDB. Salah satu perubahan besar adalah penurunan kuota jalur domisili: dari sebelumnya minimal 50% menjadi 40% untuk SMP dan 30% untuk SMA. Ini membuka ruang bagi jalur afirmasi dan prestasi, yang sebelumnya terpinggirkan karena syarat domisili.
Namun, penambahan kuota bukan solusi jangka panjang. Masalah utamanya bukan semata soal kuota, tetapi sistem pendidikan yang gagal menjamin pemerataan akses dan mutu.
Kebijakan SPMB yang Masih Bertabrakan dengan Isu Akses Pendidikan
SPMB masih mengusung semangat pemerataan akses, tetapi dalam kenyataan, ketimpangan jumlah dan kualitas sekolah terus membayangi. Data BPS tahun ajaran 2024/2025 menunjukkan, jumlah SD mencapai 129.284, SMP 24.076, dan SMA hanya 7.113. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin terbatas pula pilihan sekolah. Angka Partisipasi Murni (APM) pun mencerminkan ketimpangan ini. APM jenjang SD ada di angka 97,94%, SMP di 81,73%, tetapi SMA hanya 64,32%.
Jika kedua data ini dibaca bersamaan, tampak bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin banyak anak yang tidak terjangkau oleh satuan pendidikan yang sesuai dengan jenjangnya. Dalam konteks ini, keberadaan SMA di banyak wilayah bahkan masih menjadi kemewahan yang sulit dijangkau oleh sebagian besar anak usia sekolah tersebut.
Celah ini belum dijawab oleh SPMB. Justru ironisnya, alih-alih memperluas akses, kebijakan ini berpotensi mempersempit peluang bagi anak-anak dari wilayah dengan keterbatasan satuan pendidikan.
Ketidakmerataan Mutu Pendidikan dan Kesiapan Sekolah
Faktanya, ketimpangan kualitas guru dan sekolah masih menjadi persoalan. Data Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi mencatat bahwa dari total 3,36 juta guru di tahun ajaran 2023/2024, hanya sekitar 1,2 juta yang telah tersertifikasi. Distribusinya pun timpang antar daerah. Misalnya, Jawa Barat memiliki 467 ribu guru tersertifikasi, sementara Kalimantan Barat 70 ribu, dan Papua Barat kurang dari 20 ribu.
Studi CIPS mengenai pemulihan pembelajaran menemukan bahwa capaian literasi dan numerasi siswa sangat timpang jika dilihat per daerah. Melanjutkan contoh sebelumnya, kondisi numerasi dan literasi di Kalimantan Barat dan Papua Barat masih jauh di bawah harapan.
Berdasarkan hasil Asesmen Nasional 2024, mayoritas sekolah di dua provinsi tersebut hanya mencapai kompetensi minimum pada kisaran 40 hingga 70 persen, bahkan masih banyak sekolah dengan capaian di bawah 40 persen.
Dalam konteks ketimpangan mutu ini, praktik kecurangan dalam seleksi sekolah sangat mungkin terus terjadi. Orang tua akan berlomba memasukkan anaknya ke sekolah āunggulanā. Tanpa pemerataan guru dan sekolah berkualitas, semangat SPMB menjadi tidak relevan.
Minimnya Pelibatan Lokal: Arah Langkah Mundur Kebijakan SPMB
Kedua isu diatas menegaskan satu hal penting, yaitu adanya perbedaan kesiapan pendidikan antar daerah. Setiap wilayah membutuhkan solusi yang disesuaikan dengan konteks lokalnya.
Oleh karena itu, kebijakan penerimaan peserta didik semestinya tidak dirancang dengan pendekatan seragam dan perlu dibuat kontekstual.
Sayangnya, aspek ini justru absen dalam kebijakan SPMB. Padahal sebelumnya, Permendikbud No. 1/2021 secara eksplisit menjamin proses diskusi bersama antara pemerintah daerah bersama kelompok kerja kepala sekolah untuk menetapkan wilayah penerimaan dengan mempertimbangkan sebaran sekolah, domisili calon peserta didik, serta kapasitas daya tampung.
Saat ini, Permendikdasmen 3/2025 tidak lagi secara jelas mencantumkan pelibatan kepala sekolah atau forum musyawarah di daerahnya dalam proses penetapan wilayah. Keterlibatan aktor lokal tersebut hanya disebutkan dalam Pasal 36 terbatas pada kegiatan sosialisasi atau bimbingan teknis kepada satuan pendidikan yang terjadi sudah dalam tahap pelaksanaan penerimaan murid. Tanpa pengaturan yang menjamin partisipasi, ruang dialog antara pemerintah daerah dan sekolah akan tertutup, dan kebijakan pun berisiko kehilangan akar pada realitas pendidikan di lapangan.
Padahal, kepala sekolah memiliki pengetahuan langsung terhadap persoalan di satuan pendidikannya, mulai dari keterbatasan ruang kelas hingga distribusi jumlah pendaftar. Sekolah bahkan dapat menyampaikan pertimbangan teknis jika ditemukan ketimpangan minat antarwilayah. Mekanisme ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan tidak dibuat secara sepihak dan tetap akuntabel.
Otonomi Sekolah: Solusi SPMB yang Kontekstual
Tidak semua daerah memiliki kesiapan yang sama, baik dari sisi jumlah sekolah, kapasitas ruang belajar, maupun kualitas tenaga pendidik. Di tengah ketimpangan ini, memberikan sekolah otonomi yang lebih besar bisa jadi menjadi pendekatan strategis.
Memberikan kewenangan lebih besar kepada sekolah dalam mengelola proses penerimaan siswa akan memungkinkan respons yang lebih realistis dan sesuai dengan kebutuhan lokal.
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah membuka ruang musyawarah antara guru dan kepala sekolah dalam menyusun komposisi penerimaan yang mencerminkan kondisi realita
satuan pendidikan tersebut.
Tanpa memberikan otonomi yang nyata pada sekolah, kebijakan seperti SPMB hanya akan menjadi solusi administratif yang belum menyentuh akar ketimpangan pendidikan yang sesungguhnya.




Komentar