top of page

Cukai Minuman Berpemanis: Strategi Isi Pundi-pundi Negara dan Jaga Kesehatan Warga

Diperbarui: 27 Mar

Orang Indonesia tuh, apapun sukunya, sepertinya semuanya, sadar atau tidak, penggemar gula. Bahkan suku-suku yang biasanya kurang senang rasa manis, secara tak sadar menggemari berbagai minuman manis, seperti minuman bersoda, teh dalam berbagai kemasan belum lagi bermacam macam minuman dingin dan es yang kesemuanya tentu berpemanis. 


Sepertinya, minuman kemasan berpemanis ini sudah menjadi semacam bahan pokok juga dalam kehidupan kita, bukan? Apakah itu es teh botol atau kotak yang menyegarkan, atau sirop dingin, jus jus buah yang menggiurkan atau cappucino kalengan yang melegakan, minuman kemasan berpemanis ini sudah menjadi pilihan populer sebagai penghilang rasa haus, untuk bersosialisasi maupun sekedar memanjakan diri. 


Beragam minuman berpemanis ini sangat mudah kita temui, dari  warung rokok di pojok jalan, minimart yang bertebaran di mana mana  sampai cafe maupun resto  mewah, dan tentu juga tersedia dalam berbagai pilihan rasa yang menarik. 


Belum lagi banyak pilihan minuman berpemanis, dalam bentuk bubuk maupun dalam kemasan gelas plastik yang sangat terjangkau bagi anak anak yang seperti kita ketahui cenderung menyukai rasa manis.


Jadi tak aneh lagi kalau minuman berpemanis ini sangat disukai di Indonesia. Sampah kemasan minuman yang bertebaran di jalan-jalan dan gang-gang kampung yang sempit mencerminkan betapa tingginya konsumsinya.


Namun, yang tidak banyak disadari orang adalah bahwa kandungan gula yang biasanya cukup tinggi dalam minuman berpemanis dalam kemasan ini memiliki banyak efek negatif bagi kesehatan.

  • Kandungan gula yang tinggi dalam minuman ini dapat menyebabkan peningkatan berat badan yang signifikan, dan meningkatkan kadar gula darah, yang berisiko menyebabkan diabetes tipe 2.

  • Gula tambahan dalam minuman berpemanis dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan kolesterol tinggi dan menyebabkan kerusakan gigi dan gigi berlubang.

  • Konsumsi gula berlebih juga dapat menyebabkan kerusakan ginjal.

  • Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsumsi gula berlebih juga dapat meningkatkan risiko jenis kanker tertentu.

  • Konsumsi gula juga bisa menimbulkan ketergantungan


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan konsumsi gula 10 persen dari total asupan energi per hari. Konsumsi gula berlebih telah terbukti menjadi penyebab utama berbagai penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, hipertensi, hingga obesitas.


Jadi menjadi masuk akal bahwa mengurangi konsumsi minuman berpemanis dan memilih air putih atau minuman tanpa gula adalah langkah yang baik untuk menjaga kesehatan. 


Hal inilah yang juga disadari oleh pemerintah yang sudah terbatas dananya, tetapi masih harus mengeluarkan biaya triliunan rupiah per tahunnya untuk ikut menutup biaya kesehatan orang-orang yang menderita penyakit yang banyak diantaranya disebabkan oleh konsumsi makanan dan minuman yang tidak sehat. 


Inilah yang mendasari keluarnya kebijakan untuk menerapkan cukai pada minuman kemasan berpemanis mulai tahun 2025. Kebijakan cukai ini merupakan langkah strategis yang diambil pemerintah untuk menjaga kesehatan masyarakat serta menambah penerimaan negara.


Penyakit yang diakibatkan oleh konsumsi gula berlebih telah meningkatkan beban biaya kesehatan di Indonesia. Data dalam APBN 2024 menunjukkan tren peningkatan anggaran kesehatan dengan kenaikan 8,7 persen dari tahun sebelumnya menjadi 187,5 triliun.


Pasal 194 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 menetapkan bahwa dalam rangka pengendalian konsumsi gula, selain ditentukan batas maksimal kandungannya, juga dapat dikenakan cukai.


Pendapatan dari cukai minuman berpemanis dapat digunakan untuk mendanai program 

kesehatan publik serta menanggulangi dampak negatif dari konsumsi gula.


Dengan mengurangi konsumsi minuman berpemanis, kebijakan cukai ini juga sejalan dengan target pembangunan berkelanjutan (SDGs), khususnya dalam mencapai target terkait kesehatan dan kesejahteraan


Bagi konsumen  cukai minuman berpemanis dapat menyebabkan kenaikan harga produk di pasaran, karena ada penambahan komponen tarif cukai terhadap biaya produksi. Kenaikan harga ini diharapkan dapat mendorong konsumen untuk mengurangi konsumsi minuman berpemanis dan beralih ke alternatif yang lebih sehat, seperti air putih atau jus alami tanpa tambahan gula.


Bagi pengusaha, harga jual yang lebih tinggi bisa menurunkan daya beli masyarakat dan juga permintaan akan minuman kemasan berpemanis. Namun ada kesempatan bagi industri untuk berinovasi dengan menciptakan produk-produk yang lebih sehat, misalnya minuman rendah gula atau tanpa gula.


Penerapan cukai ini tentu tidak lepas dari kontroversi. Beberapa pihak, terutama dari kalangan pengusaha, berpendapat bahwa kebijakan ini memberatkan sektor industri, terutama di tengah kondisi ekonomi saat ini, akan berdampak pada kenaikan biaya produksi dan penurunan daya beli masyarakat.


Namun, di sisi lainnya, banyak pakar kesehatan yang mendukung kebijakan ini sebagai langkah mengendalikan angka konsumsi gula yang berlebihan. Mereka berargumen bahwa kesehatan masyarakat jangka panjang jauh lebih penting dibandingkan dampak ekonomi sesaat.


Hingga saat ini, kebijakan cukai minuman berpemanis belum sepenuhnya resmi diterapkan, implementasinya akan tertuang pada peraturan pelaksananya, untuk menentukan besar tarif hingga tata cara pengenaannya.


Pengenaan tarif cukai akan didasarkan pada kandungan gula dan pemanis buatan yang terdapat di dalamnya. Semakin tinggi kadar gulanya maka semakin tinggi juga besaran cukainya. 


 Saat ini, sejumlah pihak tengah mengusulkan besar tarif cukai minuman berpemanis, seperti Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR yang mengusulkan sebesar 2,5 persen.


Kementerian Keuangan mengusulkan minuman berpemanis dalam kemasan (misalnya minuman ringan, teh kemasan, dan minuman energi) dikenakan tarif Rp1.500 per liter minuman bersoda Rp 2.500 per liter sementara bagi minuman dari konsentrat atau ekstrak (misalnya sirup atau bahan baku minuman yang dicampur air) dikenakan tarif yang lebih rendah, yaitu Rp2.500 per liter konsentrat.


Meskipun ada tantangan dalam menyeimbangkan antara kepentingan kebijakan kesehatan Indonesia dari sisi fiskal, ekonomi, masyarakat, kebijakan ini berpotensi memberikan dampak positif jangka panjang, terutama dalam mengurangi prevalensi penyakit yang terkait dengan konsumsi gula berlebih.


Simak video kami tentang kebijakan gula di Indonesia!




Comments


Commenting on this post isn't available anymore. Contact the site owner for more info.
  • Youtube CIPS
  • Twitter CIPS
  • Instagram CIPS
  • LinkedIn CIPS
  • Email CIPS
bottom of page