Ancaman Tarif AS terhadap Perekonomian Nasional: Indonesia Bisa Apa?
- Center for Indonesian Policy Studies
- 16 Mei
- 2 menit membaca
Kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) menjadi tekanan baru dalam sistem perdagangan global. Dengan alasan ketimpangan atau defisit, AS menerapkan tarif tinggi terhadap produk dari berbagai negara, termasuk Indonesia, sebesar 32%. Kebijakan ini diperkirakan dapat menekan pertumbuhan ekonomi nasional hingga 0,5%, menurut proyeksi IMF.
āPemerintah AS memberikan waktu 90 hari bagi negara-negara mitra untuk melakukan negosiasi tertutup. Ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia untuk menegosiasikan ulang ketentuan perdagangan, termasuk kemungkinan menghapus dua kebijakan domestik: kuota impor dan TKDN, yang selama ini dianggap sebagai hambatan non-tarif,ā cetus Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi dalam diskusi bertajuk "Menyikapi Tarif Amerika, Indonesia Bisa Apa?" yang digelar pada Rabu (15/5/2025) melalui sesi Instagram Live oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).
Batas waktu 90 hari bagi negara mitra untuk melakukan negosiasi tertutup dengan AS dalam kebijakan tarif resiprokal ini sedang berlangsung mulai April 2025 dan berakhir pada Juli 2025.
Fithra menambahkan, penghapusan kedua kebijakan ini bisa membawa efek ganda. Di satu sisi, keduanya dapat bisa menurunkan harga barang, menjamin ketersediaan pasokan dan menurunkan biaya produksi. Namun di sisi lain, industri dalam negeri bisa kesulitan bersaing karena derasnya arus produk asing.
Sebagai bentuk respons, Indonesia juga perlu segera melakukan deregulasi dan evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Meskipun tarif belum secara resmi diberlakukan, langkah reformasi regulasi tetap mendesak untuk memastikan Indonesia tetap kompetitif di tengah dinamika geopolitik dan perdagangan global.
Sementara itu di kesempatan yang sama Senior Fellow CIPS, Krisna Gupta menyatakan, meski tekanan besar datang dari AS, Indonesia tidak perlu bersikap reaktif. Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh untuk memahami dampak setiap langkah yang diambil terhadap seluruh sektor ekonomi dan perdagangan nasional.
Ia menambahkan, pendekatan diplomatik perlu dilakukan baik secara bilateral maupun multilateral. Namun dalam konteks tarif ini, pendekatan bilateral, terutama dengan AS dan Presiden Trump secara langsung, menjadi sangat penting, mengingat posisi strategis Indonesia di Asia Tenggara dan Asia Pasifik.
Krisna menilai bahwa pendekatan multilateral menawarkan potensi yang lebih besar dalam memperjuangkan kepentingan nasional di tengah kebijakan tarif yang diterapkan AS. Menurutnya, forum seperti ASEAN Plus Three (APT ā 10 negara ASEAN beserta Jepang, Korea Selatan, dan China) bisa dimaksimalkan untuk membangun aliansi yang lebih solid. Ia juga menambahkan, kebijakan tarif resiprokal AS menciptakan prisoners dilemma, yang mendorong tiap-tiap negara menyusun strategi bilateral masing-masing.
āKalau semua negara ini bergabung dan negosiasi bersama dengan AS, misalnya lewat BRICS atau ASEAN Plus Three, buat semacam multilateral itu bisa jadi daya tawar yang lebih tinggi.ā ucap Krisna.
Salah satu bahasan menarik dalam diskusi ini adalah bagaimana posisi Indonesia yang ātertinggalā dari Vietnam justru bisa menjadi keunggulan tersendiri. Ketertinggalan ini membuka peluang untuk belajar dari kesalahan negara lain dan langsung mengadopsi kebijakan yang lebih adaptif serta sesuai dengan kebutuhan pasar global saat ini.
Ke depan, Indonesia perlu memperbaiki berbagai indikator kemudahan berusaha dan menciptakan iklim investasi yang lebih ramah. Tanpa langkah-langkah konkret di bidang ini, Indonesia akan sulit terhubung dalam rantai nilai global.
Comments