Adopsi Sistem Resi Gudang (SRG) oleh petani masih rendah. Padahal sistem ini memungkinkan petani untuk mendapatkan harga jual yang lebih baik. Jika teknologi yang tersedia pada setiap gudang memadai, juga dapat berkontribusi pada hasil panen yang lebih bermutu.
“Adopsi SRG yang terdesentralisasi memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan operasi SRG. Tapi di saat yang bersamaan, hal ini juga mengakibatkan belum meratanya implementasi SRG yang juga dipengaruhi oleh komitmen dari masing-masing pemerintah daerah,” cetus Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Azizah Fauzi.
SRG adalah suatu sistem yang memungkinkan petani untuk menyimpan hasil panennya di gudang penerbit resi, menerima resi sebagai bukti kepemilikan komoditas yang disimpan, dan memungkinkan petani melepaskan hasil panen ke pasar dengan harga yang lebih tinggi di luar musim panen.
Selain itu, sistem SRG juga dimaksudkan sebagai alat untuk membantu meningkatkan akses pembiayaan bagi petani, kelompok tani, dan koperasi. Tanda terima hasil panen yang disimpan dapat digunakan sebagai jaminan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya.
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 187 Tahun 2021 tentang Skema Subsidi Resi Gudang, pengguna berhak menerima pinjaman tidak lebih dari 70% dari nilai resi dengan maksimal Rp 500 juta per pengguna per tahun.
Data Badan Pusat Statistik tahun 2017, di Kabupaten Cianjur dan Subang, Jawa Barat, hanya 800 petani padi yang menggunakan SRG dari 324.558 petani.
”Meskipun menawarkan akses pembiayaan dan peningkatan pendapatan kepada petani, enam belas tahun setelah berdirinya di Indonesia, SRG masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh petani,” terang Azizah.
Implementasi SRG dilakukan berdasarkan undang-undang dan undang-undang ini menetapkan peran pemerintah nasional dan provinsi dalam SRG.
Pemerintah pusat bertanggung jawab untuk merancang kebijakan nasional dan menyelaraskan kerja sama intrasektoral untuk mendorong implementasi SRG. Sedangkan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) bertanggung jawab untuk membuat kebijakan daerah dalam rangka implementasi SRG.
Penelitian terbaru CIPS yang berjudul Meningkatkan Partisipasi Petani dalam Sistem Resi Gudang merekomendasikan beberapa hal untuk meningkatkan adopsi SRG. Yang pertama adalah, SRG perlu menawarkan nilai tambah kepada petani.
Nilai tambah seperti memastikan adanya layanan pasca panen yang dapat menjaga bahkan meningkatkan mutu produk misalnya, dapat meyakinkan petani untuk menggunakan sistem tersebut daripada langsung menjual hasil panennya ke tengkulak.
Selanjutnya adalah perlunya peningkatan partisipasi sektor swasta untuk mendukung pengembangan bisnis pergudangan. Peningkatan partisipasi akan meningkatkan keterampilan kewirausahaan dan manajerial operator gudang dan meningkatkan jumlah layanan yang ditawarkan di gudang.
Untuk meningkatkan minat sektor swasta dalam kemitraan tersebut, penetapan harga yang transparan, penggunaan sistem pelacakan dan asuransi dapat ditekankan untuk mengurangi risiko bagi calon mitra. Penambahan insentif bagi investor atau penyedia layanan juga layak untuk dipertimbangkan.
Yang terakhir adalah perlunya penyusunan peta jalan nasional untuk pengembangan SRG. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan informasi yang tersedia mengenai komoditas, lokasi gudang, dan koneksi dengan sentra produksi dan industri untuk menarik investasi.
Pemerintah daerah harus terlibat erat dalam merumuskan peta jalan, terutama dalam mengusulkan lokasi gudang baru dan perbaikan gudang yang menganggur atau berkinerja buruk. Bappebti harus menilai proposal lokal menggunakan kriteria yang mendukung pemberian nilai, seperti akses pasar, kinerja operator gudang sebelumnya, dan rencana pengembangan bisnis.
Bappebti juga perlu menilai rencana bisnis pemerintah daerah dengan merinci kemitraan yang ada atau potensial dengan bisnis lokal, rencana pemasaran untuk meningkatkan kesadaran petani, dan insentif atau opsi pembiayaan untuk petani atau mitra sektor swasta.
Comments