56% Produk yang diimpor Indonesia Terdampak Hambatan Non-Tarif, Ancam Peningkatan Daya Saing
- Center for Indonesian Policy Studies

- 30 Jul
- 2 menit membaca
Pengenaan hambatan non-tarif atau non-tariff measures (NTM) pada 56,33% jumlah produk yang diimpor Indonesia menghambat peningkatan daya saing. Jumlah ini lebih tinggi dibanding rata-rata global yang sebesar 43%. Padahal impor dibutuhkan untuk memberikan nilai tambah pada produk kita, karena tidak semua bahan baku berkualitas dapat disediakan oleh pelaku usaha dalam negeri.
Berdasarkan data WITS 2025, kategori produk dengan tingkat penerapan NTM tertinggi antara lain adalah produk hewan (100%), pangan (99%), sayuran (91,77%), tekstil dan pakaian jadi (78,16%), kulit dan produk kulit (76,56%), alat transportasi (58,91%), bahan kimia (54,49%), dan serta alas kaki (53,19%).
āNTM dalam perdagangan umum dilakukan banyak negara untuk berbagai tujuan mulai dari keamanan dan kesehatan konsumen, tujuan politik, hingga mendukung agenda ekonomi mereka. Namun penggunaan yang berlebihan justru dapat berdampak negatif bagi bisnis, konsumen serta perekonomian secara umum,ā terang Peneliti dan Analis Kebijakan Publik Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran.
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak menggunakan hambatan ini, seperti pada sektor pangan dan industri. Hal ini berakibat pada tingginya harga komoditas sehingga membebani konsumen, menggerogoti daya saing ekspor serta membahayakan daya saing produknya di pasar internasional.
Indonesia perlu mengurangi penggunaan hambatan non-tarif dalam kebijakan perdagangannya. Selain untuk meningkatkan daya saing produknya. Penekanan ini juga merupakan salah satu langkah penyesuaian yang perlu dilakukan Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi, investasi dan perdagangan setelahĀ bergabung menjadi anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Untuk memasuki pasar Eropa yang menekankan kualitas dan keberlanjutan, bergabung dengan OECD membuka peluang untuk mempercepat transformasi Indonesia. Penyelarasan dengan standar OECD akan memungkinkan Indonesia untuk belajar dan menerapkan berbagai best practice dari negara-negara anggota lainnya.
Namun dibutuhkan adanya penyesuaian regulasi nasional, termasuk di bidang perdagangan dan keberlanjutan. Dalam aspek perdagangan, regulasi seperti hambatan non-tarif perlu ditinjau kembali, sehingga dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar Eropa.
Penelitian terbaru CIPS tentang OECD merekomendasikan beberapa hal yang perlu dilakukan Indonesia sebagai bentuk penyesuaian regulasi untuk membuka pasar. Yang pertama adalah perlunya pengurangan hambatan non-tarif pada sektor perdagangan. Hal ini, salah satunya, diperlukan untuk menurunkan biaya kepatuhan dan meningkatkan efisiensi.
Selanjutnya adalah Indonesia perlu lebih terbuka pada investasi di sektor jasa dengan mengeksplorasi berbagai cara, untuk secara bertahap meningkatkan keterbukaan dalam layanan maritim supaya dapat mendukung peningkatan kinerja logistik dan mengurangi biaya.
Yang ketiga adalah mengevaluasi kebijakan investasi langsung asing yang restriktif, seperti pada persyaratan modal minimum untuk PT PMA (perusahaan milik asing) dan melonggarkan persyaratan masuk bagi pekerja asing pada posisi-posisi kunci dalam badan hukum Indonesia.
Selanjutnya, Indonesia direkomendasikan untuk menciptakan lingkungan bisnis yang mendorong efisiensi, alih-alih membebani industri dengan kebijakan yang menambah biaya operasional.Ā
Kebijakan nyata yang perlu dievaluasi adalah Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Evaluasi kebijakan TKDN dapat membuka akses pelaku usaha pada bahan baku berkualitas dengan harga yang kompetitif. Hal ini dapat menciptakan efisiensi biaya ke barang setengah jadi untuk mendukung daya saing untuk mewujudkan industri berorientasi ekspor.









Komentar