Dibutuhkan upaya terstruktur dan terencana, seperti kampanye dan advokasi, untuk meredam ancaman terhadap kebebasan berekspresi.
“Beberapa regulasi pemerintah kini mengancam kebebasan berekspresi yang merupakan salah satu pilar utama demokrasi. Untuk itu diperlukan aktivisme dalam bentuk kampanye dan advokasi untuk memitigasi dampak negatifnya,” terang Kepala Departemen Kebebasan Berekspresi dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Nenden Sekar Arum.
Berbicara dalam webinar Memperjuangkan HAM dan Kebebasan Berpendapat di Era Digital pada Selasa (19/07/2022), ia menyebut dua produk regulasi pemerintah mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia, yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) nomor 5 tahun 2020.
"UU ITE itu dikatakan bermasalah adalah karena banyaknya pasal-pasal yang bersifat multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi,” Ujar Nenden pada hari kedua webinar yang dihelat Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dengan menambahkan bahwa hal sama ditemui di Permenkominfo nomor 5 tahun 2020.
UU ITE menurutnya memiliki sembilan pasal karet dan merujuk kepada sebuah laporan SAFEnet mengenai undang-undang tersebut, antara 2016-2020, pasal-pasal itu digunakan untuk memenangkan 744 gugatan, atau conviction rate sebesar 96,8 persen, dan dengan tingkat pemenjaraan sebesar 88 persen.
Selain itu rumusan pasal-pasal dalam UU ITE tersebut juga memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk membatasi informasi tanpa subtansi yang jelas.
Nenden mengatakan diperlukan advokasi dan kampanye, termasuk oleh mahasiswa, untuk mendorong agar pasal-pasal tersebut direvisi, atau bila mungkin dihapus.
Dua pembicara lainnya yaitu Digital Manager CIPS Eky Triwulan dan Juru Kampanye Change.org Efraim Leonard berbagi best practices dalam kegiatan advokasi dan tips-tips, teknik dan strategi dalam melancarkan kampanye dan advokasi.
Sementara Eky menjelaskan mengenai bagaimana menyelenggarakan kampanye advokasi kebijakan, Efraim lebih mengulas kegunaan petisi daring dalam membuat perubahan. Keduanya sepakat bahwa sebuah kampanye yang baik membutuhkan target audience yang jelas, proses pemetaan dan momentum yang tepat.
Dengan merujuk kepada statistik yang memperlihatkan populasi Indonesia di bulan Februari 2022 yang sebesar 277,7 juta dan memiliki telepon genggam sebanyak 370,1 juta, Eky menekankan bahwa “teknologi digital itu memang lebih terjangkau untuk melakukan advokasi.”
Efraim mengatakan petisi daring merupakan sarana yang murah dan tepat bagi mahasiswa untuk mengkampanyekan sebuah isu.
Namun agar efektif, sebuah petisi harus memiliki kejelasan tujuan, alamat dan panggilan, menggunakan kasus yang menggugah untuk meraih lebih banyak dukungan, strategi eskalasi yang tepat dan harus menggunakan momentum yang tepat.
Ketiga pembicara sepakat akan pentingnya berjejaring dan mencari sekutu yang memiliki keprihatinan yang sama.
Webinar Memperjuangkan HAM dan Kebebasan Berpendapat di Era Digital yang diselenggarakan pada 18-19 Juli 2022 merupakan kegiatan yang mengawali konferensi ekonomi digital CIPS, yaitu DigiWeek. Diikuti lebih dari 100 mahasiswa, webinar ini bertujuan memberikan pemahaman mengenai aspek hak asasi manusia dalam berinteraksi secara digital.
Comentários