top of page

Biaya Tersembunyi Sawah Baru: Keberlanjutan Strategi Ketahanan Pangan Indonesia

Isu swasembada pangan selalu menjadi topik hangat, terutama saat pemilu. Presiden Prabowo Subianto pun menegaskan janjinya untuk mewujudkan swasembada dalam lima tahun sekaligus menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. 


Sejak masa Presiden Joko Widodo menjabat, pemerintah sudah memulai langkah untuk swasembada ini dengan mencetak satu juta hektare sawah baru – termasuk 150,000 hektar pada tahun 2024 – sebagai strategi menuju swasembada. Secara teori, menambah luas lahan untuk meningkatkan produksi beras terdengar masuk akal. Namun, apakah ini benar-benar solusi terbaik?


Salah satu isu terpenting dari pencetakan sawah baru adalah dampaknya pada lingkungan. Mencetak sawah baru sudah pasti akan melibatkan konversi lahan atau bahkan pembabatan hutan yang selain mengakibatkan deforestasi juga mendorong kehilangan keragaman hayati. Penggundulan hutan tidak saja mengganggu ekosistem setempat tetapi juga berkontribusi pada perubahan iklim dengan melepaskan karbon dioksida ke dalam atmosfer kita. Banyak sawah baru juga dicetak di lahan gambut, lahan yang tidak cocok untuk budidaya padi karena miskin hara. Berbagai konversi lahan ini juga seringkali berujung pada lahan rusak dan mengering yang kemudian menjadi rentan kebakaran.


  • Mutu Tanah dan Air

Kualitas tanah dan air pada sawah baru juga menjadi sumber kekhawatiran yang lain. Penelitian menunjukkan bahwa sawah-sawah baru seringkali kurang sehat tanahnya, mutu airnya pun tak begitu baik serta mikroorganisme yang dibutuhkan untuk hasil produksi yang baik belum berkembang dengan baik. Tanpa unsur-unsur penting ini, produktivitas sawah baru dapat jauh dari harapan dan tidak sesuai dengan investasi yang telah dikucurkan. 


  • Biaya Ekonomi

Dari perspektif ekonomi biaya yang terkait pencetakan sawah baru dapat mencapai jumlah yang cukup tinggi. Termasuk didalamnya pengeluaran untuk membuka lahan, pengembangan infrastruktur dan perawatan berjalan. Beban finansialnya juga tidak berhenti disini. Para petani seringkali menghadapi biaya produksi tinggi karena diperlukannya pupuk, pestisida dan input pertanian lainnya agar lahannya dapat digunakan untuk bercocok tanam. Biaya-biaya ini sangat memberatkan, terutama bagi petani yang sudah harus bekerja dengan margin keuntungan yang tipis.


  • Isu-isu Sosial

Secara sosial, program pencetakan sawah baru juga dapat berujung pada konflik dengan komunitas setempat. Pembebasan lahan untuk proyek-proyek semacam ini kadangkala melibatkan pengambilalihan daerah yang menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat. Ini dapat menimbulkan perselisihan dan perlawanan dari komunitas yang terdampak dan dengan demikian memperumit pelaksanaan proyek dan membawa potensi terjadinya keributan sosial.


Keberlanjutan merupakan isu kritis lainnya. Banyak dari proyek-proyek pencetakan sawah baru ternyata kemudian tidak berkelanjutan pada jangka panjangnya. Tanpa perencanaan matang dan dukungan yang konsisten, proyek-proyek ini seringkali tidak mampu memenuhi hasil yang diharapkan. Tidak adanya praktik-praktik keberlanjutan dapat mengakibatkan degradasi kondisi tanah dan pada satu saat, berkurangnya produktivitas pertaniannya sehingga meniadakan keuntungan awal dari sawah baru.


Sektor pertanian Indonesia juga menghadapi ketertinggalan teknologi dibandingkan dengan negara lainnya. Adopsi teknologi pertanian yang canggih di Indonesia masih sangat rendah padahal teknologi dapat secara nyata meningkatkan produktivitas. Karena itu meski ada pencetakan sawah baru, praktik pertanian yang sudah ketinggalan jaman dan kurangnya dukungan teknologi membuat sawah-sawah baru tidak mampu mencapai potensi mereka sepenuhnya.


  • Perubahan Iklim

Perubahan iklim membawa risiko besar pada keberhasilan sawah baru. Pola cuaca yang tak dapat lagi diperkirakan, kekeringan berkepanjangan dan isu-isu terkait iklim dapat berdampak secara serius pada produksi. Dengan perubahan iklim terus mempengaruhi kondisi kondisi pertanian, bergantung pada pencetakan sawah baru sebagai strategi utama untuk meraih swasembada menjadi semakin ringkih.


Optimalisasi, Bukan Ekspansi


Jika tujuannya adalah meningkatkan produksi pangan, solusi yang lebih berkelanjutan sebenarnya bukan memperluas lahan, melainkan mengoptimalkan lahan pertanian yang sudah ada. Strategi intensifikasi pertanian – dengan praktik modern dan teknologi canggih – lebih ramah lingkungan, efisien, dan berkelanjutan dibanding ekspansi lahan yang merusak ekosistem.


Sebaliknya, ekstensifikasi seringkali berujung pada deforestasi, kehilangan keragaman hayati serta peningkatan emisi gas rumah kaca. Kesemuanya ini menjadikan ekstensifikasi tidak berkelanjutan pada jangka panjangnya.


Daripada terus membuka sawah baru yang penuh tantangan, saatnya Indonesia untuk fokus pada optimalisasi lahan pertanian yang ada saja, melalui inovasi pertanian yang bisa meningkatkan hasil panen tanpa mengorbankan lingkungan dan kesejahteraan petani 


Comments


Commenting on this post isn't available anymore. Contact the site owner for more info.
  • Youtube CIPS
  • Twitter CIPS
  • Instagram CIPS
  • LinkedIn CIPS
  • Email CIPS
bottom of page