top of page

Pentingnya Kebijakan yang Komprehensif Untuk Atasi Kompleksitas Masalah Kedelai

Polemik mahalnya harga kedelai di Indonesia telah menjadi cerita lama yang tak kunjung usai. Upaya yang dilakukan melalui impor, mendongkrak produktivitas petani, hingga ambisi mencapai swasembada bagi komoditas ini sampai saat ini belum menghasilkan dampak yang diharapkan.


Sejak tahun 2021, harga kedelai di pasar tradisional merangkak naik dari Rp. 10,863 hingga mencapai Rp. 12,300 per kilogram pada Februari 2022. Kenaikan harga dipicu terbatasnya pasokan kedelai dunia menyusul gagal panen di beberapa negara penghasil seperti Brazil, tren penggunaan minyak goreng dari kedelai sebagai alternatif kelapa sawit, serta meningkatnya permintaan dari Tiongkok sebagai importir terbesar.


Kenaikan harga dipicu terbatasnya pasokan kedelai dunia menyusul gagal panen di beberapa negara penghasil

Tersendatnya rantai pasok kedelai global memperparah kenaikan harga kedelai dan memantik penentangan, terutama dari perajin olahan kedelai kecil dan menengah, serta masyarakat luas.


Harga kedelai di Indonesia sangat bergantung pada harga dan pasokan di pasar internasional karena Indonesia mengimpor sekitar 82 persen pasokan kedelainya. Dari hampir 2,5 juta ton kedelai yang diimpor pada tahun 2020, 90 persennya berasal dari Amerika Serikat.


Tidak terselesaikannya permasalahan harga kedelai yang berlarut berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah.

Tidak terselesaikannya permasalahan harga kedelai yang berlarut berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. Mahalnya harga kedelai dapat mengancam terjadinya mogok produksi tempe dan tahu yang umumnya dihasilkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan dapat mendorong tingkat pengangguran. Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 177,000 UMKM perajin tahu dan tempe.


Tahu dan tempe merupakan sumber protein yang relatif terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Terganggunya ketersediaan makanan rakyat ini dapat mengancam pemenuhan kebutuhan nutrisi masyarakat, khususnya mereka yang berpenghasilan rendah dan yang memiliki keterbatasan daya beli.


Permasalahan yang terus berulang dan menjadi momok bagi perajin kedelai serta masyarakat luas ini didasari oleh akar masalah yang belum terselesaikan sampai sekarang.


Pertama, produksi kedelai domestik kian merosot tiap tahunnya. Berdasarkan data USDA, Indonesia menghasilkan 580.000 ton kedelai di tahun 2015 dan merosot menjadi hanya 475.000 ton pada tahun 2019. Penurunan ini berbanding terbalik dengan jumlah kebutuhan nasional, yang meningkat 2-5 persen setiap tahunnya dan mencapai 2,6 juta ton di tahun 2020.


Beberapa pemicu utama kemerosotan produksi adalah penurunan luas lahan pertanian kedelai hingga masih digunakannya cara konvensional dalam penanaman dan pembudidayaan yang menyebabkan mandeknya peningkatan kuantitas produksi. Area tanam kedelai menurun secara masif, dari 660.000 hektar di tahun 2010 menjadi 285.000 hektar saja pada tahun 2019.


Faktor-faktor ini juga dibarengi dengan minimnya modernisasi pertanian kedelai yang menyebabkan produktivitas per hektar kalah saing dengan negara lain. Mutu kedelai dalam negeri juga lebih rendah dibandingkan impor.


Penanganan pascapanen yang kurang baik tidak saja menyebabkan kurang bersihnya kedelai lokal tetapi juga tidak seragamya ukuran biji kedelai lokal hingga menurunkan ketertarikan permintaan pasar, khususnya perajin tempe. Begitu pula pada proses pembuatan tempe, kedelai lokal hanya dapat diolah menjadi 1,4 kilogram dibanding 1,8 kilogram tempe dengan 1 kilogram kedelai impor.


Dengan produktivitas yang lebih kecil serta harga jual yang seringkali kurang dapat bersaing dengan kedelai impor, petani lebih memilih menanam komoditas lain, seperti padi dan jagung.


Para pemangku kepentingan, terutama pemerintah, perlu memerhatikan tantangan ketergantungan pada kedelai impor, serta perbaikan kuantitas dan kualitas produksi kedelai lokal. Fokus utama pemerintah sebaiknya adalah mempercepat proses revitalisasi dan penguatan rantai pasok kedelai dalam negeri.


Fokus utama pemerintah sebaiknya adalah mempercepat proses revitalisasi dan penguatan rantai pasok kedelai dalam negeri.

Di sektor hulu, pengembangan varietas kedelai berpotensi hasil tinggi harus terus digalakkan dengan menggandeng pihak swasta untuk memastikan adopsi dan pemasaran yang luas. Produktivitas dan kualitas hasil olahan kedelai tidak hanya bergantung pada tata cara penanaman, namun juga kualitas varietas yang mampu menghasilkan kuantitas serta kualitas kedelai yang lebih baik. Edukasi petani tentang prosedur pascapanen yang baik juga perlu ditingkatkan untuk meningkatkan daya saing kedelai.


Kedua, untuk mempercepat peningkatan produktivitas kedelai dalam negeri, fokus investasi pada pertanian, terutama untuk komoditas kedelai penting untuk digalakkan. Selain mendatangkan modal dan menciptakan lapangan kerja, meningkatnya investasi dapat mendorong kompetisi untuk mendongkrak produktivitas dan kualitas kedelai Indonesia.


Tantangan mahalnya harga kedelai yang sering terjadi perlu ditanggapi pemerintah dengan kerangka kebijakan yang komprehensif. Opsi kebijakan jangka pendek seperti subsidi untuk pengrajin tahu dan tempe memang menggoda, namun menyisakan banyak tantangan terkait targeting dan keadilan dengan sektor UMKM lainnya.


Membatasi impor tanpa terlebih dahulu meningkatkan produktivitas kedelai domestik juga bukan merupakan jalan keluar.

Membatasi impor tanpa terlebih dahulu meningkatkan produktivitas kedelai domestik juga bukan merupakan jalan keluar. Kebijakan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan serta berfokus pada pengembangan pertanian dan industri kedelai domestik menjadi kunci untuk stabilisasi pasokan dan harga kedelai pada jangka panjang.


737 tampilan

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page