Aaaah, tak diragukan lagi, kita jelas sudah memasuki masa pemilihan umum.
Wajah wajah berbagai calon yang bersaing untuk memimpin negeri ini atau untuk menduduki kursi empuk di Dewan Perwakilan Rakyat, memandangi kita dari segala penjuru, dari poster-poster besar yang terpampang di tempat-tempat strategis.
Kini sulit bagi kita untuk menghindari berbagai berita mengenai para calon dan apa yang ingin mereka lakukan bila nanti terpilih. Baik media konvensional maupun media karbitan yang tiba-tiba menjamur setiap mendekati masa pemilu, dan tentu saja media sosial, penuh disesaki janji-janji mereka.
Saya sendiri cenderung jarang menanggapi janji-janji di masa seperti ini. Toh, pengalaman sudah sering memperlihatkan kepada kita bahwa para calon-calon ini ketika sudah mendapatkan posisi yang mereka dambakan, seringkali cepat lupa dengan janji-janji yang pernah ditebarnya.
Diantara janji-janji yang yang ampuh dalam menarik dukungan dan juga menjaring suara ketika pemilu nanti, adalah yang mengobarkan semangat nasionalisme dan patriotisme.
Mengobarkan nasionalisme dengan keberpihakan tinggi pada rakyat dan kepentingan nasional, merupakan benang merah yang menghubungkan semua janji para calon presiden.
Dan isu nasionalisme yang paling laku dalam menjaring simpati adalah bila dikaitkan dengan urusan perut. Nasionalisme di bidang pangan.
Namun sayangnya, bentuk nasionalisme ini bukan memberikan penekanan pada usaha memastikan bahwa rakyat mendapatkan akses kepada pangan yang mencukupi, bermutu dan terjangkau.
Ia lebih menjurus hanya ada kemampuan memenuhi kebutuhan ini dari hasil jerih payah sendiri di dalam negeri.
“Kedaulatan Pangan” atau “Swasembada Pangan” menjadi istilah favorit yang diacung-acungkan semua pasangan capres dan cawapres, para calon legislator serta para eksekutif partai partai besar.
Istilah “Kedaulatan Pangan” atau “Swasembada Pangan” menjadi istilah favorit yang diacung-acungkan semua pasangan capres dan cawapres, para calon legislator serta para eksekutif partai partai besar.
Walaupun merupakan konsep yang berbeda, kedua istilah ini sering diartikan sebagai kemampuan negara untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dari produksi dalam negeri atau menghasilkan komoditas pangan dalam jumlah yang memenuhi kebutuhan nasional. Di bawah pemahaman ini, impor pangan menjadi anathema, dianggap akan merugikan petani, “orang kecil” yang merupakan tulang punggung sektor pertanian pangan di negara agraris seperti Indonesia.
Padahal, pengalaman menunjukkan betapa swasembada di bidang perberasan yang dicapai di zaman kepemimpinan Presiden Suharto, dicapai dengan biaya tinggi.
Swasembada itu, yang juga hanya mampu bertahan beberapa tahun saja, dicapai dengan intensifikasi pemupukan kimiawi yang disertai dengan subsidi yang besar, pengerahan penyuluh pertanian secara massif serta perluasan areal tanam yang memusnahkan banyak lahan hutan.
Capaian swasembada di tahun 1984 ini memang membanggakan, dan bahkan kemudian membawa Presiden Suharto berpidato di konferensi ke-23 Food and Agriculture Organization (FAO) yang dihelat di Roma, Italia, pada 14 November 1985.
Namun status in hanya disandang Indonesia selama sekitar lima tahun saja dan Pertumbuhan penduduk yang lebih cepat dari pertumbuhan beras nasional akhirnya mengakhiri keswasembadaan itu.
Menarik juga untuk melihat kilas balik, ketika menteri pertanian di awal tahun 2018 yang kini baru saja diangkat kembali untuk menduduki posisi yang sama, Amran Sulaiman, menekankan bahwa swasembada yang hanya berdasarkan stabilitas harga beras, seperti penekanan di zaman Suharto, semu saja adanya.
Swasembada sesungguhnya, menurut Amran, adalah ketika negara tidak lagi mengimpor komoditasnya.
Ketika baru diangkat kembali sebagai menteri pertanian di bulan Oktober 2023, Amran langsung giat menjanjikan akan bekerja keras untuk mencapai swasembada beras, swasembada yang menurut pengertiannya bebas dari impor komoditas pokok ini.
Organisasi Pangan Dunia sendiri mendefinisikan swasembada sebagai status di mana negara mampu memenuhi paling tidak 90 persen dari kebutuhannya akan suatu komoditi.
Dengan menggunakan definisi ini Indonesia sebenarnya sudah beberapa tahun ini berswasembada dalam beras dan jagung.
Berbicara Impor, sekali lagi, selain berguna untuk mengisi kekurangan stok beras diantara masa panen bila diperlukan, dapat juga menekan harga beras di dalam negeri.
Berbagai studi sudah menunjukkan bahwa harga beras di Indonesia masih tertinggi diantara negara-negara di kawasan ini, bahkan bisa mencapai lebih dari dua kali lipat harga di beberapa negara jiran.
Paradigma dimana negara berusaha memenuhi sendiri kebutuhannya, juga sudah menjadi semakin usang dalam dunia yang semakin terhubung.
Bukankah lebih masuk akal dan bermanfaat bagi konsumen yang akan menikmati harga yang lebih murah belum lagi variasi produk yang lebih beragam dengan mutu yang juga berbeda-beda, jika mengimpor barang yang produksinya lebih murah di negera lain?
Ketika harga beras meningkat naik dengan cepat beberapa bulan lalu dan bahkan kemudian mencapai tingkat tertinggi dalam beberapa dasawarsa, masyarakat ramai mempertanyakan apa yang dapat dilakukan pemerintah.
Tapi ketika pemerintah menyinggung rencananya mengimpor beras, masyarakatpun banyak menyesalkan langkah tersebut dengan menyebutkan berbagai alasan yang hanya didasarkan atas pengertian pengertian yang selama berdasawarsa terus dikumandangkan yang berwenang.
Impor beras belum tentu merugikan petani
Impor beras belum tentu merugikan petani. Pertama, impor akan dapat memacu perbaikan produktivitas maupun mutu produk bila saja petani lebih menyadari kebutuhan untuk memperbaiki kinerja mereka dan tidak terus sedikit-sedikit bergantung kepada pemerintah.
Kadang kita juga melupakan bahwa banyak petani Indonesia merupakan petani gurem yang kepemilikan lahan terbatasnya tidak memungkinkan ia memproduksi beras dalam jumlah untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka.
Belum lagi buruh tani yang hanya bekerja mengerjakan sawah milik orang lain demi imbalan upah atau beras. Mereka mereka ini juga merupakan konsumen yang masih harus membeli beras untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Harga yang tinggi tidak berpihak pada mereka.
Argumen bahwa Indonesia sebenarnya masih memiliki sedikit surplus produksi, tidak memperhitungkan masa-masa antar panen dimana ketersediaan menurun, apalagi bila keadaanya seperti sekarang ini dimana pemerintah mengakui stok beras nasional jauh dari tingkat yang dapat menjamin harga beras yang wajar,
Nasionalisme, seharusnya tidak lagi hanya diukur dengan kemampuan bergantung kepada hasil keringat sendiri untuk memenuhi segala kebutuhan kita. Nasionalisme sejati akan berusaha menjamin ketersediaan, keterjangkauan, mutu serta keragaman pilihan dengan cara yang paling efisien.
Comments