top of page

Tantangan Penyelamatan Bonus Demografi

Diperbarui: 12 Jun 2022

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Koran Sindo (29/7/21).


Pandemi Covid-19 di Tanah Air sudah berlangsung 17 bulan. Selama itu pula anak anak tidak masuk sekolah dan banyak yang tidak pula bersosialisasi dengan teman sebayanya. Mayoritas anak-anak Indonesia hanya berinteraksi dengan guru dan teman-teman sekolah melalui layar, entah layar komputer atau layar ponsel pintar saat belajar daring. Kebijakan pembatasan sosial dan karantina wilayah menyebabkan banyak anak "terkurung" dirumah dan rentan mengalami stres, perasaan cemas, dan terisolasi dari dunia sekitar.


Berdasarkan survei global UNICEF, lebih dari 20% dari 8.000 anak muda yang ditanyai menyatakan mengalami kecemasan dan 15% mengalami depresi selama masa pandemi. Pada tingkat nasional, penelitian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperlihatkan bahwa anak-anak Indonesia rentan merasa tertekan dan bosan selama melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menyusul kebijakan penutupan sekolah. Penutupan sekolah merupakan kerugian terbesar yang dialami anak-anak akibat pandemi. UNICEF menunjukkan bahwa lebih dari 30% anak sekolah di dunia, yang berasaldari rumah tangga menengah ke bawah dan di daerah pedesaan, tidak terjangkau program PJJ karena tidak memiliki koneksi internet yang baik maupun gawai pintar yang diperlukan. PJJ yang tidak maksimal menyebabkan penurunan kinerja belajar (learning loss) pada anak-anak. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat bahwa sebelum pandemi pun kemampuan belajar anak-anak Indonesia sudah dikategorikan rendah dan tidak merata. Dalam survei oleh Programme for International Students Assessment (PISA) pada tahun 2018, Indonesia menduduki peringkat 72 dari 77 negara dalam aspek literasi dan numerasi anak berusia 15 tahun dan peringkat 70 dari 78 negara dalam aspek sains. Ini memperlihatkan bahwa sekolah di Indonesia tidak berhasil dalam mengajari hal-hal mendasar pada anak-anak. Bank Dunia menyatakan bahwa meskipun anak Indonesia menyelesaikan wajib belajar 12,4 tahun, mereka sebenarnya hanya belajar setara 7,8 tahun akibat rendahnya kualitas sekolah dasar dan menengahnya. Pandemi ini juga dapat menghambat pengembangan foundational skills yang penting seperti baca, tulis dan hitung (calistung) dari anak-anak yang baru masuk jenjang sekolah pada masa pandemi. Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) memperlihatkan bahwa tanpa foundational skills yang baik, anak-anak akan kesulitan menguasai keterampilan abad ke 21 seperti literasi digital, kemampuan memecahkan masalah, berpikir kritis dan kemampuan lainnya yang akan berguna bagi hidup mereka di masa depan. Hubungan Tumbuh Kembang Anak dan Bonus Demografi

Tanpa adanya intervensi yang tepat untuk membantu tumbuh kembang anak-anak Indonesia, terutama dari sisi pendidikan, dikhawatirkan Indonesia tidak akan dapat meraup manfaat maksimal dari bonus demografinya. Di tahun 2030-2040, jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) di Indonesia akan melebihi jumlah penduduk usia non-produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Bappenas memperkirakan bahwa pada tahun-tahun tersebut penduduk usia produktif akan mencapai 64% dari hampir 300 jiwa penduduk Indonesia saat itu. Tanpa pandemi pun, Indonesia sudah cukup kesulitan memberikan akses pendidikan yang merata dan bermutu. Persoalan laten seperti rendahnya kualitas guru, infrastruktur pendukung pembelajaran yang buruk dan tidak merata, hingga kecilnya jumlah penduduk berpendidikan tinggi masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Pendidikan masih menjadi barang mahal bagi sebagian masyarakat Indonesia. Anak-anak yang memasuki usia sekolah pada tahun 2021 ini akan menjadi bagian dari penduduk usia produktif yang diharapkan dapat berkontribusi pada perekonomian negara. Apabila dapat memanfaatkan potensi bonus demografinya, Indonesia diprediksi dapat menjadi bagian dari kelompok negara maju. Kunci bonus demografi adalah kelompok usia produktif yang benar-benar menjalankan aktivitas bernilai ekonomi tinggi. Pekerjaan-pekerjaan yang memiliki upah setara kelas menengah, status tetap dan manfaat sosial yang utuh. Namun data Bank Dunia memperlihatkan angkatan kerja Indonesia pada saat ini belum mampu melakukan pekerjaan kelas menengah yang cenderung membutuhkan kemampuan tinggi. Hal ini dikarenakan sebanyak 57% angkatan kerja hanya mengenyam pendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau kurang dari itu. Tanpa kebijakan pemerintah yang efektif, komprehensif dan fokus pada pembenahan sumber daya manusia, termasuk diantaranya pengembangan potensi anak sejak dini, Indonesia terancam tidak dapat menikmati pertumbuhan dan kemakmuran ekonomi dari bonus demografi pada sepuluh hingga dua puluh tahun mendatang.

Vitalnya Peran Semua Pihak


Peringatan Hari Anak Nasional tahun ini perlu diikuti pemahaman bahwa tanpa adanya intervensi yang tepat untuk membantu tumbuh kembang anak-anak Indonesia, terutama dari sisi pendidikan, dikhawatirkan Indonesia tidak akan dapat meraup manfaat maksimal dari bonus demografinya.


Pemerintah juga perlu sepenuhnya komit untuk menuntaskan pandemik yang tidak dapat dipungkiri merupakan sumber kemunduran berbagai sektor penting, termasuk dunia pendidikan. Dengan berakhirnya pandemi, anak-anak akan dapat merasakan kehidupan secara normal dan memiliki akses yang lebih luas untuk mengembangkan potensi diri. Berakhirnya pandemi akan menjadi titik balik bagi sektor pendidikan Indonesia.


Selain itu, pemerintah perlu fokus mengembangkan kompetensi yang akan berguna bagi anak-anak ketika memasuki usia produktif. Kurikulum pendidikan harus direvisi untuk mengakomodasi pengembangan kemampuan dasar numerasi dan literasi, soft skills, berpikir kritis, dan kemampuan lainnya yang erat terkait teknologi dan digitalisasi.


Akses pendidikan tinggi di Indonesia juga masih jauh dari harapan. Data Badan Pusat Statistik, memperlihatkan partisipasi sekolah dari kelompok umur perguruan tinggi (19-24 tahun) hanya sekitar25,56%. Sudah seharusnya pemerintah fokus untuk membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi.


Terakhir, pemerintah dapat menginisiasi koordinasi lintas kementerian serta kolaborasi dengan pihak swasta, organisasi masyarakat, serta orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan demi anak-anak yang menjadi generasi muda Indonesia. Seperti kata pepatah yang berasal dari Afrika,“it takes a village to raise a child.”

1.199 tampilan
bottom of page