top of page

Kebijakan Pangan dan Keragaman Kuliner Indonesia

Diperbarui: 12 Jun 2022

Pertama kali dipublikasikan di Tempo (12/11/21).


Sebagai negara kepulauan, Indonesia selalu membanggakan keragaman kuliner dari tiap-tiap daerahnya. Bahkan, ada poster infografis yang menjejerkan semua soto, yang menurut Museum Rekor Indonesia (MURI), mempunyai lebih dari 100 varian dengan bahan dan bumbu yang berbeda. Semua preferensi makanan juga terakomodasi oleh kuliner Indonesia, mulai dari vegetarian dengan pecel atau gado-gado, pescaterian dengan ikan bakar atau pempek, hingga untuk pecinta daging dengan rendang. Makanan pokok pun bervariasi, mulai dari sagu, ubi, jagung, hingga beragam jenis beras. Dengan keragaman seluas ini, kebijakan ketahanan pangan yang sempit dan bersifat top-down malah tidak sesuai dengan keinginan Indonesia mendukung dan mempromosikan keunggulan kulinernya.


Tahun lalu, pemerintah mengumumkan rencana membentuk lumbung pangan atau food estate lagi dengan alasan ketahanan pangan. Program yang penuh kontroversi ini digarap oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian dan kini tersebar di Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Lumbung pangan berambisi meningkatkan produksi domestik, namun terbatas beberapa komoditas tertentu saja, yaitu beras, singkong untuk tepung mocaf, kentang bahan baku industri serta bawang merah dan bawang putih.


Padahal, kalau meninjau permasalahan ketahanan pangan yang dijadikan justifikasi lumbung pangan, keterjangkauan dan keragamanlah yang selama ini menjadi permasalahan, bukan ketersediaan. Global Food Security Index dari the Economist Intelligence Unit mencatat bahwa Indonesia berada di peringkat 37 dari 113 negara perihal ketersediaan, tapi peringkat 54 perihal keterjangkauan dan peringkat 95 perihal kualitas dan keamanan yang termasuk di dalamnya keragaman pangan. Jadi, apakah lumbung pangan sudah tepat menyasar akar permasalahan pangan kita? Apakah ekspansi masif demi beberapa komoditas pilihan itu sesuai dengan keragaman budaya dan kuliner Indonesia?


Lumbung Pangan dari Kacamata UU Pangan


Undang-Undang Pangan memiliki tiga prinsip, yaitu ketahanan, kedaulatan dan kemandirian pangan. Ketahanan pangan diartikan sebagai tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Kedaulatan pangan memberi hak pada rakyat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan sumber daya alam lokal. Sementara kemandirian pangan berarti kemampuan memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri secara bermartabat.


Ketiga prinsip ini sejatinya mengedepankan keragaman kuliner Indonesia karena fokus kepada kemampuan sumber daya lokal untuk memenuhi permintaan budaya lokal. Prinsip-prinsip ini juga sifatnya saling melengkapi, tidak bisa berjalan satu tanpa yang lain.


Dalam implementasi lumbung pangan, ketiga prinsip ini diambil sepotong-sepotong atau bahkan tidak sama sekali. Pertama, pembukaan lahan dan ekstensifikasi untuk beberapa komoditas itu terbalik dengan tujuan ketahanan pangan untuk meningkatkan keragaman pangan yang sesuai dengan budaya masyarakat. Akhirnya, keragaman kuliner pun semakin digusur oleh dominasi diet yang dirancang oleh pemerintah dengan skala yang masif.


Selain itu, proses menanam pun tidak menjawab tantangan bahwa ongkos produksi pangan di Indonesia masih lebih mahal dibanding ongkos produksi luar negeri, sehingga tidak juga menjawab isu keterjangkauan pangan. Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan rata-rata harga beras di Indonesia dua kali lipat lebih mahal dibanding harga beras internasional dikarenakan tingginya ongkos produksi dan tertutupnya perdagangan internasional untuk komoditas ini.


Pelaksanaan program lumbung pangan juga tidak melibatkan masyarakat setempat atau mempertimbangkan sumber daya alam lokal seperti yang diangankan prinsip kedaulatan pangan. Evaluasi program lumbung pangan yang terdahulu, seperti proyek lahan gambut satu juta hektar era Soeharto, menunjukkan bahwa pengadaannya justru mengancam sumber penghidupan maupun ekosistem keanekaragaman hayati yang menjadi tumpuan hidup masyarakat sekitar. Hal ini terancam akan terulang lagi di program lumbung pangan yang sekarang, apalagi mengingat minimnya partisipasi dan suara publik dalam perencanaan dan pelaksanaannya.


Lumbung pangan berambisi meningkatkan tingkat swasembada seiring dengan keinginan kemandirian pangan. Sayangnya cara mencapai kemandirian itu kurang bermartabat karena tidak menghiraukan bahaya kerusakan lingkungan yang sudah disuarakan banyak pakar dari awal terkait deforestasi dan penggunaan lahan gambut. Peningkatan produksi pangan tidak seharusnya dilakukan dengan mengorbankan lingkungan, apalagi ketika sektor pertanian sendiri terancam oleh krisis iklim.


Selain itu, sebenarnya Indonesia sudah mencapai swasembada beras karena mayoritas konsumsi beras Indonesia dipenuhi dari dalam negeri sehingga penggunaan kemandirian untuk komoditas-komoditas tertentu sebagai alasan lumbung pangan ini pun dipertanyakan. Sayangnya, dalam obsesi swasembada makanan pokok, produksi komoditas-komoditas lain yang memperkaya keragaman kuliner Indonesia jadi terlupakan.


Selebrasi Keragaman Kuliner Indonesia


Ketiga prinsip di atas juga perlu dipahami secara bersamaan. Jennifer Clapp (2014), seorang pakar di Komite Ketahanan Pangan Dunia mengemukakan bahwa ketahanan pangan dan kedaulatan pangan bukan sebuah dikotomi, melainkan konsep yang saling berkaitan dalam tujuan memperbaiki sistem pangan.


Kemandirian untuk memproduksi pangan yang beraneka ragam bisa dilakukan dalam batasan-batasan potensi sumber daya alam. Tidak ada satu negara pun yang bisa memproduksi semua kebutuhannya secara sendiri, karena masing-masing memiliki kondisi iklim dan geografis yang unik. Apalagi untuk kebutuhan kuliner Indonesia yang memiliki sejarah panjang dan sudah melalui akulturasi budaya yang kaya. Prinsip kemandirian itu perlu dipadankan dengan prinsip ketahanan pangan, yaitu pemenuhan pangan dan gizi yang beragam secara terjangkau.


Ketahanan pangan ini berarti pangan dapat dipenuhi dari berbagai sumber, baik domestik maupun internasional, dengan tujuan memastikan akses baik fisik maupun ekonomi bagi seluruh masyarakat. Terakhir tapi tak kalah penting, kedaulatan pangan dan hak rakyat juga perlu dijunjung tinggi dengan memberikan masyarakat kebebasan dalam menentukan pangan sendiri, termasuk hak atas lahan maupun hak atas akses pangan.


Mengingat kekayaan kuliner Indonesia dan dengan ketiga prinsip ini, kebijakan pangan Indonesia perlu dibenahi. Kebijakan perlu ditujukan untuk diversifikasi pangan, bukan ekspansi demi swasembada beberapa komoditas semata, sehingga petani bisa bebas berbudidaya berdasarkan keunggulan sumber daya alam masing-masing daerah dan masyarakat pun memiliki lebih banyak ragam pilihan makanan.


Diversifikasi pangan juga perlu didukung oleh pemanfaatan perdagangan pangan yang lebih terbuka dan transparan, sehingga pangan bisa lebih terjangkau. Pengembangan produksi dalam negeri juga perlu dilakukan melalui intensifikasi dan modernisasi untuk meningkatkan produktivitas secara efisien tanpa memperparah kerusakan lingkungan. Dengan kebijakan yang lebih komprehensif, keragaman kuliner Indonesia dapat terus terjaga.

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page