top of page

Impor Pangan Banyak Dicerca, Sebenarnya Bisa Bantu Capai Ketahanan Pangan

Indonesia memang berusaha kuat untuk mencapai kedaulatan pangan dan mengurangi impor pangannya, namun sementara ini ia masih sangat tergantung kepada impor untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri beberapa komoditas, bahkan untuk beberapa bahan

pokok


Walaupun banyak terdengar desakan untuk mengurangi atau bahkan menghapus ketergantungan pada impor pangan, namun sebenarnya impor dapat mendukung usaha negara ini untuk mencapai ketahanan pangan.


Yang masih diperlukan adalah sebuah ekosistem yang dapat mendukung optimalisasi impor pangan agar lebih efektif dalam penyediaan pangan dalam negeri yang beragam, bermutu dan terjangkau seperti dijanjikan ketahanan pangan.


Pentingnya impor berberapa komoditas pangan, termasuk bahan pangan pokok, tercermindari Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2022 tentang Cadangan Pangan Pemerintah yang menunjukkan bahwa dari 11 komoditas yang cadangannya diusahakan, enam diantaranya dilaksanakan melalui impor.


CPP meliputi beras, jagung, kedelai, bawang, cabai, daging unggas, telur unggas, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng, dan ikan. Impor masih sangat diperlukan dalam pembentukan cadangan beras, jagung, kedelai, bawang, daging ruminansia, dan gula konsumsi.


Hingga November 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total volume impor beras sebesar 2,53 juta ton. Impor gula untuk periode yang sama tercatat 4,55 juta ton sementara untuk impor daging jenis lembu, tercatat sebesar 214,27 ribu ton dan untuk jagung sebanyak 892,08 ribu ton.


BPS juga mencatat untuk periode Januari-oktober 2023, Indonesia mengimpor gandum dan meslin sebanyak 8,57 juta ton, kedelai sebanyak 2,003 juta ton, bawang putih sevanyak 412,23 ribu ton dan susu senilai US$ 788,77 juta atau setara Rp 12,24 triliun.


Ketahanan pangan didefinisikan sebagai keadaan dimana semua orang, kapanpun, memilik akses fisik, sosial dan ekonomis pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi serta preferensi makanannya untuk kehidupah yang aktif dan sehat.




Hal ini berarti bahwa individu maupun komunitas memiliki akses pada jumlah dan mutu pangan yang mencukupi, bergizi, terjangkau dan cocok dengan budaya mereka.


Dalam mendukung usaha pencapaian ketahanan pangan Indonesia, usaha membangun kemampuan memenuhi kebutuhan dalam negeri dari produksi nasional seharusnya diiringi juga dengan penggunaan impor untuk mengisi kebutuhan yang belum terpenuhi.


Impor dapat berperan dalam berbagai hal termasuk mendiversifikasi sumber pangan dan mengurangi ketergantungan pada produksi domestik semata, terutama ketika terjadi kelangangkaan atau disrupsi pasokan atau produksi seperti gagal panen yang disebabkan faktor seperti perubahan iklim, bencana alam maupun epidemi misalnya,


Impor juga membantu memenuhi pertumbuhan permintaan akan produk pangan tertentu yang tak dapat dipenuhi dari produksi domestik semata dan tidak selalu tersedia dalam jumlah yang mencukupi sepanjang tahun.


Impor juga dapat membantu menstabilkan harga dengan memastikan bahwa bahan pangan pokok selalu tersedia dan terjangkau bagi konsumen.


Jika produksi domestik tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan yang ada, impor dapat menyeimbangkan dinamika supply-demand, mencegah fluktuasi harga yang besar serta mengurangi risiko gejolak harga pangan.


Beberapa komoditas pangan sangat bergantung pada musim dan impor akan dapat menjembatani kekosongan sesaat yang ada. Contohnya impor beras untuk memenuhi kebutuhan antara panen atau ketika produksi menurun karena berbagai faktor hingga ketersediaan serta stabiltas harga dapat terjaga.


Keragaman produk pangan, termasuk buah-buahan, sayur-sayuran serta produk bergizi lainnya yang tidak selalu ada atau terjangkau di dalam negeri dapat terjaga oleh impor sehingga keragaman nutrisi masyarakat dapat meningkat.


Yang sering terlupakan adalah bahwa beberapa dari bahan pangan yang masih besar impornya, termasuk gula, kedelai, gandum dan bawang putih, merupakan bahan baku industri yang sangat penting untuk produk akhir makanan olahan, hingga ketersediaan bahan tersebut juga mempengaruhi ketersediaan serta harga produk pangan akhirnya.


Pada saat ini, ketahanan pangan Indonesia masih jauh dari harapan bila menilik data Global Food Security Index (GFSI) yang mengukur ketahanan pangan negara-negara dari empat indikator besar yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi dan keamanan makanan (quality and safety), serta ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience).


GFS menempatkan Indonesia pada urutan ke 69 dari 113 negara di tahun 2022.Walaupun GFSI Indonesia pada tahun itu tercatat sebesar 60,2, lebih tinggi dari 59,2 di tahun sebelumnya, angka itu masih dibawah rerata global yang sebesar 62,2 maupun rerata Asia Pasifik yang sebesar 63,4.


Walau perdagangan pangan internasional dapat membawa manfaat bagi usaha Indonesia mencapai ketahanan pangan, banyak kebijakan malah menghambat integrasi Indonesia ke perekonomian global dan menimbulkan hambatan atau tantangan dalam mengimpor pangan.


Termasuk dalam hal ini adanya tarif impor yang tinggi dan pembatasan impor atas beberapa produk pangan dengan alasan untuk melindungi petani serta produksi domestik. Ini menyulitkan bahan pangan impor yang bermutu dan terjangkau untuk dapat diakses oleh konsumen Indonesia, termasuk para petani itu sendiri.


Belum lagi hambatan non tarif seperti persyaratan perijinan impor, kuota dan proses birokratis yang tidak saja membatasi perdagangan tetapi juga menyebabkan ketidakpastian bagi para importir dan kenaikan harga bagi konsumen.


Perlu ditekankan bahwa pemerintah memang telah mengambil berbagai langkah untuk mengatasi beberapa dari tantangan di atas dengan menerapkan kebijakan yang mendorong swasembada dan meningkatkan ketahanan pangan.


Namun menyeimbangkan kebutuhan untuk produksi domestik dengan impor untuk memenuhi kebutuhan konsumen tetap merupakan tugas yang rumit.


Salah satu faktor lainnya yang merongrong efektivitas impor adalah data, yang menjadi basis penting dalam penetapan kapan diperlukan impor dan seberapa banyak, selama ini juga masih kurang mencerminkan realita aktual di lapangan.


Akibatnya penetapan kuota seringkali menjadi tidak sesuai pasokan dan permintaan di lapangan. Ruang gerak industri untuk mengakses bahan baku pun menjadi semakin terbatas.


Oleh karena itu, kita tidak perlu “mengharamkan" impor dan menganggapnya sebagai suatu hal yang negatif, karena kenyataannya impor dapat mendukung pencapaian ketahanan pangan di Indonesia.


Ketahanan pangan ini juga akan semakin kuat dalam jangka panjang jika dibarengi dengan pengembangan sistem produksi pangan domestik yang lebih berkelanjutan, investasi pada infrastrukur produksi dan distribusi pangan yang modern, dan penerapan praktik pertanian yang baik.

114 tampilan

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page