top of page

Impor Garam Industri Jangan Sampai Terkendala Izin Impor

Pemenuhan kebutuhan garam untuk kebutuhan industri makanan dan minuman (mamin) jelang Ramadan masih terkendala izin impor.


"Semua impor, termasuk garam, diatur oleh Permendag 25/2022 dan menggunakan Neraca Komoditas, sama dengan gula. Pengajuan Persetujuan Impor (PI) seharusnya lebih cepat. Pengajuan PI gula sudah selesai, tapi garam belum. Ini yang perlu dicermati karena keduanya menggunakan aturan yang sama," jelas Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta.


Ia menambahkan, ketersediaan garam untuk kebutuhan industri mamin, terutama menjelang Ramadan, dapat dipenuhi lewat impor mengingat terus menurunnya produksi garam lokal.


Produksi garam Indonesia terus menurun sejak Pandemi Covid-19, dari 2,5 juta ton di 2019 menjadi hanya sekitar 635 ribu ton di 2022. Mayoritas garam Indonesia berasal dari tambak, yang tergantung pada kelembaban dan panas matahari.


Pasar garam sendiri cukup kompleks, karena terdapat berbagai jenis garam yang digunakan untuk keperluan yg berbeda-beda. Secara global, produksi garam paling murah dan konsisten secara kualitas didapat dari tambang, yang tidak dapat dilakukan di Indonesia karena tidak ada deposit garam.


Menurut Data Statista 2022, produksi garam Indonesia sendiri masih jauh kalau dibandingkan produksi dunia, yaitu 290 juta ton. Kemudian di tahun 2023, produksi garam nasional Indonesia mencapai 2,5 juta ton, sementara produksi dunia didominasi China (53 juta ton), Amerika Serikat, India, Australia, dan Uni Eropa, tambang memainkan peranan penting.


Ketika memutuskan impor, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu pemerintah tidak boleh menggeneralisasi peran garam di industri manufaktur karena tiap industri punya kebutuhan spesifikasi garam yang berbeda-beda.


Penyebab terjadinya impor belum tentu hanya karena kurangnya produksi dalam negeri, tapi juga karena spesifikasi garam yang dibutuhkan industri kimia dasar berbeda dari industri mamin. Berbagai industri mamin mungkin juga punya segmen pasar yang berbeda.


Hal ini bisa menjadi kelebihan impor, lanjut Krisna, karena jenis garam yang beragam dan tidak dapat diproduksi sendiri bisa didapatkan dari tempat lain untuk memperkuat tumbuhnya industri manufaktur.


Kedua, pemerintah perlu memikirkan kembali definisi dari kebutuhan, yang sangat tergantung pada harga.


Jika regulasi impor garam dipermudah, permintaan berpotensi naik dan dapat mendorong perusahaan untuk menambah kapasitas produksinya. Kebutuhan bersifat dinamis dan sangat tergantung berbagai hal, termasuk harga.


Untuk mengatasi kendala impor garam ini jika permasalahannya hanya waktu saja, maka jelas pemerintah tidak perlu melakukan hal ekstra.


Penggunaan Neraca Komoditas yang mengatur regulasi impor gula, garam, beras, sapi dan perikanan perlu terus dipantau.


Hal yang lebih penting adalah perlunya transparansi pada dua hal. Pertama, transparansi soal kenapa terbitnya PI garam lebih lama dibanding PI gula. Secara umum, kendala dalam pengajuan PI sebaiknya diinformasikan ke semua pemangku kepentingan melalui Sistem Indonesia National Single Window (SINSW) atau platform lain.


Selanjutnya adalah transparansi dalam proses penentuan kuota. Sistem kuota di SINSW didapatkan dari survei atau input dari petani garam dan penggunanya yaitu manufaktur dan masyarakat. Kemudian data survei tersebut dihitung olehKementerian Perdagangan/Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)/Kementerian Perindustrian dan direkonsiliasi oleh Kementerian Koordinator Perekonomian.


“Berjalannya proses ini sampai lahirnya kuota sebaiknya dipublikasikan sehingga dapat diketahui oleh semua pemangku kepentingan termasuk peneliti di universitas dan lembaga riset serta masyarakat pada umumnya,” tegas Krisna.

27 tampilan

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page